SOLOPOS.COM - Ilustrasi sidang pengadilan. (kejari-jaktim.go.id)

Tren vonis ringan untuk koruptor muncul dalam lima tahun terakhir.

Solopos.com, JAKARTA — Sejumlah kasus korupsi berakhir dengan hukuman ringan. Tren ini berlangsung selama lima tahun terakhir. Dengan kata lain, korupsi terus terjadi, namun penindakan hukum belum maksimal sesampainya di pengadilan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Riset Indonesia Corruption Watch (ICW) di tiga lembaga peradilan yaitu Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Mahkamah Agung (MA), dan Pengadilan Tinggi (PT) memperlihatkan hal itu. Mereka mencatat ada 384 vonis kasus korupsi selama semester pertama tahun 2016. Dari jumlah itu, 71,6% atau 275 terdakwa kasus korupsi divonis relatif ringan dengan kisaran hukuman satu hingga empat tahun penjara.

Adapun sisanya, sebanyak 46 divonis bebas, 37 terdakwa divonis sedang, 19 terdakwa tidak bisa diidentifikasi arah penanganannya, dan 7 terdakwa divonis berat.

Para pegiat antikorupsi itu menengarai vonis ringan muncul karena sejumlah pasal yang tidak digunakan hakim. Misalnya pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi acapkali tidak digunakan hakim untuk memutus suatu perkara korupsi.

Karena itu, organisasi yang bermarkas di Kalibata itu khawatir vonis ringan tersebut tidak menimbulkan efek jera. Malah, bisa saja di kemudian hari, bekas narapidana koruptor bakal mengulangi tindakan kriminalnya lagi.

Data ICW menunjukkan tren vonis ringan itu sudah muncul sejak lima tahun terakhir. Pada 2013 misalnya, rata-rata vonis berkisar 2 tahun 11 bulan, 2014 rata-rata vonis 2 tahun 8 bulan, dan 2015 rata-rata selama 2 tahun 2 bulan. Sedangkan hingga semester pertama tahun 2016 rata-rata vonis berkisar 2 tahun 1 bulan.

Angka itu menunjukkan tiap tahun rerata vonis mengalami penurunan. Meski demikian, dari sisi jumlah angkanya fluktuatif. Pada 2012, vonis ringan diberikan kepada 99 terdakwa korupsi. Angka ini menurun pada tahun 2013 menjadi 93 koruptor. Namun pada tahun 2014 kembali naik menjadi 195 dan turun lagi pada tahun 2015 menjadi 163.

Melihat fenomena tersebut, ICW khawatir para terpidana kasus korupsi itu tak pernah kapok dan bakal melakukan aktivitas kejahatan itu saat mereka bebas. Belum lagi, vonis rendah memungkinkan para terpidana kasus korupsi tidak menjalani hukuman secara penuh, bahkan bisa saja setengah dari masa hukuman.

Karena itu mereka berharap pemerintah khususnya lembaga peradilan perlu memperhatikan tren tersebut, supaya vonis yang dihasilkan mampu mencegah tindakan koruptif berulang.

Secara terpisah, Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang memaparkan, dari sisi sistem maupun regulasi hukum sebenarnya tidak masalah. Hanya saja, terkadang ada “faktor lain” yang membuat oknum di lembaga peradilan memvonis rendah para koruptor.

Dia juga melihat, dalam konteks demokrasi, sudah semestinya didukung dengan pemerintahan yang bersih, bebas dari koruptor, dan penegakan hukum yang tak pandang bulu. Salah satu langkah KPK untuk membenahi lembaga peradilan yakni membersihkan oknum-oknum panitera dan hakim yang korup.

Di samping itu, membenahi nurani para penegak keadilan juga penting. Hal itu dilakukan supaya saat memutus perkara benar-benar dilandasi pertimbangan hukum yang logis, bukan karena permainan segelintir orang di lembaga tersebut.

“Kami di KPK, tetap mendorong reformasi peradilan, yang jelas tidak fokus kepada komponen penegak hukum saja, tetapi semuanya sesuai alur penegakan hukum,” kata dia, Minggu (24/7/2016).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya