SOLOPOS.COM - Seorang pembicara Joko Suwito berdiri ketika menyampaikan materi tentang buku Kekerasan Anti-Tionghoa di Indonesia 1996-1999 di Balai Sudjatmoko Solo, Rabu (21/5/2014). (JIBI/Solopos/Tri Rahayu)

Solopos.com, SOLO — Kelompok etnis Tionghoa menjadi minoritas perantara dalam kasus kerusuhan Mei 1998 di tiga kota, yakni di Jakarta, Solo, dan Medan. Etnis Tionghoa sering dijadikan kambing hitam ketika terjadi konflik antara penguasa dan rakyat karena kelompok itu dianggap sebagai representasi penguasa.

Hal itu disampaikan pengamat politik Solo, M.T. Arifin, saat membedah buku bertajuk Kekerasan Anti-Tionghoa di Indonesia 1996-1999 di Balai Soedjatmoko Solo, Rabu (21/5/2014) siang. Disertasi penulis asal Australia, Jemma Purdey, setebal 292 halaman itu mengupas kekerasan etnis yang terjadi di tiga kota, Jakarta, Solo, dan Medan. Selain M.T. Arifin, hadir juga pembicara lain yakni Joko “Khelek” Suwito Kuntoro, seorang budayawan yang juga masih berdarah keturunan Tionghoa.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Arifin menilai sebagai bagian dari minoritas kecil, kaum Tionghoa secara berkala mengalami kekerasan sepanjang rezim, penguasa, dan model politik yang beragam. Menurut dia, hal itu terjadi seiring dengan perubahan sosial, politik, dan ekonomi di tingkat nasional dan juga didorong kekhawatiran serta konflik-konflik lokal.

“Bertolak dari data-data yang ada, penulis Australia itu mengaitkan situasi minoritas etnis Tionghoa dengan persoalan ideologi nasionalisme. Sering kali kelompok minoritas itu mudah diidentifikasi karena perbedaan kutural dan keagamaan yang tampak. Hal itu disinonimkan dengan teori minoritas perantara atau teori kambing hitam. Perantara bertindak sebagai peredam benturan antara elit politik dan publik di sektor pedagangan dan perseteruan sosial,” urai Arifin dihadapan audien yang meliputi perwakilan etnis Tionghoa Solo.

Menurut Arifin, ada beberapa motivasi yang mengakibatkan tindakan kekerasan terhadap komunitas Tionghoa, yakni kecemburuan, frustasi yang salah arah, dan prasangka rasialis. Kekerasan anti-Tionghoa, kata dia, terjadi di Indonesia bersamaan dengan masa perubahan dan pergeseran kekuasaan dalam negara bangsa. “Fakta bahwa kekerasan berlanjut setelah perubahan rezim itu menunjukkan adanya kekuatan sentimen dalam struktur politik dan struktur sosial,” imbuhnya.

Sementara, Joko Khelek lebih banyak menerangkan kronologi terjadinya konflik yang berhubungan dengan etnis Tionghoa di Indonesia sejak zaman prakolonial hingga zaman Orde Baru. Joko menyebut tembang Semut Ireng dan Kalunta merupakan representasi dari tragedi Geger Pecinan di Kartasura pada 1742 silam. Joko juga menyebut adanya pengusiran etnis Tionghoa pada 1949. “Kerusuhan Mei 1998 lalu itu bukan sekadar sentimen ekonomi, tetapi lebih pada endapan sentimen kultural. Oleh karena persoalan itu sebenarnya sampai sekarang belum selesai,” imbuhnya.

Di akhir sesi, Joko meminta beberapa peserta dari Tionghoa maju ke depan forum. Mereka dipeluk Joko satu per satu sebagai simbol selesainya konflik anti-Tinghoa. Sebagai penutupnya, sang moderator yang tidak lain alumnus sejarah UGM, Heri Priyatmoko, mengajak peserta dan narasumber untuk menikmati hidangan khas China.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya