<p><strong>Semarangpos.com, SEMARANG —</strong> Peringatan Hari Batik Nasional yang jatuh pada Selasa (2/10/2018), diperingati meriah seluruh lapisan masyarakat. Tak hanya di instansi pemerintah, di kantor-kantor perusahaan swasta pun banyak yang mengenakan kain asli buatan Indonesia tersebut.</p><p>Bahkan di beberapa lokasi digelar kegiatan membatik bersama untuk memperingati Hari Batik Nasional. Namun, perayaan itu sepertinya tak terlalu diperdulikan warga Kampung Ngebruk Mangunharjo, Kelurahan Mangkang Wetan, Kecamatan Tugu.</p><p>Sekelompok ibu-ibu di kampung tersebut lebih memilih menyelesaikan pekerjaannya, membuat batik <em>mangrove </em>di rumah kerajinan Batik Wijayakusuma, dibanding larut dalam euforia perayaan.</p><p>“Ini lagi ngerjain pesenan dosen di Undip. Motifnya cukup rumit, jadi ngerjainnya harus telaten,” ujar Safa’atun, 50, saat berbincang dengan <em>Semarangpos.com, </em>Selasa siang.</p><p>Safa’atun sudah empat tahun terakhir menggeluti pembuatan batik <em>mangrove</em>. Selain bercorak pohon bakau atau<em> mangrove</em>, kain batik buatan Safa’atun juga menggunakan bahan baku kulit <em>mangrove </em>sebagai pewarna.</p><p>Satu kain batik <em>mangrove</em> dijual dengan harga bervariasi. Untuk batik dengan corak lukisan atau batik tulis dijual Rp350.000, sementara untuk batik cap dibanderol Rp250.000 per lembar.</p><p>“Lumayan, hasilnya bisa buat tambah-tambah penghasilan. Enggak perlu <em>njagake </em>suami,” ujar Safa’atun.</p><p><img style="display: block; margin-left: auto; margin-right: auto;" src="http://img.solopos.com/upload/img/batik%20mangrove3.jpg" alt="Ibu-ibu di Kampung Ngebruk Mangunharjo, Mangkang Wetan, Kota Semarang, tengah membuat batik mangrove, Selasa (2/10/2018). (Semarangpos.com-Imam Yuda S.)" width="600" height="400" /></p><p><strong>Kulit mangrove</strong></p><p>Ketua Perajin Batik Wijayakusuma, Hariyati, mengatakan aktivitas pembuatan batik<em> mangrove </em>dengan melibatkan ibu-ibu di kampungnya sudah berlangsung sejak 2014. Awalnya, ada belasan ibu-ibu yang ikut terlibat, namun lambat laun menyusut hingga tersisa tujuh orang.</p><p>“Banyak yang enggak tahan. Selain sulit, mereka juga memiliki kebutuhan yang lain seperti mengasuh cucu,” ujar Hariyati.</p><p>Hariyati menyebutkan ide pembuatan batik dari tumbuhan <em>mangrove </em>tak terlepas dari banyaknya tumbuhan itu yang tersebar di kampungnya. Kebetulan, kampungnya getol menggalakan reboisasi Pantai Mangunharjo untuk menanggulangi abrasi.</p><p>Kemudian, ia bersama warga lainnya mengumpulkan kulit mangrove sedikit demi sedikit. Kulit mangrove yang sudah dikumpulkan lantas dijemur hingga kering dan direbus untuk campuran bahan pewarna kain.</p><p><img style="display: block; margin-left: auto; margin-right: auto;" src="http://img.solopos.com/upload/img/batik%20mangrove5%20(1).jpg" alt="Perempuan perajin batik mangrove di Kampung Ngebruk Mangunharjo, Mangkang Wetan, Semarang, tengah menjemur kulit pohon bakau atau mangrove di depan rumahnya, Selasa (2/10/2018). (Semarangpos.com-Imam Yuda S.)" width="600" height="400" /></p><p>“Kita pilih mangrove karena bahan bakunya mudah didapat. Lagian enggak perlu banyak biaya,” tutur perempuan berusia 51 tahun itu.</p><p>Hariyati mengaku batik mangrove punya keunggulan dibanding kain batik lain. Selain terasa adem dan nyaman saat digunakan, warnanya juga terlihat klasik.</p><p>Hanya saja untuk memasarkan kain batik mangrove itu, Hariyati masih cukup kesulitan. Selain kurang promosi, di Semarang batik mangrove kalah populer dengan batik Semarangan.</p><p>“Semarang kan identiknya dengan batik yang bercorak Lawang Sewu atau pohon asem. Kalau untuk yang seperti ini [<em>mangrove</em>] belum terlalu dikenal,” beber Hariyati.</p><p><strong>Jualan online</strong></p><p><strong><img style="display: block; margin-left: auto; margin-right: auto;" src="http://img.solopos.com/upload/img/batik-mangrove1.jpg" alt="Safa’atun (kanan) tengah membantu seorang mahasiswa belajar membantik di Kampung Ngebruk Mangunharjo, Mangkang Wetan, Semarang, Selasa (2/10/2018). (Semarangpos.com-Imam Yuda S.)" width="600" height="400" /></strong></p><p>Hariyati mengaku selama ini belum sekali pun dilirik pemerintah. Bantuan dari pemerintah setempat hanya datang sekali, yakni pada 2014 atau saat mereka mengawali usaha itu.</p><p>Sementara untuk promosi, pihaknya justru banyak dibantu kalangan <em>civitas academica </em>dari beberapa perguruan tinggi di Semarang, seperti Undip. Mahasiswa Undip kerap menawarkan batik mangrove buatan ibu-ibu di Kampung Ngebruk itu secara <em>online.</em></p><p>”Saya kan enggak bisa internetan. Pemuda di sini juga lebih tertarik memasarkan produk sendiri, seperti kerajinan tas dan lainnya. Untung ada mahasiswa Undip yang bantu jualan <em>online,”</em> ujar Hariyati<em>.</em></p><p>Kendati demikian, ia tetap optimistis produknya mampu bersaing dengan para perajin batik lain. Melalui merek Batik Wijayakusuma, ia sesekali ikut pameran bersama perajin batik asal Solo, Yogyakarta, dan Pekalongan.</p><p>“Dari pameran itu akhirnya banyak yang pesan. Kalau pameran dengan pemerintah setempat [Kota Semarang] belum pernah diajak. Enggak tahu kenapa,” ujar Hariyati.</p><p><em><strong><a href="http://semarang.solopos.com/">KLIK</a> dan <a href="https://www.facebook.com/SemarangPos">LIKE</a> di sini untuk lebih banyak berita Semarang Raya</strong></em></p>
Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi