SOLOPOS.COM - Seorang pengendara bektor bersiap mengantar penumpang di kompleks Pasar Bunder Sragen, Jumat (25/3/2016). (Khodiq Duhri/JIBI/Solopos)

Transportasi Sragen berupa becak motor diprotes.

Solopos.com, SRAGEN — Kalangan pengendara becak bermotor (betor) emoh disalahkan atas hilangnya potensi pendapatan para sopir angkutan desa (angkudes) di Sragen. Para pengendara bektor menganggap mereka bukan pesain dari sopir angkudes.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Wardi, 55, pengendara Betor asal Kepoh Dulang, Wonokerso, Kedawung, mengaku tidak pernah melintasi Jl. Raya Sukowati sebagaimana yang dipersoalkan kalangan sopir angkudes.

”Kalau lewat, paling hanya menyeberang. Sesuai kesepakatan, kami hanya boleh menyeberang Jl. Raya Sukowati itu di simpang empat Pos Lantas Kota dan persimpangan Tugu Adipura. Kami tidak mau berurusan dengan polisi jika nekat melintasi Jl. Raya Sukowati,” jelas Wardi saat ditemui Solopos.com di kompleks Pasar Bunder Sragen, Jumat (25/3/2016).

Wardi menganggap betor bukan pesaing dari angkudes. Menurutnya, bektor hanya melayani jasa transportasi jarak dekat karena keterbatasan akses jalan.

”Paling jauh saya itu mengantar penumpang dari Pasar Bunder ke Pilangsari. Itu pun saya harus melintasi jalan pinggir rel kereta api lalu memasuki jalan perkampung yang berbelok-belok. Kami tidak mungkin melintasi jalan raya jika tidak ingin berurusan dengan polisi,” ujarnya.

Tukang Becak

Wardi mengaku sudah 20 tahun menjadi tukang becak. Namun, lima tahun terakhir dia beralih dari becak kayuh menjadi betor. Dia mengaku mengeluarkan biaya sekitar Rp4 juta untuk memodifikasi becaknya supaya bisa bekerja dengan mesin pompa air berbahan bakar bensin.

Wardi mengaku heran dengan sopir angkudes yang mempermasalahkan keberadaan betor. ”Kami itu bukan pesaing angkudes. Penghasilan kami itu pas-pasan. Kemarin, seharian saya hanya dapat penghasilan Rp10.000. Rp6.000 di antaranya saya gunakan untuk makan siang. Praktis, hanya Rp4.000 yang bisa saya bawa pulang. Padahal, Rp4.000 itu belum cukup untuk membeli satu liter bensin,” keluhnya.

Pesaing yang tepat untuk angkudes, kata Wardi, adalah kalangan bus pedesaan. ”Antara bus pedesaan dan angkudes itu sama-sama melayani rute yang relatif jauh. Bedanya, bus itu berjalan lebih cepat daripada angkudes. Angkudes sengaja berjalan lambat karena ingin menyaring penumpang sebanyak-banyaknya di jalan. Wajar kalau penumpang lebih memilih bus yang berjalan lebih cepat,” terang Wardi.

Hal senada disampaikan pengendara betor lainnya, Wawan, 50. Warga Kroyo, Karangmalang, itu mengaku heran dengan kalangan sopir angkutan yang mempermasalahkan keberadaan betor. ”Posisi kita itu sama-sama ingin mencari uang. Tidak perlu saling menyalahkan. Sepinya penumpang itu tak hanya dialami angkudes, tetapi juga bektor. Dengan fasilitas HP, orang bisa menghubungi saudara untuk dijemput di suatu tempat tanpa harus menumpang angkudes, becak atau ojek,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya