SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Bulan Ramadan, kalau orang Jawa mengatakan Wulan Pasa. Pada bulan ini dikenal oleh umat muslim sebagai bulan yang penuh berkah dan ampunan. Pada Bulan Ramadan umat muslim melaksanakan puasa selama 30 hari. Karena bulan yang penuh berkah dan ampunan, maka banyak aktivitas yang bermanfaat yang bisa dilakukan untuk meningkatkan perbuatan baik. Bulan puasa juga merupakan bulan untuk mawas diri dan mengendalikan diri dari hawa nafsu.

Di dalam tradisi Buddhis, kita mengenal 4 (empat) hari uposatha. Hari uposatha berarti suatu hari  besar di dalam agama Buddha yang biasanya dilaksanakan 4 kali setiap bulan, yaitu uposatha ketika bulan gelap yang istilahnya dikenal sebagai tanggal 1 menurut penanggalan bulan, uposatha bulan purnama sidhi pada tanggal 15 menurut penanggalan bulan, uposatha di tengah tanggal 1 dan 15 yaitu  uposatha tanggal 8, dan uposatha tanggal 23 menurut penanggalan bulan.  

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Di negara-negara Buddhis, pada setiap hari uposatha, umat Buddha datang berduyun-duyun ke vihara  sejak pagi hari. Mereka memohon tuntunan sila kepada para bhikkhu. Para peminta sila yang juga dikenal dengan sebutan upasaka/upasika ini memurnikan sila pada hari itu dengan satu pengertian bahwa selama sekian hari yang mereka lewatkan telah banyak sila yang dilanggar.

Oleh karena itu mereka  memperbaharui sila, bahkan selain Pancasila, juga ada umat yang berusaha untuk menjalankan 8 (delapan) sila/athasila, yaitu bertekad melatih diri menghindari pembunuhan, bertekad melatih diri mengindari pencurian, bertekad melatih diri menghindari perbuatan asusila, bertekad melatih diri menghindari ucapan bohong, bertekad melatih diri menghindari minuman yang dapat melemahkan kesadaran, bertekad melatih diri menghindari makan makanan setelah tengah hari, bertekad melatih diri menghindari menari, menyanyi, bermain musik, dan pergi melihat pertunjukan; memakai, berhias dengan wewangian dan barang olesan dengan tujuan untuk mempercantik tubuh dan bertekad melatih diri menghindari penggunaan tempat tidur dan tempat duduk yang tinggi dan besar (mewah).

Selain melatih delapan sila, mereka mempersembahkan dana kepada para bhikkhu yang melakukan pindapata yakni berusaha berbuat kebaikan dengan cara berdana makanan dan kebutuhan-kebutuhan  vihara seperti  buku-buku untuk perpustakaan atau keperluan-keperluan lain para  bhikkhu. Setelah selesai makan, mereka mencari para bhikkhu, terutama bhikkhu-bhikkhu senior atau yang mempunyai pengetahuan cukup luas untuk berdiskusi Dhamma dan mohon bimbingan bermeditasi.

Sampai kira-kira tengah hari, mereka kemudian beristirahat. Kira-kira pukul 15:00 sore, para umat bersama-sama untuk  membersihkan vihara dan lain-lain untuk pertemuan selanjutnya. Pada malam hari mereka kembali mengadakan pertemuan berupa kebaktian bersama, pembabaran Dhamma dan latihan meditasi sampai  tengah malam. Bahkan ada bhikkhu-bhikkhu yang mempunyai satu tradisi untuk melatih diri agar tidak tidur semalam suntuk pada hari uposatha. Jadi di negara-negara Buddhis, hari uposatha betul-betul  menjadi hari untuk mendengarkan Dhamma dan berbuat kebajikan. Mereka mempunyai tradisi untuk  menghormati hari uposatha dan melewatkan satu hari penuh di vihara. 

Hari uposatha yang dihormati sebagai hari untuk melatih dan mendengarkan Dhamma ini dikelompokkan lagi di  beberapa negara Buddhis menjadi 2 kelompok yaitu: 

Uposatha tanggal 1 dan 15, adalah hari mendengar Dhamma yang khusus ditujukan untuk para bhikkhu. Pada saat ini Dhamma yang diturunkan adalah Dhamma yang cukup tinggi dan membutuhkan perenungan yang dalam untuk mencapai penembusan dan menyelesaikan lingkaran kelahiran kembali. 

Sedangkan Uposatha tanggal 8 dan 23, adalah hari mendengar Dhamma yang ditujukan untuk para perumah-tangga, upasaka/upasika. Dhamma yang diturunkan pada saat ini pun adalah Dhamma yang sesuai untuk kehidupan sehari-hari para perumah-tangga, upasaka/upasika.  

Kalau kita mengacu pada Tripitaka yaitu ajaran-ajaran Sang Buddha yang telah dibukukan maka akan banyak ditemukan ajaran Sang Buddha yang berkenaan dengan urusan para perumahtangga/umat  biasa. Vinaya Pitaka yang berisikan tentang vinaya, semuanya memang ditujukan untuk para bhikkhu. Tetapi tidak demikian halnya dengan Sutta Pitaka dan Abhidhamma Pitaka, karena sesungguhnya Sutta Pitaka dan Abhidhamma Pitaka ini dapat diterapkan oleh umat biasa dalam kehidupan sehari-hari. Salah  satu ajaran pokok Sang Buddha yang sangat penting untuk bekal hidup kita sehari-hari sebagai upasaka/upasika adalah “Berpikirlah dahulu, renungkanlah dahulu baik-baik…sebelum melaksanakan  satu kegiatan/pekerjaan.”

Dalam kegiatan sehari-hari sering kita menemukan satu pandangan yang tidak benar. Orang sering menyatakan bahwa umat Buddha itu harus selalu menjadi bhikkhu atau samanera. Gambaran yang demikian dapat menyebabkan para orang tua takut apabila anaknya pergi ke vihara. Mereka bahkan  melarang anak-anaknya untuk datang ke vihara karena merasa khawatir apabila sang anak mempunyai  keinginan untuk menjadi bhikkhu atau samanera. Padahal ini adalah suatu pandangan yang keliru! Umat  Buddha bukanlah seorang bhikkhu atau samanera. Dengan mengajak para generasi muda datang ke  vihara berarti kita memberi kesempatan kepada mereka untuk mendengarkan ajaran yang benar yang bisa membawa mereka menuju kebebasan dan bahkan hal tersebut merupakan berkah utama. 

Sebagai manusia, kita tidak pernah terlepas dari usaha untuk mencari nafkah. Seorang perumahtangga yang tidak mau mencari nafkah bukanlah perumah-tangga yang baik, bukanlah manusia  yang bertanggung-jawab! Ini adalah manusia malas yang tidak mau menggunakan kemampuannya sebagai seorang manusia. Seorang bapak mempunyai kewajiban untuk mencari nafkah dan menghidupi keluarga. Sebaliknya seorang ibu pun mempunyai kewajiban untuk mengurus rumah tangga. Bahkan di  dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, para ibu juga bekerja di masyarakat. Demikian pula halnya dengan para generasi muda. Mereka juga mempunyai kewajiban untuk belajar atau membantu orang  tuanya. 

Sering timbul satu anggapan bahwa Buddha-Dhamma adalah ajaran orang yang melarat, ajaran orang  yang tidak mempunyai semangat. Bagaimana tidak? Buddha yang dulunya adalah seorang putera mahkota kerajaan yang hidup bergelimang harta dan kekuasaan serta mempunyai istri yang cantik dan setia, ternyata rela melepaskan semuanya dan hidup dengan keadaan yang sebaliknya, menjadi seorang  bhikkhu. Orang tentu akan menganggap ini adalah ajaran yang salah dan tidak tepat.

Tetapi  sesungguhnya anggapan ini tidak benar. Pandangan ini adalah pandangan yang salah! Mengapa  demikian? Karena menurut Buddha, umat Buddha dikelompokkan dalam 4 golongan. Memang ada  bhikkhu dan bhikkhuni yang tidak berhubungan dengan urusan keduniawian. Mereka tinggal di vihara dan menjalankan sila. Tetapi ada juga umat yang tinggal di masyarakat sebagai upasaka dan  upasika. Mereka mengelola keluarga dan bekerja mencari nafkah untuk kehidupan sehari-hari. Jadi anggapan yang menyatakan bahwa Buddha-Dhamma itu tidak berhubungan dengan urusan keduniawian  dan hanya mementingkan urusan rohani saja adalah tidak benar. Uposatha adalah salah satu cara bagi umat perumah tangga untuk mempraktekkan Buddha-Dharma yang lebih tinggi. Semoga kita bisa mempraktekkan Buddha-Dharma dalam kehidupan sehari-hari. 

Oleh Jiyono

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya