SOLOPOS.COM - Bramastia (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Merebaknya protes mahasiswa di banyak perguruan tinggi (negeri) yang menuntut pengurangan pembayaran uang kuliah tunggal (UKT) di tengah pandemi Covid-19 sangat dilematis.

Sebelum terbit Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 25 Tahun 2020 yang mengatur tentang pemberian keringanan UKT bagi mahasiswa perguruan tinggi negeri (PTN), para permimpin kampus negeri banyak yang kebingungan menghadapi protes dan tuntutan mahasiswa.

Promosi Yos Sudarso Gugur di Laut Aru, Misi Gagal yang Memicu Ketegangan AU dan AL

Beberapa pemimpin PTN ada yang berani mengambil kebijakan progresif dalam membantu mahasiswa yang terdampak Covid-19. Saat itu yang menjadi dasar kebijakan pemotongan UKT adalah Peraturan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 39 Tahun 2017 yang mengatur biaya kuliah tunggal (BKT) dan UKT pada PTN.

Pemimpin PTN yang kurang progresif dan tidak paham regulasi terkesan pasif atas demontrasi dan protes mahasiswa. Mereka tak merespons tuntutan pengurangan UKT. Banyak pemimpin perguruan tinggi yang bingung dan kemudian menjadi sasaran perundungan mahasiswa.

Perundungan oleh para mahasiswa—karena para pempimpin perguruan tinggi tak peka terhadap dampak Covid-19 yang dirasakan mahasiswa—juga menyasar institusi pendidikan tingginya.

Realitas tersebut wajar karena belum ada kebijakan, belum ada arahan, dan belum ada regulasi untuk melakukan relaksasi pembayaran UKT, kebijakan mengizinkan mahasiswa mencicil pembayaran UKT, dan penggratisan UKT bagi mahasiswa.

Regulasi

Penerbitan Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020 menjadi landasan bagi semua perguruan tinggi negeri melakukan langkah riil merumudkan strategi memberikan keringanan pembayaran UKT demi membantu para mahasiswa.

Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020 menegaskan bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberi keringanan pembayaran UKT bagi mahasiswa PTN yang menghadapi kendala finansial selama pandemi Covid-19.

Regulasi ini terbit dan berlaku sebagai pijakan bagi kampus negeri untuk mengambil langkah taktis dan strategis dalam membantu meringankan beban mahasiswa pada masa pandemi Covid-19.

Dalam Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020, mahasiswa tidak wajib membayar UKT jika sedang cuti kuliah atau tidak mengambil satuan kredit semester (SKS) sama sekali. Bagi mahasiswa yang sedang menunggu masa kelulusan tidak wajib membayar UKT.

Sedangkan, bagi mahasiswa yang berada pada masa akhir kuliah hanya membayar maksimal 50% UKT apabila mengambil enam SKS atau kurang dari enam SKS dengan ketentuan semester IX bagi mahasiswa S1 dan D4 serta semester VII bagi mahasiswa D3.

Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020 ini juga mengatur tentang keringanan pembayaran UKT bagi mahasiswa PTN yang terdampak di sektor ekonomi akibat Covid-19 yang terbagi menjadi lima skema, yakni cicilan UKT, penundaan UKT, penurunan UKT, beasiswa, dan bantuan infrastruktur.

Khusus untuk bantuan infrastruktur, mahasiswa dapat mengajukan permintaan bantuan dana untuk mengakses jaringan Internet dan pembelian pulsa telepon genggam yang ketentuannya berdasarkan pertimbangan masing-masing PTN.

Pulsa telepon dan akses Internet ini yang ternyata menjadi biaya operasional terbesar bagi mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan jarak jauh selama masa pendemi Covid-19.

Celah Hukum

Perlu dipahami bahwa dampak pandemi Covid-19 tidak hanya kepada mahasiswa tapi berdampak juga bagi civitas academica lain, termasuk dosen dan tenaga kependidikan serta pengelolaan perguruan tinggi secara umum.

Kebijakan tentang UKT perlu regulasi yang jelas dan tidak boleh diserahkan penuh kepada pimpinan perguruan tinggi. Selain menimbulkan multitafsir dalam aturan juga mengganggu penyelenggaraan proses pembelajaran di perguruan tinggi karena butuh berbagai aktivitas pendukung.

Jangan sampai niat baik pimpinan kampus negeri membantu mahasiswa justru menjadikan diri mereka terjerat pelanggaran  hukum. Pada saat ini terdapat tiga jenis PTN di Indonesia. Status PTN sangat menentukan tingkat otonomi.

Pertama, PTN satuan kerja. Ini yang paling rendah otonomi kampusnya dan identik dengan departemen dalam suatu kementerian. Kedua, PTN badan layanan umum yang memiliki otonomi kampus meskipun tidak penuh karena masih menjadi bagian pemerintah.

Ketiga, PTN berbadan hukum. Ini adalah kampus negeri yang paling otonom. Kampus berbadan hukum otonominya hampir sama seperti perguruan tinggi swasta (PTS), tetapi didanai pemerintah.

Jumlah PTN berbadan hukum di Indonesia saat ini 11 kampus. PTN lainnya masih berstatus PTN satuan kerja dan PTN badan layanan umum. Dalam mengelola UKT, PTN berbadan hukum tentu lebih fleksibel.

Tentu berbeda dengan PTN satuan kerja yang tidak memiliki fleksibilitas bergerak dalam mengelola dana UKT. Hampir semua pengaturan keuangan harus dilakukan secara detail per lini sehingga PTN satuan kerja dan PTN badan layanan umum tidak bisa mengubah UKT secara cepat.

PTN satuan kerja dan PTN badan layan umum punya rambu-rambu hukum yang harus diwaspadai, terutama bagi para pemimpin kampus negeri tersebut saat merumuskan kebijakan bidang keuangan.



Fleksibel

Andaikan pemerintah ingin cepat menangani permasalahan mahasiswa terdampak Covid-19, para pemimpin PTN memang harus berhati-hati. Bagi PTN berbadan hukum memang bisa lebih cepat mengubah kebijakan anggaran tentang UKT. Otonomi PTN berbadan hukum ibarat kampus swasta yang mengelola anggaran secara fleksibel dengan pedoman aspek skala prioritas.

Fleksibilitas pola anggaran bisa dilakukan mengingat PTN berbadan hukum memiliki berbagai sumber pendapatan dan dalam menggunakan dana UKT lebih leluasa. PTN berbadan hukum bisa merumuskan kebijakan bagi mahasiswa berupa pembebasan penuh pembayaran UKT yang cukup dengan peraturan rektor.

Berbeda dengan PTN satuan kerja dan PTN badan layanan umum yang secara regulasi tidak fleksibel dalam mengelola UKT. Walapun sudah ada Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020, pemimpin kampus negeri satuan kerja dan badan layan umum harus menghitung secara detail persentase anggaran dari UKT.

Jangan sampai alokasi dana untuk meringankan UKT bagi mahasiswa mengganggu alokasi anggaran lainnya atau justru menyebabkan kesalahan dalam pengelolaan anggaran PTN satuan kerja dan PTN badan layanan umum.

Alokasi anggaran di PTN satuan kerja maupun PTN badan layanan umum harus memenuhi pedoman penganggaran sesuai alokasi penggunaan sejak awal sehingga penggunaan dana tidak bisa diubah sesuai selera dan permintaan yang datangnya mendadak.

Di tengah pandemi Covid-19 ini, secara faktual memang tidak fair apabila mahasiswa harus membayar penuh UKT, sedangkan perkulihan tidak optimal. Setidaknya, pengurangan UKT menjadi sesuatu yang penting di tengah disrupsi ekonomi.

Mahasiswa, orang tua, dosen, dan tenaga kependidikan mengalami disrupsi ekonomi atas kehidupan dan keluarga mereka. Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020 belumlah cukup bagi kampus negeri untuk memuaskan semua pihak yang ingin mendapat diskon separuh atau terebsa dari pembayaran UKT secara penuh.

Pengelola kampus negeri memang harus sangat hati-hati menerapkan kebijakan relaksasi UKT bagi mahasiswa sebagaimana diatur oleh Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020. Para pemimpin kampus negeri memang harus siap dirundung secara pribadi maupun institusi atas kebijakan UKT yang tidak memuaskan mahasiswa.

Ibaratnya lain ladang lain belalang, lain kampus lain kebijakannya karena sadar diri bahwa ada satu konsekuensi hukum di balik relaksasi UKT bagi mahasiswa di kampus negeri.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya