SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SRAGEN — Kendaraan berat pengangkut logistik seperti truk yang masuk golongan 4-5 enggan melewati jalan tol Solo-Ngawi karena tarif tol secara sosio-psikologis terkesan mahal. 

Keberadaan jalan tol Solo-Ngawi belum memberi nilai tambah pada transportasi logistik. Itulah alasan di balik kunjungan rombongan Komisi VI DPR RI guna melihat langsung lalu lintas di Jalan Tol Solo-Ngawi, Kamis (14/2/2019). 

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Rombongan Komisi VI yang berjumlah lima orang tersebut berhenti di Rest Area 519A Masaran, Sragen. Kedatangan mereka disambut Direktur Utama (Dirut) PT Jasamas Solo Ngawi (JSN) David Wijayanto dan didampingi Direksi PT Jasa Marga. 

David memaparkan progres perkembangan jalan tol Solo-Ngawi kepada rombongan wakil rakyat. Persoalan tarif jalan tol yang terkesan mahal menjadi materi dialog dalam forum terbuka tersebut.

Koordinator rombongan Kunker Komisi VI DPR RI, M. Martri Agoeng, saat ditemui wartawan di sela-sela kunjungan, mengaku kedatangan rombongan Komisi VI ke jalan tol Solo-Ngawi ini untuk melihat lalu lintas jalan tol secara riil. 

Dalam kunjungan itu, Martri menemukan permasalahan transportasi logistik yang diangkut menggunakan truk-truk besar tak banyak yang melintas di jalan tol Solo-Ngawi.  Dia menilai jalan tol tersebut belum memberi nilai tambah terkait transportasi logistik yang otomatis berpengaruh pada harga-harga transportasi logistik.

“Nah, tarif jalan tol untuk truk logistik ini masih tinggi. Padahal truk tidak butuh kesepakatan khusus. Manfaat jalan tol ini masih dinikmati pengguna kendaraan golongan 1. Tarif normalnya memang Rp1.300/km dan pemerintah sudah menerapkan Rp1.000/km. Tetapi bila dibandingkan dengan tol lama seperti Tol Jagorawi, jalan tol Jakarta Cikampek, ternyata lebih mahal. Tol Jagorawi dengan panjang 40 km itu hanya Rp6.500,” ujarnya.

Kenapa truk di Merak menumpuk tetapi di sini tidak ada yang lewat, menurut dia karena psikologis sosial mengganggap tarif jalan tol Rp1.000/km itu masih mahal. Dia menyarankan kepada penyelenggara jalan tol agar menyosialisasikan kepada masyarakat bila jalan tol murah. 

Dia melihat dari kacamata rasio bisnis tidak mahal tetapi dari rasio publik masih mahal. “Kami sudah keliling dengan asosiasi transportasi dan mereka melihat tarif tol masih mahal dan berpengaruh pada harga barang logistik. Kami evaluasi nanti tetapi ada banyak indikatornya. Evaluasi itu nanti apakah sampai mengubah tarif atau tidak, nanti kami lihat. Saran kami, untuk tahun awal berlakukan tarif murah dulu Rp700/km baru kemudian dinaikkan jadi Rp1.000/km,” tuturnya.

Sementara itu, Group Head Corporate Comunication and Community Development Jasa Marga, Dwimawan Heru, menyampaikan jalan tol dengan tarif murah itu dibangun di era 1980 sampai 2000, seperti tol Jagorawi, tol Jakarta-Cikampek, dan tol Jakarta-Tangerang. Tarifnya sekarang Rp200-Rp400/km. Setelah itu, kata dia, pemerintah membangun lagi dan tarifnya sampai 2011 senilai Rp700/km.

“Nah, tahun di atas 2011, tarif tol menjadi Rp900/km sampai Rp1.300/km atau Rp1.400/km. Meskipun demikian pada tahun kemarin [2018], pemerintah mengambil kebijakan tarif termurah yang didasarkan pada inflasi. Tarif yang awalnya Rp1.300/km pada jalan tol Solo-Ngawi kemudian dirasionalisasi menjadi Rp1.000/km. Untuk ganti ruginya diberi perpanjangan masa konsesi,” ujar Dwi.

Rasionalisasi tarif jalan tol menjadi Rp1.000/km itu menjadi benefit pertama yang diberikan Jasa Marga kepada pengguna jalan tol, khusus angkutan logistik. Dwi menambahkan benefit kedua yang diberikan Jasa Marga berupa perubahan cluster golongan kendaraan dari lima golongan menjadi tiga golongan. 

Dia menjelaskan kendaraan golongan 5 yang sebelumnya tarifnya tiga kali lipat dari golongan 1 diubah. Kendaraan golongan 4-5 masuk pada jenis kendaraan golongan 3 dengan tarif dua kali lipat dari golongan 1.

“Selain itu, kami masih memberi benefit ketiga berupa diskon sampai 15% selama dua bulan terhitung 21 Januari-21 Maret bagi kendaraan yang menggunakan jalan tol terus menerus dari ujung ke ujung. Terlepas dari semua benefit itu, kami masih menghitung sebelum diberlakukan tarif dan setelah diberlakukan tarif tersebut. Golongan 1 yang hilang hanya 2% dan nongolongan 1 memang turun 5%,” jelasnya.

Dia mengatakan kenapa kendaraan golongan besar sepi karena butuh waktu dalam peningkatan lalu lintas karena dipengaruhi perkembangan wilayah, pertumbuhan industri, pariwisata, dan seterusnya. 

“Pemerintah memberi arahan untuk mekanisme penarifan baru tetapi sekarang masih dibicara antara pemerintah dengan Asosiasi Jalan Tol Indonesia,” tambahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya