SOLOPOS.COM - Ilustrasi jembatan sasak. (Bony Eko Wicaksono/JIBI/Solopos)

Warga dari wilayah Mojolaban, Sukoharjo, pilih membayar lewat jembatan sasak ketimbang memutar jauh.

Solopos.com, SOLO — Ratna masih terengah-engah saat naik ke jok sepeda motornya, Selasa (31/10/2017) siang. Maklum, ia baru saja berjalan melewati jembatan sasak dari Desa Gadingan, Kecamatan Mojolaban, Sukoharjo, ke dermaga Beton, Kelurahan Sewu, Kecamatan Jebres, Solo.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Selesai menapaki jembatan berbahan bambu itu, ia harus mendaki lereng sungai ke barat menuju arah bantaran Sungai Bengawan Solo. Sudut kemiringan jalan berundak itu sekitar 45 derajat.

Sepeda motor yang ia bawa dari rumahnya di Bekonang, Mojolaban, sudah sampai terlebih dahulu. Pengelola jembatan sasak membantunya menyeberangkan sepeda motor itu. (Baca: Jembatan Sasak Beton-Gadingan Ambruk Dibangun Lagi, Tarif Berubah)

“Saya minta sepeda motor saya diseberangkan. Saya enggak berani kalau naik motor menyeberangi jembatan ini,” ujar perempuan berjilbab itu saat berbincang dengan Solopos.com sebelum melanjutkan perjalanan.

Sejak beberapa hari lalu setelah Jembatan Mojo di Semanggi ditutup, Ratna selalu menyeberang dari Sukoharjo ke Solo melalui jembatan sasak itu. Setiap kali menyeberang, ia selalu meminta sepeda motornya dikendarai pengelola.

Hal itu ia lakukan dua kali dalam sehari. Ratna adalah penjual pakaian di Beteng Trade Center (BTC) Solo. Ia tak keberatan harus membayar Rp2.000 sekali jalan agar bisa lewat jembatan itu.

“Saya pilih lewat sini karena lebih dekat dan lebih cepat, dari pada memutar lewat jalan lain,” tuturnya.

Warga Ngebrak, Plumbon, Mojolaban, Dodi Cahyo, 25, mengaku baru kali pertama lewat jembatan sasak tersebut. Ia terpaksa lewat sana karena Jembatan Mojo ditutup. (Baca: Jembatan Sasak Beton-Gadingan Diklaim Kantongi Izin)

“Rumah saya tepat di timur Jembatan Mojo. Saya itu dilema mau ke Solo, harus memutar jauh kalau lewat Jembatan Jurug atau Jembatan Bacem,” kata pedagang Pasar Klewer itu.

Ia mengatakan dalam perjalanan berangkat ke Pasar Klewer. Ia menilai jembatan sasak membuat perjalanannya lebih singkat. “Saya lebih memilih membayar tapi bisa cepat. Soalnya saya berkejaran dengan customer,” tutur dia.

Pengelola jembatan sasak, Sumadi Hala, saat ditemui Solopos.com di Beton, Sewu, mengatakan kendaraan yang melintas jauh berkurang dibanding sebelum jembatan ambruk Minggu (29/10/2017) dini hari lalu. Menurutnya, sebagian pengendara belum tahu jembatan sasak itu bisa digunakan lagi.

“Tapi yang penting tetap selamat. Penurunannya sekitar 50 persen,” ujar dia.

Ia mengatakan dirinya sudah menghabiskan sekitar Rp11 juta untuk membangun jembatan sasak dua kali. Meski demikian, kadang kala masyarakat pengguna jembatan tidak menyadari perjuangan yang sudah ia lakukan.

“Kami naikkan sedikit saja tarifnya, banyak yang menggerutu. Hal semacam itu kami abaikan. Kalau tidak, malah pusing sendiri. Menyikapinya ya ditanggapi netral saja,” kata dia.

Ia mengatakan sudah mengelola jembatan sasak dan perahu penyeberangan sejak 2004. Ia mendapatkan kesempatan itu karena memenangi lelang di Dinas Perhubungan (Dishub) Kabupaten Sukoharjo.

Tahun lalu, nilai lelang mencapai Rp35 juta setahun. Tahun ini turun menjadi Rp20 juta per tahun. “Ini turun karena kami enggak berani tinggi. Dulu juga penyeberangan masih ramai. Sekarang cenderung sepi,” katanya.

Risiko selalu ada. Jika jembatan sasak bertahan lebih dari lima bulan, ia akan mendapatkan untung. Sementara jika bertahan kurang dari tiga bulan, dipastikan ia merugi.

“Itu risiko orang usaha. Yang penting maju. Pernah keok, pernah jaya juga. Rezeki orang enggak tahu,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya