SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Angkringan Pakdhe Harjo kembali regeng setelah beberapa hampir seminggu libur dalam rangka riyaya. Seperti biasa, Kang No kembali sibuk melayani para pelanggan loyal, yang ibaratnya belum merasa wedangan kalau belum ngopi di angkringan tersebut.

Tak berapa lama setelah bubaran shalat Isya dari masjid di ujung jalan, Noyo pun njedhul di angkringan dengan wajah menebar senyum. Terlebih dulu dia bersalaman, halal-bihalal, dengan Kang No maupun dengan sesama pengunjung tetap angkringan itu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Neng ngendi wae sampeyan, Kang No… sudah kangen berat saya… tapi jangan ge-er ya… Saya kangen sama jajanan di angkringannya lho, bukan sama sampeyan…” ujar Noyo begitu menduduki lincak di angkringan tersebut.

“Lha kangen kalih kula nggih mboten napa-napa kok. Gratis… Nek kangen kalih jajanan kula nggih tetep mbayar,” tangkis Kang No. “Bukannya di rumah kathah jajanan, Pak, wong masih Lebaran. Lagian, bisa sambil nonton acara telepisi yang gemebyar itu.”

“Weleh, seminggu terus menerus di rumah bikin bosen Kang… Lha tikna, di rumah hanya bisa nonton acara televisi yang super-njelehi itu… Bakda-bakda kok acaranya mung kisruh KPK sama hiruk-pikuk arus mudik,” timpal Noyo dengan mimik bersungut-sungut. “Kalaupun ada dagelan, blas… ora lucu… wis, pokoke nyebahi tenan…”

Setelah menikmati beberapa seruputan susu jahe kegemarannya, muncul pula Suto dan Dadap, rekan diskusi yang sudah dianggapnya sebagai sedulur sinarawedi. Mereka datang hampir berurutan.

“Malam ini saya mau minum teh jahe saja, gulanya jangan banyak-banyak, Kang No… sudah beberapa hari ini makan dan minum manis melulu… tambah gendhut kayane…” kata Suto.

“Sama… bobot saya sudah nambah dua kilo je, selama Lebaran ini… Tapi gak apa-apa, nanti joging lagi setelah liburan… itu pun kalau sempat ha ha ha…” ujar Dadap.

“Ati-ati lho, Dap… kamu sudah kegemukan… jangan anggap sepele soal obesitas ini, bisa ngundang penyakit,” Suto mencoba menasihati.

“Iya Kang, saya paham… Tapi, bukannya yang gemuk-gemuk sekarang malah sedang laku di televisi… Lha itu, selama acara Lebaran di berbagai televisi, banyak dagelan yang malah menampilkan orang gendhut… Sayangnya satu, mereka itu gak lucu…” balas Dadap.

“Barusan saya bahas soal itu dengan Kang No. Acara televisi kita njelehi pol… Sebagian besar gak mutu… Mana beritanya juga yang itu-itu lagi,” sergah Noyo.

“Ada sih Kang, yang menurut saya menarik… Itu soal RUU Keistimewaan Jogjakarta. Kok kayaknya jalan di tempat ya, gak kunjung diselesaikan atau gimana gitu…” kata Dadap.

“Soal itu memang tergantung Presiden dan DPR-nya kok… Mereka punya komitmen untuk menyelesaikannya apa tidak. Kalau memang berniat sih, sebenarnya sudah bisa diselesaikan, jadi tidak terbengkalai seperti sekarang ini,” kata Suto meningkahi.

“Apa mungkin kekurangan amunisi ya… Biasa… untuk membahas sebuah RUU kan dibutuhkan amunisi… ada pula yang menyebutnya sebagai gizi… Pokoknya yang berhubungan dengan itu tuh… setoran…” kata Dadap.

“Bisa jadi, lho Dap… Kalau setorannya minim, malah isyunya bisa-bisa berbelok ke mana-mana tuh,” Noyo menambahkan.

“Masak iya sih… ini kan urusan bernegara, masa ‘dikomersilkan’ sedemikian rupa… Saya denger, untuk membahas undang-undang yang berkaitan dengan sektor komersial misalnya perbankan atau perdagangan, kabarnya anggota DPR memang harus dibekali ‘gizi’ yang cukup. Tapi kan ini untuk urusan kenegaraan…” kata Dadap dengan tatapan mata blo’on.

“Apapun bisa terjadi, Dap… Apalagi di musim penghujung jabatan seperti ini… Meskipun mereka wakil rakyat terhormat, anggota DPR juga manusia kan… yang mestinya butuh pesangon atau apalah namanya…” kata Noyo.

“Saya kira tidak semua anggota DPR kita begitu kok. Masih banyak yang punya hati nurani untuk mengesahkan produk legislasi tanpa harus ada embel-embel seperti itu, termasuk mereka yang ikut memperjuangkan RUU Keistimewaan Jogja ini… saya yakin itu,” Suto menegaskan.

“Wah, kalau seumpama RUU Keistimewaan ini gak kunjung beres, bisa-bisa keinginan masyarakat Jogja untuk merdeka menjadi negara sendiri akan jadi kenyataan ya… gimana ya, Kang,” ujar Dadap bernada penasaran.

“Merdeka… memangnya kita ini, warga Jogjakarta dan sekitarnya, sedang dijajah… Tidak lah… Waktu itu, HB IX [Sri Sultan Hamengkubuwono IX] menyampaikan maklumat untuk mengintegrasikan wilayah kekuasaannya ke Republik Indonesia, bukan pernyataan menyerahkan wilayah. Beliau kan salah satu pendukung keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujar Noyo dengan nada agak meninggi.

“Oh iya ya… kita tidak perlu menyatakan kemerdekaan jika, misalnya, ingin memisahkan diri menjadi negara mandiri gitu…” Dadap segera menyadari ‘kesalahan-nya’.

Kayaknya ndak ada masalah, lho… Malah-malah, daerah kita ini akan lebih maju mungkin… Jogjakarta kan kaya akan sumber daya manusia unggulan, memiliki lahan pertanian dengan tingkat produktivitas tinggi, memiliki daya tarik kuat di bidang turisme, dan banyak lagi,” Noyo menambahkan.

“Omongan kalian kok semakin ngelantur gitu ya… Emangnya, kalau jadi negara sendiri lebih enak? Belum tentu… Dengan sumber daya alam yang relatif terbatas, kita nanti harus ngimpor berbagai kebutuhan… repot pokoknya. Implikasinya juga akan rumit dan tidak mudah lho,” Suto mencoba mendudukkan masalah pada proporsinya.

“Kalau begitu, yang terbaik adalah menjaga agar Jogjakarta tetap memiliki keistimewaan sebagai wilayah pemerintahan di Republik ini ya, Kang, dan itu rasanya bukan hal yang terlalu mewah mengingat momentum kesejarahan Jogjakarta yang sedemikian tinggi,” kata Dadap.



“Ya iya lah… Sebaiknya sih, pemerintah pusat maupun para wakil rakyat itu menyadari bahwa keistimewaan suatu daerah seperti Jogja ini bukan asal-asalan saja ditentukan, melainkan ada riwayat kesejarahan yang kuat. Dan itu harus dihormati,” Suto menambahkan.

“Intinya, mereka itu—Presiden dan DPR—jangan sok kuasa ya, Kang. Toh, wilayah tertentu seperti DKI juga punya keistimewaan, misalnya tidak perlu pemilihan walikota secara langsung oleh rakyat… Nyatanya juga bisa kan… Kalau nanti dipaksakan, Jogjakarta bisa-bisa menjadi seperti bunyi stiker yang dijual di Malioboro itu… United Ngayogyakarta… Indonesia minus Jogja, apa jadinya,” Noyo mencoba berargumentasi.

Tak urung, kedua rekan ngobrolnya pun ikut mesem…

Oleh Ahmad Djauhar
KETUA DEWAN REDAKSI HARIAN JOGJA

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya