SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

<!–
@page { margin: 2cm }
P { margin-bottom: 0.21cm }
–>

Sekarang ini memang zaman keterbukaan.
Ketertutupan identik dengan ketertinggalan. Sampai-sampai asal-usul
terbentuknya bunga kredit perbankan, sekarang juga mulai
di-jelentreh-kan secara gamblang.
Untuk itu, Bank Indonesia (BI) melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI)
terbaru mewajibkan perbankan untuk mengumumkan suku bunga dasar
kredit (SBDK) atau prime lending rate. SBDK merupakan hasil
perhitungan dari tiga komponen utama, yakni harga pokok dana (cost
of fund
) untuk kredit, biaya overhead yang dikeluarkan
bank dalam proses pemberian kredit serta marjin keuntungan (profit
margin
) yang ditetapkan untuk aktivitas perkreditan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

 

Memang, masih ada satu komponen yang
disembunyikan (tertutup), namun spiritnya sama, yakni keterbukaan.
Dalam regulasi ini, BI tidak mewajibkan bank memperhitungkan komponen
premi risiko individual nasabah. Jadi, SBDK ini merupakan suku bunga
terendah yang digunakan sebagai dasar bagi bank untuk menentukan suku
bunga kreditnya. Perhitungan ini wajib dilaporkan kepada BI dan
dipublikasikan terhitung untuk tiga jenis kredit, yakni kredit
korporasi, kredit retail (UMKM) dan kredit kosumsi (KPR dan
non-KPR), tidak termasuk penyediaan dana untuk kartu kredit (KK) dan
Kredit Tanpa Agunan (KTA).

 

Laporan ini rencana disampaikan setiap
triwulan kepada BI bersamaan dengan penyampaian Laporan Keuangan
Publikasi (LKP) triwulananan. Adapun bank yang wajib menyampaikan
SBDK adalah bank dengan asset minimal Rp10 triliun, sehingga
setidaknya ada 42 bank (dari 123 bank umum) yang wajib menyampaikan
laporannya. Publikasi disampaikan melalui papan pengumuman di kantor
bank, halaman utama website, dan surat kabar yang dilakukan
bersama dengan LKP bank-bank untuk posisi akhir Maret, Juni,
September dan Desember.

Transparansi

Tujuan utama dikeluarkannya beleid ini adalah pertama, untuk meningkatkan transparansi mengenai
karakteristik produk perbankan, termasuk manfaat, biaya dan risikonya
untuk memberikan kejelasan kepada nasabah dan kedua meningkatkan good
governance
dan mendorong persaingan yang sehat dalam industri
perbankan melalui terciptanya disiplin pasar (market discipline)
yang lebih baik lagi.

 

Tentunya ini sesuai dengan peraturan
sebelumnya, yakni PBI 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi
Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah. Khusus untuk kredit,
selama ini memang belum begitu transparan. Si debitur (pihak
pengutang bank), biasanya hanya diberi penjelasan mengenai plafon,
jangka waktu kredit, jumlah cicilan dan bunga kredit. Hampir mustahil
dijumpai bank yang mampu menjelaskan dengan gamblang, darimana
besaran suku bunga kredit bisa didapatkan. Apa saja komponen
pembentuknya.

 

Nah, sekarang kondisinya sudah sangat
berbeda. Bankir (para tenaga pemasar) harus bisa menjelaskan secara
gamblang asal munculnya besaran suku bunga kredit. Ini bentuk fair
play
, dimana bank (sebagai kreditur) dan nasabah (sebagai
debitur) bermain di lapangan yang sama antara hak dan kewajiban.
Artinya, tidak ada pihak yang lebih superior (unggul) dan yang lain
sebagai inferior (kalah).

 

Memang, dilihat dari beberapa sisi,
kelihatannya akan membuat bankir tidak mudah untuk menerima beleid
ini dengan segera. Hal ini terlihat dari tarik ulur serta pro dan
kontra dalam menanggapi rencana keluarnya kebijakan ini. Maklum,
selama ini banyak pihak menilai perbankan nasional masih kurang
efisien dalam mengelola banknya. Hal ini terlihat dari besarnya Net
Interest Margin
(NIM) perbankan yang mencapai 5,7% (2010).
Padahal, disaat yang sama perbankan di manca negara hanya mengenakan
NIM sekitar 2-3%. Itupun sudah menguntungkan.

 

Dengan transparannya perhitungan
komponen pembentuk bunga dasar kredit, maka secara tidak langsung
akan mendorong perbankan lebih efisien dalam mengelola banknya.
Penetapan NIM jelas tidak sembarangan, karena semuanya akan terlihat
dengan jelas, baik suku bunga kredit korporasi, kredit retail (UMKM) maupun kredit konsumsi (KPR dan non-KPR). Bagi bank-bank yang
memiliki NIM tinggi, bisa dianggap kurang efisien dan bisa-bisa
ditinggalkan oleh para nasabahnya.

 

Regulasi ini tentunya tidak hanya
membuat bank makin efisien, namun juga akan memacu bank untuk
melakukan ekspansi kredit, karena tren menurunnnya suku bunga kredit
akibat efisiensi bank yang kian meningkat. Dengan demikian, tujuan
akhir dari beleid ini sebenarnya adalalah memacu ekspansi kredit
bank, sehingga angka Loan to Deposits Ratio (LDR) bank-bank
akan meningkat dengan pesat. Angka LDR sekarang ini berkisar antara
70% dan masih berpotensi untuk ditingkatkan lagi ke depan. Tingkat
keberhasilan dari beleid ini bisa diukur dari sejauh mana kenaikan
tingkat LDR perbankan nasional ke depan.

 

Satu hal yang tampaknya perlu dilakukan
oleh BI dan para stakeholders adalah program sosialisasi
kepada para debitur dan calon debitur bank. Memang, ada misi luhur
dibalik dikeluarkannya beleid ini. Namun, jika banyak pihak tidak
mempersiapkan diri dengan baik, niscaya akan muncul preseden yang
tidak diinginkan bersama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya