SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Hampir dalam setiap kegiatan mudik dan arus balik lebaran, satu “penyakit” yang senantiasa di bawa oleh para pemudik yang kembali ke Jakarta (dan kota besar lainnya) adalah fenomena urbanisasi.

Arus balik ke Jakarta biasanya diikuti dengan kedatangan warga baru yang dibawa oleh para pemudik dari daerahnya. Masalah klasik ini hampir setiap tahun terjadi, namun solusi yang memadai, hampir-hampir tidak pernah muncul. Desa tetap merana, sementara gemerlap dan kemilaunya kota Jakarta, seolah menjadi magnet tersendiri yang menyedot perhatian banyak kalangan, termasuk para pemburu kerja angkatan muda.

Promosi Uniknya Piala Asia 1964: Israel Juara lalu Didepak Keluar dari AFC

Inti dari semuanya itu adalah faktor ekonomi. Faktor utama inilah yang mendorong terjadinya arus urbanisasi besar-besaran dari desa menuju kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung serta kota besar lainnya.

Sampai-sampai Pemda DKI Jakarta gregetan dengan problem tahunan yang siklikal (berulang) ini. Akhirnya berbagai upaya digelar untuk membendung arus urbanisasi. Salah satu diantaranya adalah dengan menggelar operasi yustisi kependudukan (OYK) di beberapa lokasi seperti stasiun, terminal bus, hingga ke pemukiman penduduk. Apakah upaya ini semacam ini cukup untuk membendung urbanisasi?

Ekspedisi Mudik 2024

Motif ekonomi
Jika dikaji lebih lanjut, maka ketertarikan para pemburu (pencari) kerja baru dari kawasan pedesaaan (kampung) ini setidaknya disebabkan beberapa alasan.

Pertama, terbatasnya lapangan kerja dan kesempatan berusaha di kawasan pedesaan, mengakibatkan terjadinya ledakan pengangguran usia muda di kawasan ini. Sebab, seperti diketahui bersama, pertumbuhan ketersediaan lapangan kerja di kawasan pedesaan selama ini tidak sebanding dengan pertumbuhan yang teramat pesat dari pasar tenaga kerja. Terjadi ketidakseimbangan antara permintaan  pasar dan pasokan (suplai) tenaga kerja. Akhirnya, banyak terjadi penumpukan tenaga kerja di kawasan pedesaan.

Otonomi daerah yang dicanangkan sejak 2001, nampaknya belum berdampak langsung terhadap penciptaan lapangan kerja di kawasan pedesaan. Maklum, kendati sudah digulirkan bertahun-tahun, uang beredar dan kegiatan bisnis secara nasional (hampir 70%) masih banyak berkutat di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi selama ini masih terpusat pada kawasan perkotaan, bukan kawasan pedesaan. Tak aneh kalau akhirnya banyak angkatan muda lebih memilih berkompetisi mencari kerja di kota besar ketimbang bekerja di pedesaan.

Kedua, adanya mitos bahwa hidup di perkotaan jauh lebih enak ketimbang di desa. Hal ini banyak dipengaruhi oleh beredarnya success story (kisah sukses) dari pada pemudik yang pulang ke desa. Pulang mudik dengan menggunakan mobil pribadi, disertai dengan aktivitas ekonomi konmsumtifnya, mengakibatkan banyak pemuda/i desa yang tertarik mengikuti jejak dari si pemudik sukses ini. Padahal, belum tentu semua benda dan asesori simbol kesuksesan yang dikenakan pulang ke desa adalah milik pribadi. Mungkin bisa saja menyewa atau meminjam pakai (rental) dari rekannya di Jakarta.

Mitos pemudik sukses inilah yang nampaknya mengundang minat kelompok pemburu kerja baru untuk mengadu nasib ke kota-kota besar. Tak hanya itu, gengsi bekerja di kota besar, nampaknya masih mewarnai pola pikir banyak pemuda/i desa. Bahwa hidup di Jakarta (di kota besar lainnya) identik dengan kesuksesan, modernisasi dan seterusnya. Sementara itu, hidup dan bekerja di kawasan pedesaan identik dengan keterbelakangan, kemunduran. Pola pikir semacam inilah yang akhirnya memacu tingginya pendatang baru di kota-kota besar Indonesia.

Persolek desa
Pepatah mengatakan, dimana ada gula, disana pasti ada semut. Untuk itu, solusi cerdas mengatasi urbanisasi adalah dengan menciptakan “gula-gula” di kawasan pedesaan, sehingga “para semut” akan mengerumuninya. Caranya, dengan mempersolek (mempercantik) kawasan desa dengan membangun sentra-sentra industri (kegiatan bisnis) sesuai dengan potensi dan local genius yang berkembang di daerah tertentu. Misalnya, untuk kawasan yang selama ini merupakan sentra agroindustri buah-buahan, semestinya harus dikembangkan industri agro mulai dari hulu hingga hilir. Dengan cara semacam itu, peluang bisnis yang diciptakan dan juga penciptaan lapangan kerja akan semakin terbuka luas.

Untuk kawasan yang memiliki potensi komoditas pertanian tertentu, perlu diciptakan lumbung-lumbung komoditas pertanian tertentu, yang nantinya akan mampu menyerap banyak tenaga kerja di sekitarnya. Berbagai bisnis kreatif berbasiskan internet misalnya, perlu dikembangkan di kawasan desa. Membangun jejaring bisnis antara kawasan desa dengan kawasan kota, layak dikembangkan lebih lanjut. Konsep swasembada beras, tebu, jagung, serta tanaman pangan lainnya, dalam skala yang lebih besar dan lebih luas perlu dipikirkan ulang, sehingga nantinya Indonesia tidak hanya mampu memasok kebutuhan domestik, namun juga kebutuhan global.

Demikian pula dengan potensi wisata, seperti kawasan Bali, Jogja, Papua, serta kawasan tujuan wisata lainnya, perlu lebih dikembangkan lebih lanjut lagi. Potensi wisata dari hulu hingga hilir, bisa diciptakan, sehingga akan mampu menyedot tenaga kerja dalam jumlah besar. Dari semua itu, bisa dibayangkan, bagaimana setiap daerah memiliki ciri khas tertentu yang bisa dikembangkan sesuai dengan potensi daerah masing-masing.

Di kawasan Gunung Kidul yang merupakan penghasil singkong, sekarang sudah dikembangkan pabrik gaplek dalam kemasan plastik, yang bisa dijual di toserba (pasar swalayan). Petani disana, sekarang ini bersemangat untuk menanam singkong, karena hasilnya dipasok untuk kebutuhan pabrik tiwul berskala ekspor.

Intinya adalah menciptakan lapangan kerja dalam konsep pengembangan daerah menuju kawasan yang mandiri, yang bisa menyerap tenaga kerja setempat seoptimal mungkin. Impian untuk menuju swasembada pangan, atau bahkan menuju sentra lumbung pangan dunia, perlu direalisasikan secepatnya.

Nah, cita-cita luhur semacam ini harus dilakukan untuk membuat seluas mungkin lapangan pekerjaan di kawasan pedesaan. Hanya dengan cara semacam itu, para pemuda/i yang selama ini mencari kerja di kota-kota besar, akan tertarik untuk betah di desanya. Perlahan namun pasti, desa akan lebih menarik ketimbang Jakarta. Tanpa itu semua, upaya membendung arus urbanisasi akan menemui jalan terjal.

Oleh Susidarto
MANAJER OPERASIONAL BANK PANIN JOGJA

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya