SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Transformasi pendidikan masih menghadapi masalah terutama berkaitan dengan kenyataan pendidikan saat ini. Dalam hal ini kita mempersoalkan apa yang akan ditransformasikan, dan dari alam apa ke alam apa transformasi itu terjadi.

Menurut saya, seandainya kita ingin mentransformasikan  nilai pendidikan yang terjadi saat ini dari dunia sekolah ke dunia luar sekolah rasanya masih sangat tak berarti. Karena pendidikan yang terjadi di sekolah saat ini belum mencapai keadaan yang diharapkan.

Promosi Bukan Mission Impossible, Garuda!

Saya lihat, sekolah kita masih berorientasi pada  pelajaran belum ke pendidikan, sehingga bila kita ingin memikirkan transformasi pendidikan, kita masih dihadapkan pada persoalan nilai-nilai pendidikan apa yang pantas kita transfomasikan kemanfaatannya pada kehidupan anak.

Menurut pendapat saya, agar transformasi pendidikan dapat kita lakukan maka paling tidak kita harus (1) Memperbaiki pendidikan kita, (2) Pendidikan  dilakukan secara terbudaya sehingga terjadi transformasi (3) Dilakukan perubahan mekanisme pembelajarannya, (4) Dimungkinkan adanya spesialisasi dan (6) Dilakukan melalui proses sosialisasi.

Ekspedisi Mudik 2024

Perubahan paradigma harus diubah, meliputi: Dari paradigma tekstual ke paradigma faktual, konseptual dan kontekstual, dari paradigma produk ke paradigma proses, dari paradigma evaluasi akhir ke evaluasi proses, dari orientasi perhatian pada kelas ke perhatian pada individu, dari perhatian pada IQ ke CQ, EQ, dan AQ, dari cara mengajar system meyampaikan (delivery systems) ke paradigma pembelajaran, dari paradigma hanya bermanfaat untuk kelanjutan studi ke paradigma bermanfaat bagi kehidupan, dan dari paradigma pelajaran ke arah paradigma membangun diri.

Untuk itulah saya kira, disyaratkan adanya kondisi pendidikan yang memerdekakan, yang diversifikatif, yang mandiri dalam bentuk “shool based management”, yang akomodatif dengan memperhatikan “community based management”, dan yang fleksibel.

Di samping itu juga perlu adanya perubahan pembagian urusan yakni bidang-bidang mana yang menjadi urusan pusat, daerah dan sekolah. Saya rasa, pusat seyogyanya hanya mengurus hal bersifat nasional. Dalam hal kurikulum juga mengurusi kurikulum yang memiliki muatan sebagai perekat kehidupan bangsa yakni Pancasila, Bahasa Indonesia, Kewargaanegaraan, dan Pendidikan Agama.

Pancasila harus diposisikan sebagai falsafah hidup bangsa yang harus dibudayakan pada masyarakat, dan sebagai ideologi terbuka. Dengan demikian maka nilai tranformasinya bagi kehidupan masyarakat dapat diharapkan akan dapat terjadi. Saya rasa, Bahasa Indonesia utamanya harus disosialisasikan sebagai alat komunikasi bangsa dari pada sebagai ilmu bahasa. Sehingga Bahasa Indonesia mampu menjadi lautan budaya kita dalam berkomunikasi secara nasioanal.

Kewarganegaraan selain pemahaman juga perlu dibudayakan pada masyarakat aturan-aturan kemasrakatan yang berlaku di negara kita yang dapat diterapkan dalam kehidupan bangsa kita dalam kesehariannya, sehingga bangsa kita dapat merasakan hidup di rumah sendiri.

Pendidikan Agama, bukan Agama. Karena bila Agama yang dijadikan kurikulum nasional maka bahkan akan jadi sumber konflik, karena Agama merupakan sumber perbedaan. Pendidikan Agama akan meraih nilai-nilai yang sama antar Agama apapun, karena Agama mengajak semua orang menjadi baik, akan tetapi paham dan caranya yang berbeda.

Perubahan pembelajaran? Tak mungkin perubahan budaya terjadi dengan system pembelajaran “delivery systems”. Cara ini anak kita hanya memperoleh pengetahuan orang lain. Ia tak mampu mengkaji sendiri, ia tak mampu menemukan sendiri dan ia tak mampu merumuskan sendiri ilmu pengetahuan. Kita hanya jadi manusia konsumtif dalam dunia ilmu.

Dimungkinkan adanya spesialisasi? Pengalaman bila orang hadapi pekerjaan terspesialisasi dalam dunia kerja maka kenyataannya dapat meningkatkan produktivitas kerja. Di negara kita justru sebaliknya, orang yang serba bisa yang laku di masyarakat. Akan tetapi serba bisa tak memiliki dampak terhadap produktivitas kerja. Hasil pendidikan umum kita tak akan dapat menjawab bila pada mereka ditanya “Apa yang bisa anda kerjakan?” atau “Kamu bisa apa?

Nilai-nilai budaya yang mempunyai arti transformasi tinggi adalah yang diperoleh dengan cara asimilatif. Karena nilai-nilai yang diperoleh dengan cara asimilitatif, maka nilai-nilai itu jadi satu dengan diri seseorang. Nilai-nilai itu di antaranya adalah (1) rasa percaya diri, (2) kemampuan, (3) metodologi, (3) cara menyikapi dan memecahkan masalah, (4) motivasi, (5) sikap dan perilaku, (6) cara berfikir, (7) patriotisme, dll.

Berarti pendidikan kita perlu mensosialisasikan nilai-nilai itu, sehingga perlu adanya pergeseran tekanan pendidikan kita. Nilai-nilai yang jelekpun punya kapasitas transfrmasi misalnya (1) hedonisme, (2) materialisme, (3) kekerasan, dll. Sehingga bila anak-anak kita disosialisasikan pada nilai-nilai itu juga dapat bermakna transformatif dalam dunia kehidupan mereka. Agar nilai-nilai yang ditransformasikan mampu membangun kehidupan berbangsa, maka nilai-nilai yang diadopsi adalah nilai-nilai kebangsaan, yakni nilai patriotisme, nilai nasionalisme, nilai gotong royong, dll.***

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya