SOLOPOS.COM - FOTO/Istimewa

FOTO/Istimewa

Elly Jauharah Asriani

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Guru MTsN Jatinom, Klaten
Alumnus Lembaga Pelatihan
Jurnalistik SOLOPOS (LPJS)

Format Ujian Nasional (UN) yang hampir berubah tiap tahun hendaknya disikapi sebagai bagian evaluasi dan perbaikan dari tahun sebelumnya. Tak perlu panik menghadapinya karena sebenarnya UN merupakan ujian yang cukup mudah. Terlebih setelah UN bukan satu-satunya faktor penentu kelulusan seorang siswa.
Namun, UN sering kali masih ditakuti atau dianggap momok. Bahkan sebagian masyarakat masih memandang UN harus dihapuskan dan dikembalikan ke sistem evaluasi sebelumnya yakni Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas).
Padahal jika dicermati siswa niscaya lebih sulit menghadapi Ebtanas karena siswa tidak diberikan panduan materi atau target pencapaian sehingga belajar pun kurang terarah atau fokus. Hasil Ebtanas pun tidak dijadikan faktor penentu kelulusan siswa dan hanya dijadikan sebagai bahan pemetaan pendidikan oleh pemerintah.
Meskipun nilai yang didapatkan minimal, tetapi tidak ada dampak berarti yang diterima siswa, guru dan orangtua. Jika hal ini diteruskan akan merugikan dunia pendidikan sendiri dan kualitas manusia Indonesia.
Tahun ini pelaksanaan UN pada 16-19 April untuk SMA/MA, 16-18 April untuk SMK, dan 23-26 April untuk SMP/MTs/SMPLB. UN  menggunakan format yang hampir sama dengan tahun lalu. Mata pelajaran yang diujikan untuk SMP dan yang sederajat yaitu untuk Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika ditambah Ilmu Pengetahuan Alam.
Untuk SMA/MA Program IPA ditambah Fisika, Kimia dan Biologi. SMA/MA Program IPS ditambah mata pelajaran Ekonomi, Sosiologi dan Geografi. Sedangkan untuk SMA/MA Program Bahasa ditambah mata pelajaran Sastra Indonesia, Antropologi dan Bahasa Asing. Dan untuk UN SMK ditambah Kompetensi Keahlian.
Hal yang membedakan pada UN 2012 adalah adanya penandatanganan pakta integritas dari penyelenggara UN tingkat pusat, penyelenggara UN tingkat propinsi, penyelenggara UN tingkat kabupaten/kota hingga ke tingkat satuan pendidikan (sekolah), bahkan ke pengawas ruang UN.
Naskah soal disusun dalam lima jenis (paket) yang pembagiannya menyesuaikan denah soal yang baru diketahui saat ujian berlangsung. Hal ini untuk menjaga prinsip kejujuran, objektivitas dan akuntabilitas. Menyikapi hal ini hendaknya para siswa lebih percaya pada kemampuan  sendiri dan tidak terpancing untuk mendapatkan kunci jawaban yang beredar di masyarakat, internet atau lainnya.

Tidak Muluk-muluk
Awal diselenggarakannya UN pada 2003 oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dengan menetapkan nilai tertentu sebagai nilai minimal kelulusan dan tidak adanya ujian ulang menimbulkan pro dan kontra. Banyak siswa yang tidak lulus atau stres menghadapi UN, meskipun nilai yang dipatok masih tergolong rendah.
Menurut Peratuan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 59/2011 tentang Kriteria Kelulusan Peserta Didik pada Satuan Pendidikan dan Penyelenggaraan Ujian Sekolah/Madrasah dan Ujian Nasional tahun 2011/2012, peserta didik dinyatakan lulus UN apabila nilai rata-rata dari nilai akhir minimal 5,5 dan nilai setiap mata pelajaran paling rendah 4,0.
Nilai akhir diperoleh dari gabungan antara nilai Ujian Nasional dan nilai sekolah/madrasah (S/M) dari mata pelajaran yang diujinasionalkan dengan perbandingan 40% untuk Ujian Sekolah/Madrasah dan 60% untuk nilai UN. Nilai sekolah/madrasah (S/M) merupakan gabungan dari 60% nilai Ujian Sekolah/Madrasah(US/M) dan 40% nilai rapor lima semester sebelumnya(I-V) untuk SMK/SMP dan tiga semester sebelumnya (III-V) untuk SMA/MA.
Proporsi nilai UN yang hanya memiliki andil 60% terhadap nilai kelulusan jika dihitung-hitung juga akan menghasilkan kriteria pencapaian yang masih rendah. Misalkan seorang siswa mendapatkan nilai sekolah (S/M) 6,00 (dengan porsi 40%) maka dia telah mendapat poin 2,40 dan untuk mencapai minimal kelulusan 4,00 siswa tersebut hanya punya kekurangan nilai UN sejumlah 1,60 dengan porsi 60% atau nilai UN murni 2,67.
Jadi semakin besar nilai sekolah (S/M) akan meringankan beban pencapaian nilai murni UN.  Sehingga boleh dikatakan UN tahun 2012 kurang memiliki gereget. Namun, tidak menutup kemungkinan proporsi ini akan berubah pada pelaksanaan tahun mendatang karena tuntutan masyarakat.

Berorientasi UN
Selain cukup rendahnya nilai yang harus dicapai sebagai kriteria kelulusan, soal-soal UN juga mudah karena lebih terarah (dibandingkan Ebtanas) dengan diberikannya kisi-kisi soal yang memuat standar kompetensi lulusan (SKL) dan indikator soal oleh BSNP. Kisi-kisi dapat dijadikan panduan dalam mempelajari materi UN, sehingga gambaran soal-soal yang akan keluar dalam UN sudah ada dalam pikiran. Jauh berbeda dengan ujian-ujian lain seperti ujian seleksi masuk perguruan tinggi atau tes calon pegawai negeri sipil (CPNS).
Tingkat kesukaran soal yang tergolong sulit hanya sekitar 25%, sisanya termasuk golongan mudah dan sedang. Seluruh soal tidak harus dikerjakan dengan benar jika hanya mengejar nilai minimal. Jadi jika sekolah selalu berorientasi UN sangatlah wajar, bahkan harus.
Selain karena hal-hal di atas, SKL yang ditetapkan pemerintah merupakan kompetensi minimal yang harus dicapai oleh satuan pendidikan (sekolah). Pemberian motivasi menghadapi UN seharusnya tidak hanya diberikan saat menjelang UN, namun dari awal memasuki bangku sekolah.

Kerja Sama
Untuk memperoleh hasil UN yang maksimal, selain usaha dan kerja keras siswa dan guru diperlukan kerja sama bahkan ketegasan dari orangtua siswa. Waktu belajar siswa di sekolah jauh lebih sedikit dibandingkan waktu yang dihabiskannya di rumah.
Pantauan orangtua sangat dibutuhkan siswa sebagai wujud kepedulian dan perhatian kepada anak. Jangan sampai seorang siswa di sekolah sekaligus seorang anak di rumah selalu dipenuhi dengan fasilitas tanpa kontrol yang berarti. Diperlukan ketegasan pada saat-saat tertentu. Misalkan kebiasaan belajar dua jam sehari di rumah jika tak terpenuhi maka fasilitas yang diberikan kepada anak akan dicabut.
Berikan juga pemahaman bahwa sekadar lulus UN tidaklah sulit. Hal yang lebih sulit adalah setelah UN: mendapatkan sekolah pada jenjang lebih tinggi atau mendapatkan pekerjaan. Terlebih jika hanya karena lulus UN para siswa (anak) meluapkan euforia dengan berkonvoi di jalan meskipun telah dilarang oleh pihak sekolah. Para orangtua hendaknya turut berperan dan membiasakan setiap menyelesaikan satu pekerjaan berarti menyiapkan menghadapi pekerjaan selanjutnya.

gereget

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya