SOLOPOS.COM - Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Drajat Tri Kartono (Wahyu Prakoso)

Solopos.com, SOLO — Tragedi Kanjuruhan yang menghilangkan nyawa ratusan orang di Stadion Kanjuruhan, Kota Malang, kini sedang menjadi sorotan baik dari dalam ataupun luar negeri.

Hilangnya ratusan nyawa menjadi tragedi terburuk sepakbola Indonesia sepanjang sejarah.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Drajat Tri Kartono, menyebut tragedi Kanjuruhan tidak lepas dari adanya fanatisme suporter yang merusak kelompoknya sendiri.

Dalam rilis yang diterima Solopos.com pada Rabu (5/10/2022), Drajat menyatakan kericuhan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan adalah bentuk kekecewaan suporter atas kekalahan Arema FC atas Persebaya Surabaya sebagai tim tamu. Namun, kekecewaan mereka dilampiaskan kepada kelompoknya sendiri (manajemen klub).

Ekspedisi Mudik 2024

“Jadi, kejadian yang di Malang itu memang ada beberapa dimensi. Bahwa kejadian itu menjadi kacau balau, ‘kan ada orang banyak,” kata Drajat.

Baca Juga: 33 Anak Meninggal dalam Tragedi Kanjuruhan, Terkecil Berusia 4 Tahun

Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa kericuhan di Stadion Kanjuruhan Malang semakin menjadi-jadi karena adanya “pihak” yang menghalang-halangi ekspresi kekecewaan suporter.

“Karena menghalangi ekspresi itu, kemudian jadilah kaya ngamuk ke semua arah. Bentrok dengan aparat juga, karena aparat harus berada di tengah-tengah juga. Karena tidak ada Bonek, jadi mereka menyerang ke dalam,” ujar Drajat.

Drajat juga menilai bahwa peristiwa tersebut merupakan bukti ketidaksepahaman antara manajemen klub dan suporter, hal ini memicu konflik di dalam dan menyulut emosi.

“Bahwa pengorganisasian identity dalam in group itu akan mudah menyerang ke dalam kalau ada perpecahan di dalam kelompok itu,” kata Drajat.

Berkaitan dengan kericuhan suporter di Stadion Kanjuruhan yang dipicu kekecewaan suporter karena klub yang dijagokan ditekuk Persebaya Surabaya, Drajat menilai kejadian ini berkaitan dengan fanatisme.

Baca Juga: Tragedi Kanjuruhan Malang: Suporter Desak Persis Solo Bersikap

Ia menjelaskan fanatisme adalah identifikasi diri yang memasukkan orang-orang ke in group feeling, ditandai dengan kesamaan perasaan, pandangan, dan simbol dalam kelompok yang sama.

“Nah, di dalam in group feeling dibangunlah koneksi yang membangun mereka adalah in group identity. Identitas kelompok kemudian disebarkan ke seluruh anggota dengan harapan mereka punya komitmen penyamaan simbol, persepsi, dan gerak sehingga menjadi satu kesatuan,” terangnya.

Dalam hal ini, Drajat menyampaikan bahwa fanatisme berpeluang semakin menjadi-jadi apabila dipengaruhi oleh kompetisi dengan kelompok lain. Jadi, muncul dorongan untuk melindungi dan memperjuangkan kelompoknya sendiri terhadap kelompok lain.

“Di situ muncullah sebuah komitmen penyatuan identitas yang kemudian harus dipertahankan. Ini diperkuat oleh keterkaitan antara kelompok itu dengan identitas-identitas lain, seperti identitas kedaerahan,” jelas Drajat.

Baca Juga: Kanjuruhan Jadi Perhatian Dunia, Muhammadiyah: Tim Pencari Fakta Harus Objektif

Drajat juga mengatakan fanatisme seringkali membawa kerugian karena memicu orang-orang untuk bersikap tidak toleran. Menurut Drajat, berkurangnya rasa toleransi karena fanatisme merupakan hal yang otomatis terjadi.

“Karena perasaannya ke dalam sehingga kalau ada yang dianggap menghalang-halangi kelompoknya atau merusak kelompoknya ya tindakan agresi. Kalau tidak terorganisir dan duduk dengan baik, munculah agresi dan kemudian terjadi pengabaian terhadap norma-norma masyarakat,” tutur Drajat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya