SOLOPOS.COM - Danur Lambang Pristiandaru/Istimewa

Solopos.com. SOLO — Media-media mainstream atau arus utama di Indonesia beberapa hari lalu memberitakan Uni Eropa yang akan menggugat Indonesia ke World Trade Organization (WTO) terkait pembatasan ekspor bijih nikel.

Rencana Uni Eropa tersebut direspons pemerintah Indonesia dengan cukup keras. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menyatakan jangan sampai kebijakan pemerintah Indonesia didikte oleh suaru negara.

Promosi Perjalanan Uang Logam di Indonesia dari Gobog hingga Koin Edisi Khusus

Pelarangan ekspor bijih nikel tersebut dimaknai banyak pihak sebagai “gigitan balik” Indonesia atas sengketa sawit antara parlemen Uni Eropa dengan Indonesia.

Pada April 2017 parlemen Uni Eropa mengeluarkan resolusi untuk menghapus dan melarang penggunaan bahan bakar nabati dari minyak nabati, utamanya sawit. Ini berakibat ekspor sawit dari Indonesia ke Eropa merosot.

Indonesia merupakan produsen minyak kelapa sawit utama di dunia dan Eropa merupakan pasar terbesar kedua sawit Indonesia setelah India. Pada 2018, ekspor minyak kelapa sawit dan turunannya ke Eropa turun 5% dibandingkan tahun sebelumnya dengan total volume eskpor 4,78 ton.

Hal itu membuat defisit neraca perdagangan Indonesia semakin meningkat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat akibat melemahnya ekspor sawit tersebut defisit neraca perdagangan Indonesia pada April mencapai US$2,5 miliar atau terbesar sejak 2013.

Akhirnya Indonesia melarang ekspor bijih nikel yang awalnya akan dimulai pada 2022 berdasar Peaturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 menjadi dilaksanakan pada Januari 2022 berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 11 Tahun 2019.

Berdasar peraturan menteri tersebut, pemegang izin usaha perdagangan (IUP) operasi produksi penjualan nikel dengan kadar kurang dari 1,7% akan berakhir paling lama pada 31 Desember 2019.

Nilai Tambah

Larangan ekspor bijih nikel sebenarnya sudah dikemukakan pemerintah cukup lama. Melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, pemerintah mendorong pengolahan mineral dalam negeri untuk meningkatkan nilai tambah.

Pengolahan mineral di sektor hilir akan mendorong pertambahan tingkat komponen dalam negeri yang berpengaruh terhadap perekonomian nasional, khususnya neraca perdagangan. Indonesia merupakan pemasok terbesar kedua bijih nikel di kawasan Eropa.

Cukup beralasan ketika Uni Eropa merasa gelisah kalau Indonesia menyetop ekspor bijih nikel karena pengolahan baja di kawasan Eropa sudah cukup maju untuk mengolah bijih nikel.

Jika yang diekspor Indonesia adalah nikel yang sudah diolah, otomatis biaya produksi yang dikeluarkan negara-negara industri di kawasan Uni Eropa akan membengkak. Terlebih lagi, saat ini nikel menjadi primadona karena komoditas ini menjadi salah satu bahan baku utama baterai litium-ion.

Peran baterai akan sangat berpengaruh pada masa depan. Bisa dikatakan baterai merupakan kunci energi masa depan dengan semakin berkembangnya energi baru terbarukan, seperti panel surya, dan lebih khusus lagi kendaraan listrik.

Dalam skala global, International Renewable Energy Agency (Irena) melalui publikasi berjudul Global Energy Transformation: A Roadmap to 2050 menyajikan fakta bahwa biaya pengembangan energi terbarukan selalu turun dari waktu ke waktu.

Irena memprediksi biaya investasi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) akan menyusut sekitar 50% pada 2050 dan biaya pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) akan menyusut sekitar 40%. Harga yang semakin kompetitif membuat dua jenis EBT ini akan semakin penting.

Dua jenis EBT ini sangat bergantung pada baterai penyimpan energi listrik karena sumber energi dari dua pembangkit (sinar matahari dan angin) ini sangat intermiten. Di Indonesia, kapasitas terpasang PLTS atap hingga November 2019 meningkat 181% dibandingkan bulan yang sama pada tahun lalu (siaran pers Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral).

Itu baru yang tercatat oleh PT PLN. Ada pula rumah tangga yang memasang PLTS dan memilih tidak masuk dalam sistem ekspor-impor listrik dengan PT PLN.  Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengklaim peningkatan kapasitas tersebut disebabkan Pemberlakuan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 49 Tahun 2018 dan direvisi lagi menjadi Peraturan Menetri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13 Tahun 2019.

Masyarakat Semakin Sadar

Pemerintah boleh saja mengklaim peningkatan kapasitas terpasang PLTS tersebut. tapi menurut hemat saya, peningkatan kapasitas terpasang PLTS itu juga disebabkan masyarakat semakin sadar pentingnya menggunakan EBT dan semakin murahnya harga PLTS.

Wajar apabila kapasitas terpasang PLTS di Indonesia akan semakin meningkat dan jumlah permintaan baterai semakin terkerek. Selain untuk pembangkit listrik EBT, baterai juga menjadi komponen kunci bagi kendaraan listrik.

Baterai dalam kendaraan listrik akan berpengaruh terhadap kapasitas penyimpanan energi listrik yang berpengaruh terhadap daya tempuh kendaraan listrik dan adaptasi terhadap teknologi fast charging. Irena memprediksi mobil listrik global akan meningkat dengan pesat dari dua juta unit pada 2016 menjadi 300 juta unit pada 2030.

Jumlah bus listrik diprediksi akan mencapai 10 juta unit pada 2030. Produsen-produsen otomotif global berlomba-lomba memperkenalkan dan mempromosikan kendaraan listrik termutakhir. Setahu saya, hingga saat ini hanya ada dua merek kendaraan listrik bikinan putra-putri Indonesia yakni Gesits untuk motor listrik dan MAB untuk bus listrik.

Pada tahun-tahun sebelumnya, pemerintah menggadang-gadang melahirkan mobil listrik nasional (molina) dengan menggandeng beberapa universitas negeri. Kalau tidak salah, pada 2013 pemerintah melalui Kementerian Riset dan Teknologi gencar menyosialisasikan pengembangan molina.



Kota Solo menjadi salah satu tempat sosialisasi tersebut, namun kenyataannya kelanjutan molina tak terdengar gaungnya dan pemberitaannya pun bak hilang ditelan bumi.

Komitmen

Saya mengapresiasi langkah pemerintah dengan menyetop ekspor bijih nikel di sektor hulu, namun upaya pemerintah seharusnya tidak boleh berhenti di situ saja. Bijih nikel yang biasa digunakan untuk industri baja pada masa depan akan menjadi kunci ketahanan energi global melalui peran sebagai bahan baku kunci bagi baterai litium.

Oleh sebab itu, sektor hilir industri baterai listrik nasional juga perlu dikembangkan. Beberapa perguruan tinggi di Indonesia sebenarnya telah mengembangkan dan meriset baterai litium dengan tingkat kesiapan teknologi (TKT) yang cukup tinggi.

Sebagai salah satu contoh, Universitas Sebelas Maret bekerja sama dengan PT Pertamina mengembangkan baterai litium (Kompas.com, 31 Mei 2019).  Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam laporan pada Desember 2019  yang berjudul Indonesia Clean Energy Outlook melaporkan pengembangan industri baterai litium dari nikel kurang mendapatkan komitmen dari industri hilir kendati telah direncanakan untuk dikembangkan.

Alih-alih menggunakan komoditas bijih nikel sebagai balasan terhadap keputusan parlemen Uni Eropa terhadap minyak sawit, pelarangan ekspor bijih nikel tersebut seharusnya sebagai wahana meningkatkan kemampuan industri pengolahan mineral dalam negeri.

Terlebih lagi, peran nikel sebagai salah satu bahan baku utama dalam pembuatan baterai litium-ion untuk ketahanan energi pada masa depan. Kita tentu tidak ingin ketinggalan dalam mengembangkan teknologi dan mematahkan cibiran teman saya, M. Fauzi Syukri, yang esainya dimuat dalam Rubrik Gagasan di Harian Solopos beberapa waktu lalu bahwa tahap kita hanya sebatas konsumen teknologi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya