SOLOPOS.COM - Novel Baswedan di Mapolda Metro Jaya, Senin (6/1/2020). (Antara)

Solopos.com, JAKARTA -- Tes wawasan kebangsaan tidak boleh jadi alat untuk menyingkirkan pegawai KPK yang dianggap berseberangan pemerintah. Salah satu pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan adalah Novel Baswedan.

"Tes wawasan kebangsaan ini tidak boleh dijadikan dalih untuk menyingkirkan pegawai-pegawai KPK yang dianggap memiliki pandangan politik berbeda dari pemerintah," ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII), Usman Hamid , Rabu (5/5/2021).

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Hal itu dikatakan Usman menyusul kabar sejumlah pegawai KPK termasuk Novel Baswedan yang terancam dipecat karena tak lolos tes tersebut. Usman menilai hal tersebut sama saja mundur ke era pra reformasi. Di era tahun 1990, setiap pegawai negeri, kata Usman, harus melewati penelitian khusus (Litsus).

"Itu sama saja mundur ke era pra-reformasi, tepatnya pada 1990, ketika setiap pegawai negeri harus melalui 'litsus atau penelitian khusus' atau 'bersih lingkungan' yang diskriminatif," ucap Usman.

Baca Juga: Uji Materi UU KPK: Penyadapan, Penggeledahan, dan Penyitaan Tak Lagi Izin Dewas

Tak hanya itu, Usman menuturkan mendiskriminasi pekerja karena pemikiran dan keyakinan agama atau politik pribadinya jelas merupakan pelanggaran atas kebebasan berpikir, berhati nurani, beragama dan berkeyakinan. Kata Usman, diskriminasi tersebut sudah melanggar hak sipil dan merupakan stigma kelompok yang sewenang-wenang.

Ia mengatakan, menurut standar hak asasi manusia international maupun hukum di Indonesia, pekerja seharusnya dinilai berdasarkan kinerja dan kompetensinya. Bukan "kemurnian" ideologisnya.

"Di masa lalu, Litsus semacam ini menimbulkan masalah ideologis atas pendidikan dan menjauhkan banyak orang yang memenuhi syarat sebagai pegawai negeri akibat kriteria yang tidak jelas dan diterapkan secara tidak merata. Mengapa hanya KPK? Ada apa?," tutur Usman.

Langkah Mundur

Lebih lanjut, Usman menegaskan screening ideologis yang diduga dilakukan melalui Tes Wawasan Kebangsaan seperti ini merupakan langkah mundur dalam penghormatan HAM di negara ini. "Screening ideologis yang diduga dilakukan melalui Tes Wawasan Kebangsaan seperti ini sungguh merupakan langkah mundur dalam penghormatan HAM di negara ini. Dan sekaligus mengingatkan kita kembali kepada represi Orde Baru, saat ada Penelitian Khusus (Litsus) untuk mengucilkan orang-orang yang dianggap terkait dengan Partai Komunis Indonesia," katanya.

Baca Juga: KPK Cegah Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin ke Luar Negeri

Sebagai informasi, pada Maret 2021, pegawai KPK mengikuti tes wawasan kebangsaan sebagai persyaratan status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Ini sesuai dengan Undang-Undang KPK yang direvisi pada 2019.

Menurut laporan media dan informasi yang diterima Amnesty International, banyak pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam tes tersebut yang mengarah kepada kepercayaan agama dan paham politik pribadi yang tidak ada hubungannya dengan kualifikasi mereka sebagai pegawai KPK.

Amnesty International juga menerima informasi bahwa ada sekitar 75 pegawai KPK yang dianggap tidak lulus tes tersebut dan karena itu akan diberhentikan.

Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) menjamin “hak atas kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi, tanpa didasari pertimbangan apa pun selain senioritas dan kemampuan.”

Selain itu, hak individu untuk memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinan telah dijamin dalam Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang isinya: “Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.”

Baca Juga: Dewan Pengawas KPK Tak Bertaji Karena UU Baru, Mulai Wewenang Tak Diatur Hingga Tak Bisa Beri Sanksi

Diskriminasi

Definisi diskriminasi juga telah dijabarkan dalam Konvensi ILO tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan, yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 1999, sebagai “setiap pembedaan, pengecualian, atau pengutamaan atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, keyakinan politik, kebangsaan atau asal-usul yang berakibat meniadakan atau mengurangi persamaan kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan.”

Dalam hukum nasional sekalipun, hak atas kebebasan berpikir, berhati nurani, beragama dan berkeyakinan telah dijamin dalam Konstitusi Indonesia, khususnya Pasal 29 (2) tentang kebebasan beragama dan beribadah dan pasal 28E (2) tentang kebebasan berkeyakinan di mana setiap orang berhak menyatakan pikiran dan sikap mereka sesuai dengan hati nuraninya.

Menurut Pasal 153 Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja dengan alasan “berbeda paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya