SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Saya berpendapat bahwa hasil belajar yang diukur dengan satu alat ukur seperti sekarang, semuanya akan menghasilkan ukuran semu. Ukuran hasil belajar yang realistis adalah yang didasarkan kepada yang benar-benar dipelajari anak, melalui pemikiran, penginderaan, konseptualisasi, dan kesimpulan sendiri yang dapat disajikan dalam bentuk dokumen karya siswa dan dijadikan kumpulan hasil evaluasi kemajuan anak. Hasil belajar yang demikian dapat dikatakan hasil belajar yang realistis.

Dari dokumen hasil belajar dari waktu ke waktu, dari persoalan satu ke persoalan yang lain, kelemahan dan kelebihan anak akan dapat diketahui. Dengan demikian, guru dapat memberikan bantuan yang tepat terhadap siswa yang mengalami kekurangan dalam kegiatan pembelajaran itu.

Promosi Liga 1 2023/2024 Dekati Akhir, Krisis Striker Lokal Sampai Kapan?

Ukuran keberhasilan pendidikan seharusnya tidak hanya ditentukan oleh kualitas out put, akan tetapi harus diukur dari kualitas out come yakni keberhasilan anak-anak kita dalam meraih kehidupan nyata berdasarkan tingkat pendidikan mereka.

Saya melihat, bahwa bila diperhatikan keadaan sekarang ini maka out come hasil pendidikan kita hanya mampu menawarkan ijazah untuk meraih kehidupan, mereka tidak mampu mandiri dan bahkan tidak memiliki jati diri. Dengan ijazahnya itu mereka tidak memiliki kemampuan apa-apa, karena memang selama dalam pendidikan mereka tidak mencari dan memperoleh kemampuan, akan tetapi mencari dan memperoleh ijazah dengan cara bagaimanapun.

Paper Syndrome  
Ijazah bagi bangsa kita masih sangat didambakan untuk peningkatan status sosial mereka, meskipun dengan ijazah itu mereka sebenarnya tidak memiliki apa-apa. Masyarakat kita masih berada pada tingkatan paper syndrome.

Persoalannya adalah seberapa tanggap daerah dalam era otonomi daerah ini mampu menangkap isyarat kelemahan pendidikan yang terjadi selama ini, untuk tidak lagi diwarisi dan diteruskan dalam membangun pendidikan di daerah. Tetapi sebaliknya daerah mampu membuka lembaran baru mengusahakan pendidikan kita menjadi barang nyata, berguna bagi bangsa dalam peningkatan profil manusia Indonesia dan SDM bangsa demi untuk peningkatan kesejahteraan kehidupan masyarakat.

Tanda mengakhiri setiap jenjang pendidikan, menurut pendapat saya, tidak harus diukur dengan keberhasilan siswa terhadap ujian, akan tetapi cukup dengan memberikan tanda tamat belajar atau STTB, yang diukur secara terus menerus selama mereka berada dalam proses pendidikan.

Untuk memasuki jenjang pendidikan di atasnya yakni SLTP bagi anak yang telah menyelesaikan pendidikan di SD cukup dengan memperhatikan STTB-SD mereka.

Sementara bagi anak yang memasuki jenjang SD, umur dengan pengertian 7 tahun adalah umur wajib belajar, dan bila kelas masih dapat menampung dapat diterima anak-anak usia di bawahnya. Bagi lulusan SLTP dan SLTA yang akan meneruskan pendidikan lebih lanjut, dapat dilakukan tes seleksi masuk SLTA dan PT untuk mengetahui dan memilih kesiapan dan kemampuan calon siswa.

Saya kira, cara ini untuk menekan motivasi sekolah bagi anak bangsa kita dari sekadar meraih ijazah ke arah belajar untuk meraih kemampuan, dan menjadikan diri kita masing-masing sebagai individu belajar untuk membangun masyarakat belajar yang sangat dibutuhkan pada era kehidupan global.

Saya juga melihat bahwa bangsa kita selama ini terlalu ambisius ingin menyamakan pendidikan di seluruh nusantara dengan sistem sentralisasi dan uniformitas.

Kita sendiri ingkar terhadap wawasan kita sendiri bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki keragaman, baik lingkungan, suku, bahasa, kebiasaan yang diwujudkan dalam tatanan sosial dan budaya. Akibatnya, terbukti sentralisasi dan uniformitas pendidikan kita hanya menghasilkan kemunduran dalam perjalanan sejarah bangsa bila dibandingkan dengan kemajuan bangsa-bangsa lain di sekitar kita.

Hasil yang jelas kita peroleh adalah KKN, hedonisme, egoisme, kekerasan, dan disintegrasi bangsa. Pengakuan kita terhadap keanekaragaman bangsa tidak diimbangi dengan diversifikasi penyelenggaraan pendidikan, kurikulum, sistem manajemen penyelenggaraan pendidikan, dan pengukuran terhadap hasil pendidikan.

Kesemuanya itu membuat penyelenggara pendidikan kita beku yang hanya menghasilkan manusia tergantung. Hal yang pantas untuk disamakan bagi seluruh bangsa adalah motivasi hidup yakni motivasi untuk maju. Motivasi ini, saya kira, yang potensial bagi bangsa kita untuk meraih kemajuan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya