SOLOPOS.COM - Eddy J. Soetopo (Istimewa)

Beberapa tahun lalu, sewaktu melakukan penulusuran mendalam soal wartawan korban kekerasan di Mindanao Selatan, secara kebetulan bertemu dengan warga masyarakat mengaku lahir dan dibesarkan di Kota Bengawan, tetapi telah beralih menjadi warganegara negara tetangga Philipina, cukup mengesankan.

Setelah kongkow-kongkow menggunakan bahasa Jawa, saat diminta menilai perkembangan kota kelahiran sang maestro keroncong Gesang, menurutnya yang membedakan Solo dengan daerah lain, hanya berbeda dalam penyikapan huruf ‘U’ dan ‘A’ dalam kosakata umuk dan amuk. Bila huruf ‘U’ diletakkan pada pengertian “universal”, umuk dengam sendirinya melebur ke dalam persoalan situasional sama di seluruh dunia. Sedangkan huruf ‘A’ bila ditempatkan sebagai bentuk preposisi “abnormalitas”, bisa jadi kata amuk massa seketika hanya terjadi Solo, tidak di daerah lain di negara manapun.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Meski terdengar nyaris sama dua kosakata umuk dan amuk bila diucapkan menggunakan dialek Mindanao, menurutnya, keduanya sulit dilacak dan dicari asal budaya dari manakah sebenarnya leksikon umuk yang kemudian berubah menjadi amuk. Tak dapat dimungkiri budaya umuk – lebih cenderung menggarah ke perilaku ponggah, congkak dan menyombongkan diri– saat ini hampir dapat dikatakan nyaris menghinggapi seluruh perilaku warga masyarakat Solo, sebenarnya bukan budaya adiluhung yang menjunjung tinggi nilai andap-asor sebagai wong alusan trah Solo.

Akhir-akhir ini, di Solo budaya umuk berusaha melenyapkan tepa-selira. Apalagi bila pemicu umuk disebabkan karena derajat dan martabat sebagai anggota masyarakat Solo, meminjam istilah Prof. Soetandjo, terjejas –diremehkan dan tercampak oleh perilaku seseorang. Bisa jadi perubahan perilaku umuk menjadi amuk tak tercegah. Untungnya perubahan budaya perilaku umuk menjadi amuk massa tak terjadi, sebagai contoh tahun lalu, saat PLN akan memadamkan lampu penerangan jalan, bila tunggakan tidak dibayar.

Padahal kemungkinan terjadinya amuk massa, bisa dikatakan berada pada titik kritis dan sangat mengkhawatirkan. Apalagi menyangkut persoalan sakralitas jalan yang menggunakan nama putra terbaik Solo, Slamet Riyadi, dipadamkan. Pengelola PLN, ketika itu Presiden Joko Widodo masih menjabat sebagai wali kota Solo, dianggap ngilani dhada pemangku kepentingan, nota bene wong Solo asli yang sedang naik daun. Persoalan lain kemudian dirembetkan ke wilayah etnisitas kedaerahan.

Penguasa PLN yang notabene bukan asli Solo, dengan jemawa menyatakan akan tetap memadamkan listrik penerangan jalan umum bila tunggakan Pemkot (Pemerintah Kota) Solo tidak segera dibayar dalam batas waktu sangat mepet, meski menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru, waktu itu. Benar saja, listrik di Jl. Slamet Riyadi dipadamkan. Kabar angin berembus warga masyarakat yang merasa dirugikan, berencana akan membakar kantor PLN.

Sebagaimana biasa, media massa pun ikut ambil bagian meninggikan tensi kejengkelan pemkot dan warga masyarakat yang merasa kenyamannya terganggu. Untung saja, wakil wali kota Solo trengginas meredam amuk masa anarkistis yang ingin ngobong kantor perusahaan negara waktu itu. Bisa dibayangkan betapa besar dampak kerugian dari rentetan amuk masa, apabila hal itu benar terjadi.

Dalam kasus pemadaman listrik itulah, sebenarnya umuk Solo tidak selalu berubah menjadi amuk masa. Meski tidak terjadi ekses perubahan perilaku dari umuk jadi amuk masa, toh nuansa umuk tetap kental mewarnai cara membayar tunggakan listrik. Pemkot membawa uang tunai miliaran pada petugas penagih tunggakan pembayaran listrik penerangan lampu jalan raya yang disaksikan massa ratusan orang. Warga masyarakat yang jengkel pun ikut menghakimi saat serah terima uang kepada direktur PLN dengan cemoohan tidak mengenakkan kuping. Umuk gaya khas wong Solo.

Peristiwa urungnya perubahan perilaku umuk menjadi amuk masa dalam kasus ini penting untuk dicatat dalam perjalanan sejarah siklus 15 tahunan amuk massa obong-obongan. Menurut catatan sejarawan Sudarmono (alm), siklus bakar-bakaran bakal kembali terulang secara periodik dalam siklus limolasan tahun. Meski klise, sebagai seorang resi pencatat sejarah, kekawatiran Sudarmono pantas kita renungkan dan waspadai. Siapa tahu, budaya umuk dapat sewaktu-waktu berubah menjadi amuk masa yang tidak produktif dan sangat merugikan kita semua.

Bila kita cermati secara seksama, perilaku umuk massa komunal di Solo saat ini, boleh jadi telah bermetamorfosis ke dalam bentuk pelbagai carnival jalanan. Barang kali, masyarakat tidak akan pernah menyadari bahwa pamer, apapun bentuknya, merupakan salah satu elemen dasar umuk. Meminjam istilah Betawi dalam jargon bahasa gaul, “Gue punya dan gue juga bisa” sebenarnya merupakan gaya penyombongan diri berlebihan. Celetukan anak muda peserta carnival yang memamerkan, “Costum batik gue seharga 3.5 juta” menjadi salah satu cerminan budaya umuk. Celakanya budaya umuk generasi muda itu digelar, saat ribuan warga miskin lain ngantre beras dan makan nasi aking. Sungguh satu pemandangan yang kontras dan sangat ironis.

Alasan pelebelan Solo sebagai kota budaya tidak harus disertai pergelaran dan seremonial jalan. Solo bukan Rio de Jenario yang mengetengahkan ajang pamer tahunan, dalam kemasan kurang lebih, pamer sensualitas tubuh dan pakaian minim. Meski ajang pamer batik, dijadikan daya tarik sebagai branding agar wisatawan mengalir deras ke kota Bengawan, tampaknya perlu dikaji ulang agar umuk massa dapat terbendung.

Toh selama ini tak banyak “wong Londongendon di kota kelahiran sang maestro keroncong almarhum Gesang berleha-leha ngabisin dollar. Justru yang semakin nyaring terdengar suara umuk anak-anak muda pamer. Ajang umuk yang diembel-embeli pelebelan dhodolan citra Solo sebagai kota budaya, disalahtafsirkan sebagai ajang pamer sugih-sugihan. Kalau sudah seperti itu, dikawatirkan jurang kesenjangan kaya-miskin semakin menganga lebar. Bisa jadi umuk masa bisa memantik amuk masa, kalau tidak diwaspadai dari sekarang. Mudah-mudahan tidak terjadi.

 

* Penulis adalah Direktur Eksekutif Institute for Media and Social Studies Jakarta Pernah belajar di STF Drijarkara.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya