SOLOPOS.COM - Lembaga Dewan Adat keraton rutin menggelar atraksi prajurit setiap Hari Minggu. (Antara/Maulana Surya)

Solopos.com, SOLO — Tradisi Adang Tahun Dal atau Upacara Adang Sego merupakan upacara sakral yang digelar oleh Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang sudah berlangsung selama 500 tahun.

Upacara Adang Sego ini sarat dengan nilai-nilai simbolis dan juga sejarah yang sangat kental, upacara ini digelar setiap delapan tahun sekali, terakhir Upacara Adang Sego ini digelar pada 2017.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Upacara Adang Sego termasuk dalam rangkaian acara puncak Maulud Nabi Muhammad SAW yang diadakan oleh Keraton Kasunanan Hadiningrat.

Yang membuat Upacara Adang Sego sarat makna dan spesial, Raja (Sinuhun) dan Permaisuri yang menanak nasinya sendiri dibantu dengan kerabat Istana di Dapur Gandarasan yang merupakan dapur Istana Keraton Kasunanan Hadiningrat.

Selain itu, beras yang dimasak juga merupakan beras yang istimewa, yakni beras wulu rojo lele yang dimasak dalam dandang yang juga merupakan pusaka dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat bernama Kyai Duda dan periuknya bernama Nyai Rejeki.

Selain itu dandang-dandang lain yang digunakan merupakan peninggalan dari Zaman Kerjaaan Demak, Pajang dan Mataram.

Dalam Buku Dinamika Kehiudapan Religius Era Kasunanan Surakarta terbitan Kementerian Agama Republik Indonesia tahun 2017, dandang Kyai Dhudha tersebut berasal dari zaman Majapahit, yaitu pada waktu Raja Girindrawardhana menikahkan putrinya dengan putra Patihnya. 

Saat itu Girindrawardhana minta srakah (tukon atau mas kawin) berwujud tempat untuk menanak nasi, yang bila nasinya dimakan tidak akan habis. Mas kawin itu berwujud dandang dan kendhil seperti tersebut di atas. Upacara adang dilakukan pada malam menjelang tanggal 12 Mulud bertepatan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Alat-alat pusaka yang dipersiapkan dan dipergunakan selain Kyai Dhudha, ada beberapa yaitu Kyai Makutha yang merupakan kekep untuk penutup dandang, siwur atau alat pengambil air, Kyai Macan sebagai lumpang tempat memutihkan beras (nyosoh), Beras putih dari Wangon, Air diambil dari umbul Pengging Jalatundha.

Lalu ada Api dari Mrapen, Kayu bakar dari Walikukun dan Kekep (tutup) mengambil tanah dari Sela, Bayat, dan Demak. Setelah upacara adang, pagi harinya Sunan beserta Permaisuri tedhak di Sitihinggil dengan diiring bendabenda pusaka tersebut, benda-benda upacara, pusaka kraton, Gunungan, prajurit kraton (Keparak dan Gedong), dan 181 canthang balung. 

Dalam Upacara Adang Sego ini, para wanita memakai kemben (kain batik yang menutup dada ke bawah) dan samir kuning yang merupakan aksesori wajib yang harus dikenakan. Samir kuning tersebut dipercaya sebagai penolak bala. Sedangkan para pria memakai beskap putih.

Sesudah membaca puja-puji dan doa, lalu Kanjeng Prameswari memulai mencuci, lalu memasukkan beras ke dalam dandang. Seterusnya, dipasang kukusan dan kekep. Yang menyaksikan, selain para tamu, juga putra-putri keraton yang sudah menikah. 

Dalam upacara Adang Sego ini juga terdapat beberapa pantangan, di antaranya adalah pantangan bagi raja untuk tidak berbicara ketika upacara berlangsung, pantangan adanya orang asing yang menyaksikan upacara Adang Sego ini selain para kerabat keraton, yang konon bisa berakibat nasi yang ditanak tidak akan segera matang, terakhir ada pantangan bagi yang belum menikah agar tidak diperbolehkan ikut menyaksikan ketika upacara ini berlangsung; serta pantangan bagi pria (tidak boleh menunggui menanak nasi di dapur). 

Menurut Ketua Solo Societeit, komunitas pencinta sejarah Kota Solo, Dani Saptono, kepada Solopos.com menjelaskan, upacara Adang Sego ini merupakan pengingat dari tradisi Mataram Kuno sekaligus wujud Raja yang mengayomi rakyatnya.

“Upacara Adang Sego ini salah satunya merupakan wujud pengingat bahwa Kerajaan Mataram itu merupakan kerjaaan yang bersifat agraris, sehingga Upacara Adang Sego itu juga merupakan bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas hasil bumi yang ada, buktinya di Dandang Kyai Duda itu terpatri Asmaul Husna yang merupakan sifat-sifat dari Tuhan. Selain itu juga sebagai simbol bagaimana seorang Raja yang mengayomi rakyatnya,” terang Dani Saptono pada Minggu (27/11/2022).

Sedangkan alasan mengapa upacara Adang Sego ini digelar setiap delapan tahun sekali, menurut Dani beradasarkan perhitungan Jawa. 

“Jadi kalau dalam tradisi Kebudayaan Jawa, perhitungannya itu setiap windu atau per delapan tahun, kenapa? Karena setiap delapan tahun itu siklusnya berulang, misal tanggalan Jawa atau weton pada 2017 nantinya sama dengan 2025. Dan dalam budaya Jawa tidak mengenal perayaan tahunan adanya per delapan tahun, jadi misal anak itu ulang tahunnya ya setiap delapan tahun dibuat acara besar-besaran,” urai dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya