SOLOPOS.COM - Direktur Utama Perum Jasa Tirta 1, Raymond Valiant Ruritan, menyampaikan materi dalam Webinar Virtual Hari Air Sedunia 2022 dengan tema Air untuk Ekonomi Berkelanjutan, Kamis (31/3/2022) malam. (Youtube Espos Live)

Solopos.com, SOLO — Tembok bolong alias lawang buthulan di sisi barat maupun timur Keraton Solo wilayah Kelurahan Baluwarti, Pasar Kliwon, Solo, bukan sekadar jalur lalu lintas orang maupun kendaraan.

Lubang pintu yang menjadi jalur keluar masuk warga Baluwarti ke Jl Reksoniten, Gajahan, di barat tembok Keraton Solo itu menjadi saksi kisah tragis yang terjadi saat banjir besar melanda Kota Solo pada Maret 1966 lalu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kisah tragis itu diungkapkan Direktur Utama Perum Jasa Tirta 1, Raymond Valiant Ruritan, dalam Webinar Virtual Hari Air Sedunia 2022 dengan tema Air untuk Ekonomi Berkelanjutan, yang disiarkan di Youtube Espos Live, Kamis (31/3/2022) malam.

Baca Juga: Tembok Bolong Keraton Solo di Baluwarti, Saksi Bisu Banjir Bandang 1966

Raymond mengatakan kemunculan tembok bolong atau kini lebih dikenal dengan sebutan lawang buthulan di Keraton Solo tak lepas dari peristiwa banjir besar selama beberapa hari pada pertengahan Maret 1966.

Ia menceritakan pada 13-14 Maret 1966, curah hujan di Wonogiri yang merupakan hulu Bengawan Solo cukup besar, yakni sekitar 145 milimeter dalam sehari. Di Baturetno bahkan hampir 317 milimeter dalam sehari.

Sedangkan Batuwarno sekitar 308 milimeter dalam satu hari dan Tirtomoyo sekitar 106 milimeter dalam satu hari. Hujan saat itu diduga karena pengaruh siklon tropis, namun tidak diketahui seberapa besar siklon tersebut.

Baca Juga: Kisah Netizen Kejedot di Lawang Buthulan Baluwarti Solo, Pernah Ngalami?

Debit Bengawan Solo Naik 2 Meter

Satu hal yang pasti, Raymond melanjutkan kondisi tersebut membuat debit di Bengawan Solo meningkat. Kemudian pada pada 16 Maret 1966 tanggul di Kusumodilagan, Semanggi, Demangan, juga Cengklik runtuh. Elevasi muka air Bengawan Solo naik sekitar dua meter, dari 5,8 meter menjadi 7,6 meter.

“Saat itu sungai tidak lagi mengalir ke arah timur seperti biasanya lewat Jurug, namun justru meluap ke arah barat. Hal itu menjadikan genangan di sejumlah wilayah di Solo,” jelasnya.

Bahkan berdasarkan data yang ada hampir separuh Solo saat itu terendam. Luas genangan hampir 9 kilometer persegi dengan ketinggian rata-rata 1 meter-2 meter.

Baca Juga: Eks Wali Kota Rudy Saksi Hidup Banjir Besar Solo 1966, Ini Kisahnya

Rusaknya beberapa tanggul yang membentengi Solo tersebut menimbulkan dampak luar biasa. Hal yang tidak terduga adalah bahwa pusat pemerintahan dan pusat perekonomian Solo yang semula digambarkan tidak akan terendam, ternyata juga tergenang.

Bagian tembok istana Keraton Solo di wilayah Baluwarti juga runtuh karena fondasi melemah setelah tergenang air hampir dua meter. Hal itu menyebabkan air masuk dan menggenangi Keraton.

Untuk menyelamatkan penghuni Keraton Solo, dibuat lah lubang di tembok besar pada sisi timur istana yang kemudian menjadi lawang buthulan. Lubang itu untuk mengevakuasi orang yang terjebak genangan banjir di dalam istana. “Uniknya lubang itu persis berada di bawah sebuah bekas sungai yang namanya Sungai Larangan,” jelasnya.

Baca Juga: Ngerinya Banjir Besar di Solo Maret 1966, Puluhan Nyawa Melayang

Era Kekinian

Menurut Raymond, dulu Keraton Solo memiliki sungai yang tepat mengalir di tengah-tengah. Tapi mulai abad ke-18 sungai itu ditutup secara perlahan, sehingga menjadi cekungan rendah di mana dulu di bawahnya ada sungai.

“Banjir 1966 menurut saya merupakan tragedi. Hampir 600 orang diperkirakan meninggal di wilayah Karesidenan Surakarta,” katanya.

Pada sisi lain, keberadaan lawang buthulan itu pada era kekinian juga kerap memunculkan pengalaman unik bagi orang yang melewatinya. Sekitar 2019 lalu, lawang buthulan di wilayah Baluwarti ini sempat viral di media sosial.

Baca Juga: Ngeri! Banjir Bandang 16 Maret 1966 Nyaris Tenggelamkan Seluruh Wilayah Solo

Beberapa warganet membagikan cerita pengalaman mereka saat melewati lawang buthulan. “Malam-malam bonceng lewat situ, helmku tersangkut. Autopusing di kepala,” imbuh @bimo_pandhe pada unggahan di akun Instagram @visitsurakarta.

“Sejarah dibuatnya pintu butulan karena banjir besar Solo tahun 1996 untuk evakuasi korban dari dalam tembok,” imbuh warganet lain dengan akun @marsanto2303.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya