SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Sebuah rasa kecewa menjelma dalam untaian kata. Lalu, terpatri sebuah kalimat di status jejaring sosial seorang kawan. Begini bunyinya. “Ke mana saya harus mengembalikan KTP (kartu tanda penduduk) ini? Saya menarik diri sebagai warga negara.”

Mestinya tidak saja kecewa dalam dirinya. Na mun, campur aduk antara marah, gelisah dan tak berdaya. Harap maklum, para penegak keadilan di negeri ini telah melukai perasaan warganya? Negeri dengan politik yang traumatik. Polisi, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Kejaksaan, bermain-main dengan keadilan.

Promosi Timnas Garuda Luar Biasa! Tunggu Kami di Piala Asia 2027

Lalu, ke manakah warga masyarakat harus mencari perlindungan atas keadilan? Tidakkah hak hidup dan semua hak warga negara yang lain menjadi terancam? Bagaimana tidak? Siapa yang harus membelanya? Kalau defi nisi berbuat adil berarti ius suum  cuique tribuere (memberikan kepada orang apa yang menjadi haknya), siapa yang harus menjamin tegaknya kebaikan ini, di negeri ini?

Terus terang, saya masih berharap agar spekulasi bahwa pertarungan cicak dan buaya akan menyerempet ke kasus Bank Century itu hanya sebuah isapan jempol. Soalnya agak ngeri membayangkan bagaimana kasus Bank Century akan terungkap dan kemudian menyeret para petinggi di negeri ini.

Sebuah pemerintah yang saat kampanye belum lama ini berjanji menegakkan hukum dan keadilan, membiayai politiknya dengan cara mengangkangi hukum dan keadilan. Lalu para penegak hukum yang lain dipaksa untuk mengiyakan semuanya. Negeri macam apa ini?

Kleptokrasi?
Di tengah hiruk pikuk itu, kita lalu dengan perasaan gundah berbicara tentang rezim maling di negeri ini. Kleptokrasi. Secara etimologis, kleptokrasi berasal dari bahasa Yunani, yakni kratein (pemerintahan) dan klepto yang berarti mencuri (to steal) atau mengambil paksa sesuatu yang bukan menjadi hak (to rob). Negara kleptokrasi adalah sebuah negara yang diperintahkan oleh rezim yang penuh dengan korupsi, keserakahan, ketamakan.

Benar pula pendapat Jared Diamond yang menulis buku Gun, Germs and Steel; The Fates of Human Society (1997),  para elite selalu mentransferkekayaan dari masyarakat biasa kepada kelas atas. Itulah sebabnya, mereka selalu mendapat  lebih banyak dari orang biasa. Perseteruan cicak dan buaya, kasus Bank Century, mafi a peradilan, persekongkolan ala Anggodo dan Anggoro, hanya mungkin terjadi di sebuah rezim maling. Rezim seperti ini tentu bertentangan dengan alasan berdirinya sebuah negara. Karena pada dasarnya mereka tidak pernah dipilih oleh warganya untuk mencuri dan memperkaya diri.

Sekurang-kurangnya demikianlah pendapat tiga pemikir sosial berikut ini, yaitu Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704) dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778). Hobbes seperti ditulisnya dalam Leviathan (1651) mendasari  teori kontrak sosialnya dengan memahami manusia yang memiliki hasrat (appetite) dan keengganan (aversions). Dua hal itu menggerakkan tindakan mereka. 

Di satu pihak manusia memilikihasrat atau nafsu akan kekuasaan, kekayaan, pengetahuan, dan kehormatan, tetapi di pihak lain manusia juga memiliki keengganan untuk hidup sengsara dan mati. Ketegangan antara hasrat dan keengganan ini yang membuat manusia secara kodrati saling mengancam dan menjadi serigala bagi yang lain. Mereka berperang satu dengan yang lain, semua melawan semua. Kemudian atas pertimbangan akal budi, mereka besepakat (kontrak) untuk melepaskan hak-hak mereka dan menstransfer hak-hak itu kepada  beberapa orang atau lembaga yang akan menjaga kesepakatanitu agar terlaksana dengan sempurna.

Orang atau lembaga itu harus diberi hak sepenuhnya untuk menggunakan semua kekuatan dari masyarakat, dan  masyarakat tidak berhak lagi untuk mempertanyakan kedaulatan penguasa. Ini kontrak sosial, bukan kontrak pemerintah dengan yang diperintah. Di lain pihak, pemegang kedaulatan mempunyai seluruh hak untuk memerintah dan menjaga keselamatan yang diperintah itu. Namun, kemudian muncul ketidaktenteraman karena beberapa hal.

Pertama, ada beberapa pihak yang hidupnya dipandu oleh akal yang telah dibelokkan oleh dorongan  kepentingan pribadi, sehingga pola-pola pengaturan dan hukum alamiah menjadi kacau. Kedua, pihak yang dirugikan tidak selalu dapat memberi sanksi kepada pelanggar aturan dan hukum karena tidak mempunyai kekuatan cukup untuk memaksakan sanksi. Dari pemahaman tentang hubungan itu tampak bahwa pemegang pemerintahan atau yang diberi kepercayaan mempunyai hak-hak dan kewenangan yang sangat terbatas, karena masyarakatlah yang dapat bertindak sebagai trustor sekaligus benefi ciary.

Dari uraian itu, tampak nyata bahwa sumber kewenangan dan pemegang kewenangan dalam sebuah terori tetaplah masyarakat. Oleh karena itu kewajiban dan kepatuhan politik masyarakat kepada pemerintah hanya berlangsung selama pemerintah masih dipercaya. Lain lagi Jean Jacques Rousseau. Menurut dia, sejak dalam kondisi alamiah manusia justru saling bersatu dan bekerja sama dalam menghadapi alam yang buas. Masing-masing menjaga diri dan berusaha menghadapi tantangan.

Untuk itu mereka  perlu saling menolong, sehingga terbentuklah organisasi sosial yang memungkinkan manusia bisa mengimbangi alam. Walaupun pada prinsipnya manusia itu sama, alam,  fi sik dan moral menciptakan ketidaksamaan. Muncul hakhak istimewa yang dimiliki oleh beberapa orang tertentu karena mereka ini lebih kaya, lebih dihormati, lebih berkuasa,  dan sebagainya. Organisasi sosial dipakai oleh yang punya hak-hak istimewa tersebut untuk menambah kekuatan dan menekan yang lain. Untuk menghindar itu, maka masyarakat mengadakan kontrak sosial.

Kehendak umum
Bagi Rousseau, kehendak umum (volonte generale) menentukan yang terbaik bagi masyarakat, sehingga apabila ada orang yang tidak setuju dengan  kehendak umum itu, perlulah ia dipaksa untuk itu. Menurut dia, yang memerintah adalah kehendak umum dengan menggunakan lembaga legislatif yang membawahi lembaga eksekutif. Demikianlah sekilas pendapat beberapa orang bijak tentang apa yang semestinya diperbuat negara.

Negara mestinya melindungi hak-hak warganya, memperhatikan kehendak umum dan menjaga kepercayaan masyarakat. Di negeri maling, yang terjadi justru sebaliknya. Kalau begitu, pantas warganya bertanya, untuk apa bernegara?

 

Oleh Abraham Runga Mali
WARTAWAN BISNIS INDONESIA/JIBI

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya