SOLOPOS.COM - (Indra Rahadi, Guru di SMAN 8 Solo (ist)

(Indra Rahadi, Guru di SMAN 8 Solo (ist)

Tulisan ini mengkritisi artikel di Gagasan SOLOPOS edisi Jumat (23/12/2011) yang berjudul Agama dan penampilan punkers yang ditulis Aris Setiawan seorang pengajar etnomusikologi di Intitut Seni Indonesia. Pada tulisan tersebut Aris mengkritisi tindakan polisi syariah Aceh terhadap para punkers.

Promosi Mi Instan Witan Sulaeman

Polisi syariah di Kota Banda Aceh menangkap kemudian membina mereka dengan pendidikan ala tentara yang dianggap suatu bentuk kekerasan atas nama agama.

Punk adalah suatu ideologi dalam bermusik. Pedoman mereka adalah do it your self di mana mereka bermusik secara mandiri dengan membuat rekaman secara indie dengan tidak menggandeng perusahaan rekaman.

Lagu punk bertemakan kritik terhadap kemapanan dan kenyataan otoritas dan sosial politik yang menyimpang seperti terjadinya praktek korupsi-kolusi-nepotisme (KKN).

Penampilan punkers sangat khas dan mudah dikenali dengan penampilan nyeleneh dengan potongan rambut mohawk dan pakaian lusuh.

Punkers memang berhak untuk menawarkan budaya punk kepada masyarakat, namun dengan definisi punk seperti di atas tidaklah membuat budaya punk menjadi istimewa dan mengharuskan masyarakat menerimanya walaupun atas nama hak asasi manusia (HAM) sekalipun.

Masyarakat juga punya hak memilih untuk menolak dan penolakan ini juga sesuai dengan HAM pula.

Setelah melihat realitas dan membaca beberapa artikel tentang punkers yang salah satunya pernah menjadi artikel liputan di SOLOPOS, bisa disimpulkan bahwa apa yang masyarakat Solo dan mungkin juga masyarakat Aceh lihat tentang fenomena komunitas punkers jalanan bukanlah punkers sejati tapi hanyalah trendy wankers.

Mereka adalah kelompok yang berpenampilan atas nama “punk”, bertindak anarkistis ala preman, brutal dan meresahkan. Istilah trendy wankers sering digunakan untuk menggambarkan orang-orang yang melepaskan diri dari kecenderungan tren saat mereka datang, paling sering dalam hal berpakaian dan bukan pengetahuan.

Abangan
Para punkers abangan di jalanan ini berdandan ala punkers dalam rangka melarikan diri dari kondisi keluarga yang umumnya broken home.

Mereka hanya melihat apa yang tersirat dalam tampilan punkers dan belum memahami apa yang tersurat dalam ideologi punk.

Mereka berkelompok untuk mengumbar emosi rebel dengan berkumpul bersama baik laki-laki dan/atau perempuan untuk melepaskan diri dari kontrol orangtua dan masyarakat.

Mereka berpakaian nyeleneh, jarang mandi, makan dengan mengorek sampah dan mencari uang dengan mengamen mendendangkan lagu populer dan bukan lagu kritikan untuk pemerintah sesuai falsafah punk.

Di lain pihak, personel band Endank Sukamti yang merupakan ikon band bergenre punk di Indonesia memperlihatkan penampilan yang jauh dari arti antikemapanan.

Hal ini mungkin karena mereka memang sudah mapan dan memiliki keluarga sendiri sehingga terikat dengan etika menjadi orangtua untuk anak-anak mereka.

Dari apa yang terlihat dari fakta tersebut serta definisi bentuk ideologi punk yang bersifat mandiri, rebel, antikemapanan, anarkisme dalam arti sebuah ideologi yang menghendaki terbentuknya masyarakat tanpa negara dan negara adalah sebuah bentuk kediktatoran legal yang harus diakhiri (William Godwin) bukanlah menjadikan budaya punk sangat istimewa terhadap budaya lainnya dan mewajibkan masyarkat harus menerima budaya punk walaupun atas nama HAM sekalipun.

Masyarakat juga memiliki hak untuk menolaknya.

Adalah hal yang lumrah bila kemudian polisi syariah Kota Banda Aceh bertindak kepada punkers di Aceh seperti yang diberitakan di media massa karena memang budaya punk belum memberikan kontribuasi positif kepada masyarakat.

Penerapan “pembinaan” semimiliter yang oleh polisi syariah di Kota Banda Aceh untuk punkers juga merupakan bentuk kewajiban pemerintah dalam membina masyarakat.

Menjadi kurang tepat bila anak-anak punkers harus menjalani proses peradilan dan mengalami kehidupan di penjara. Pembinaan semimiliter jika dilihat pada sisi penggemblengan fisik memang tidak lazim dalam pendidikan ranah sipil, tetapi jika dilihat secara holistik pendidikan semimiliter merupakan suatu metode pendidikan yang efektif dan ideal untuk model pendidikan massal dengan waktu yang singkat.

Tujuan dan pendidikan semimiliter adalah membangkitkan jiwa korsa yang sudah luntur di semua elemen masyarakat Indonesia sebagai warga negara.
Jiwa korsa terdiri dari faktor-faktor rasa hormat, kesetiaan, kesadaran dan tidak mementingkan diri sendiri (Staplekampsir, 1952).

Pembinaan semimiliter yang diberikan kepada punkers Aceh yang dianggap sama dengan praktek operasi penembak misterius (Petrus) yang pernah terjadi pada era Orde Baru jelas tidak tepat.

Operasi Petrus adalah tindakan menghilangkan nyawa tanpa memberikan kesempatan kepada orang yang menjadi target operasi untuk memperbaiki perbuatannya sesuai dengan hak dan kewajibannya sebagai warga negara.



Dengan mengalami pendidikan semimiliter dan pengalaman hidup pada suatu komunitas antikemapanan akan memberikan ragam pilihan jati diri untuk para peserta pembinaan tersebut dalam mencapai tingkat kedewasaan mereka.

Masyarakat tidak menimbang suatu tawaran budaya hanya dan cara berpakaian, tetapi juga proses dan akibat dan penetrasi budaya yang bersangkutan.

Kontribusi nyata

Islam sebagai agama masuk ke Indonesia sehingga mempengaruhi budaya masyarakat Indonesia karena memang Islam bisa diterima dengan baik.
Kontribusi Islam terhadap Indonesia juga telah membuahkan banyak hal positif yang salah satunya adalah kemerdekaan bangsa Indonesia. Perlawanan Pangeran Diponerogoro yang berpakaian jubah beserban melawan penjajah Belanda telah diakui semua elemen bangsa.

Begitu pula dengan perlawanan masyarakat muslim Aceh dengan model pakaian khas yang sama. Budaya Islam pun mampu melebur pada ranah seni yang juga mudah diterima oleh masyarakat Indonesia.

Sementara itu, budaya antikemapanan dan anarkisme yang ditawarkan ideologi punk dirasa tidak sesuai dengan pola budaya bermasyarakat di Indonesia secara umum.

Jika kita melihat secara menyeluruh dan dilandasi kearifan dan kebijaksanaan, pembinaan semimiliter untuk para punkers bukanlah suatu kekerasan, seperti halnya mempelajari karate yang belajar tentang bagaimana membela diri dan bukan untuk belajar memukul orang.

Dan merupakan kewajiban polisi syariah Aceh untuk membina mereka dalam rangka menegakkan syariah Islam sesuai dengan hukum yang dikehendaki masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam.

Budaya masyarakat Islam memiliki cara memandang masa depan peradaban dengan melihat kondisi pemudanya.

Tidak semua budaya harus diterima karena sebagai manusia juga memiliki hak asasi untuk menolak tawaran budaya dan kita juga perlu menyadari bahwa manusia akan lebih nyaman bila batasan baik dan buruk itu jelas menurut ideologi hukum yang dianut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya