SOLOPOS.COM - Heri Priyatmoko (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Stasiun kereta api Klaten kemarin mendadak meriuh. Suasananya tak seperti hari-hari biasanya. Memang tiada lambaian tangan para petani dan sorak-sorai warga lokal menyambut kedatangan penumpang kereta api laiknya yang dialami Paku Buwono X seabad silam saat menjemput putri dari Jogja.

Bunyi roda ”ular besi” tidak lagi regedeg-regedeg yang dijadikan tetenger atau petunjuk waktu bagi para petani untuk laut (pulang) dari tegalan pada masa kolonial. Kali ini kereta berkelir meriah itu melaju mak plas, kecepatannya bak tokoh kartun The Flash saat melibas musuh.

Promosi Bukan Mission Impossible, Garuda!

Presiden Joko Widodo bersama rombongan kemarin meresmikan kereta rel listrik atau KRL dari Stasiun Tugu Jogja ke Stasiun Klaten. Dari sisi waktu tempuh, menurut Presiden Joko Widodo, KRL lebih cepat dibandingkan dengan kereta api Prambanan Ekspress (Prameks).

Prameks beroperasi melayani rute Jogja-Solo selama beberapa tahun. Presiden Joko Widodo berharap KRL dapat membantu mobilisasi orang maupun barang dari Jogja ke Solo dan sebaliknya dan menunjang pengembangan dan pemberdayaan pariwisata.

Ekspedisi Mudik 2024

KRL kali pertama beroperasi di jalur kereta di luar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Peluncuran KRL Solo-Jogja ”mengusir” kereta Prameks meladeni masyarakat Vorstenlanden (daerah kerajaan Jogja-Solo).

Kembali terbayang dalam benak saya penggalan syair ramalan Jayabaya anggitan pujangga Ronggowarsita: Kereta mlaku tanpa kuda/ Senyari bumi dipajegi, tanah Jawa kalung wesi. Terdapat kejutan budaya tatkala masyarakat Jawa dihadapkan pada kehadiran spoor (sepur) sebagai sarana transportasi perkotaan.

Sarana transportasi baru pada masa itu amat menunjang orang bepergian antardaerah dari periode kolonial hingga kini. Mencuat pula sepotong kisah lucu akibat polosnya wong Jawa menanggapi ”keajaiban” sepur berikut penumpangnya.

Bahwa tempo dulu kaum bangsawan istana dianggap sakti mandraguna karena bermodal senjata atau gaman ”kacu emas” bisa menyetop kereta yang tengah melaju. Saat itu pemerintah kolonial Belanda memang memberikan hak istimewa kepada keluarga aristokrat kerajaan Solo dan Jogja.

Kaum darah biru punya privilese naik kereta secara gratis, cukup dengan melambaikan tanda ”kacu emas”. Kala itu ”kacu mewah” tersebut hanya dimiliki kelompok ningrat. Kereta berhenti bukan gara-gara keampuhan sesobek kacu itu.

Kereta itu berhenti karena taat regulasi yang dibikin dan diberlakukan ”tuan kulit putih” untuk kaum ningrat kerajaan setelah kerajaan bersedia menyewakan tanah untuk pengembangan transportasi sepur guna mendukung bisnis perkebunan yang cukup basah.

Saya merasakan ada sesuatu yang raib selepas KRL diluncurkan. Penumpang kereta api Solo-Jogja Sangat berbeda tipenya dengan penumpang KRL Jabodetabek yang selalu berpacu dengan waktu.

Sifat penduduk Vorstelanden adalah suka nglaras, turah wektu, dan menikmati ritme hidup. Mereka tenang, tiada tergesa-gesa dalam segala keadaan. Perlahan-lahan berjalan sampai juga pada tujuan: gliyak-gliyak tumindak. Mereka juga nguler kambang, santai.

Biarpun terdesak oleh keperluan, andong Solo dan Jogja tetap berjalan pelan-pelan seperti irama suara tapal kuda. Tumbuh tradisi minarakke atau tawaran mampir kepada orang yang lewat di depan rumah.

Dengan senang hati mereka akan singgah barang sejenak, sekadar omong-omong sembari makan nyamikan. Buat apa buru-buru. Tak lari gunung dikejar adalah ungkapan yang dipegang. Bukti bahwa mereka tak dijajah waktu.

Gambaran demikian juga bisa dijumpai di kereta Prameks. Penumpang bersantai reriungan di dalam gerbong. Mereka juga minarakke kawan saat kereta bergerak membelah hamparan sawah sepanjang lepas dari Kota Solo sampai Kota Jogja.

Tak jadi masalah nglesot beralas koran ketika kursi sudah ludes terpakai. Tercipta beberapa kalangan (lingkaran) yang gayeng, tanpa harus membanting kartu domino. Justru dalam suasana inilah teronce keguyuban tanpa sekat sosial dan agama.

Keramahan sesama pelaju terjalin apik, bahkan bermuara pada solidaritas sampai keluar pagar stasiun. Prameks menjadi saksi kemesraan para penumpang yang saling bertukar cerita dan menyorongkan makanan.

Icip-icip camilan disertai bumbu guyonan, dari yang saru hingga yang lugu. Buahnya adalah menipislah rasa capek selepas seharian bekerja memeras keringat. KRL hadir bukan hanya menggusur Prameks, namun juga mengikis kohesi sosial dan kearifan lokal yang semerbak di dalamnya.

Teknologi mengubah kebiasaan yang baik itu. KRL lambat laun memaksa masyarakat bekas kota kerajaan berpacu dengan waktu. Hidup penuh ketergesaan. Beda dengan seabad silam, ketika muncul kali pertama trem uap menggantikan kereta yang ditarik kuda.

Jurnalis Darmo Kondo menulis artikel bertajuk Stoom Tram (Trem Uap) Dibuka. Tanggal 1 Mei 1908 stoomtram mulai dioperasikan. Trem ditarik kuda sudah tidak terlihat lagi. Di depan kantor bank sedari pagi dipenuhi banyak orang dari bangsa Jawa, China, Belanda, dan lainnya.

Pariwisata

Di dalam kereta stoomtrem, penumpang laki-laki dan perempunan berdesak-desakan sepanjang perjalanan dari Solo ke Boyolali dan sebaliknya. Hari itu juga mereka yang mau mencoba menumpang trem tidak perlu membayar.

Warga sangat gembira. Adat Solo jamak jangankan berlibur gratis, harus membayar sekalipun jika itu barang model terbaru pasti bakal tetap dicoba. Maklumlah bila penumpang berjejal-jejal di gerbong stoomtram.

”Kita berdoa, mudah-mudahan hari ini dan seterusnya dipenuhi penumpang agar mij (perusahaan) tidak mengalami kerugian. Stoomtram berfaedah besar untuk orang di dalam dan luar kota,” demikian penutup artikel yang ditulis jurnalis Darmo Kondo tersebut.



Berita di atas menggambarkan secuil fakta penting selain pembukaan trem uap, yakni perihal “adat” (kebiasaan) orang Solo yang doyan berlibur alias plesiran. Budaya berlibur melekat pada masyarakat Solo. Ini tentu menjadi unsur penting yang melambari pesatnya kegiatan pariwisata di kota ini.

Artinya, faktor intern wong Solo sendiri menyebabkan berkembangnya fasilitas perkotaan mengarah pada kepentingan pariwisata skala nasional dan internasional. Modal dasar inilah yang melandasi kukuhnya dunia kepariwisataan di Kota Solo, di samping penyediaan infrastruktur dan sarana transportasi yang jempolan seperti sepur.

Karakter masyarakat Vorstenlanden tak sesuai dengan moda KRL. Terbukti, kedatangan KRL tak disambut warga penuh antusias. KRL menyingkirkan Prameks beserta timbunan kenangan tentang kereta komuter ini. Kenangan memang sukar ditebus dengan uang, tapi yang lebih mahal lagi adalah ”adat” yang hilang di Prameks itu.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya