SOLOPOS.COM - Aris Setiawan (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Siapa bilang bapak dari Blitar, bapak kita dari Prambanan // Siapa bilang rakyat kita lapar, Indonesia banyak makanan.

Dua kalimat di atas adalah lirik lagu berjudul Mari Bersuka Ria. Lagu itu ciptaan Soekarno yang dibawakan dalam irama lenso. Lagu itu diedarkan pada 14 April 1965, beberapa bulan sebelum tragedi besar kemanusiaan di negeri ini terjadi.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Mari Bersuka Ria adalah satu dari sekian lagu yang tergabung dalam album di bawah label Irama yang dikelola Jack Lesmana bersama Bing Slamet. Beberapa penyanyi terkenal pada zaman itu terlibat dalam produksi lagu itu seperti Rita Zhara, Nien Lesmana, Titiek Puspa dan Bing Slamet.

Album itu sekaligus menandai 10 tahun Konferensi Asia Afrika. Pada sampul belakang bagian atas terdapat tanda tangan dan tulisan ”Saya restui. Setudjui diedarkan. Soekarno 14/4 ’65”. Kalimat itu tampak sederhana, namun mengandung konsekuensi yang cukup besar.

Pada zaman itu perlawanan terhadap musik Barat (terutama rock and roll) berlangsung masif. Soekarno tak segan menghukum siapa pun yang menyanyikan musik Barat seperti lagu-lagu The Beatles dan Elvis Presley.

Soekarno merasa penting memberi teladan dengan menghadirkan satu varian musik yang mewakili citra dan adab ketimuran: irama lenso. Sebuah genre musik untuk mengiringi tarian lenso (dengan ciri khas menggunakan sapu tangan) di Maluku.

Tempo dan Iramanya konstan lewat bunyi perkusi yang cenderung menonjol. Musik itu cukup nyaman diikuti gerakan tubuh secara serempak, selayaknya poco-poco. Kata ”saya restui” pada sampul album sekaligus melegitimasi lagu itu dapat dinyanyikan oleh segenap rakyat Indonesia.

Lagu yang menjadi pelipur lara kala kondisi ekonomi rakyat berbalut kemelaratan. Rakyat kelaparan. Mari Bersuka Ria menawarkan mimpi tentang makanan melimpah. Mari Bersuka Ria adalah lagu imajinasi tentang kebahagiaan.

Tentu saja berlagu tak mengenyangkan perut. Kondisi lapar membuat gariah berjoget dan bermusik hilang. Lagu itu sesekali didendangkan, namun tak dikenang. Lewat lagu itu kita dapat membaca jejak perjalanan Soekarno yang tak semata-mata tentang pidato-pidato, perempuan, tulisan, gedung, dan patung-patung.

Tidak banyak presiden yang memiliki gelora mendalam pada musik, hingga terlibat aktif mengatur dan melarang apa yang boleh didengar dan yang tidak. Negara menunjukkan kuasa lewat bunyi dan suara bagi rakyat.

Soekarno berkeyakinan apa yang kita dengar akan memengaruhi perbuatan kita. Ia hendak berbicara bahwa musik dapat merusak hidup, tapi juga sebaliknya. Soekarno mencoba menjadikan dirinya sebagai cermin ideal manusia Indonesia.

Ia menyukai gamelan dan musik tradisi Indonesia. Jadilah ia pemimpin yang tangguh dan disegani. Ia berharap rakyat, terutama generasi muda, menjadi Soekarno-Soekarno baru lewat Mari Bersuka Ria.

Pantun

Mari Bersuka Ria dibawakan dengan lirik yang bertema pantun. Terdapat sampiran dan isi atau sejenis pertanyaan dan jawaban. Gaya semacam itu sebenarnya jamak dijumpai dalam musik, terutama yang bertema balada.

Sebagaimana tradisi musik di negeri ini, lirik berpantun memberikan pelbagai kemungkinan untuk diubah menjadi tema baru sesuai kebutuhan. Pada Musyawarah Nasional Teknik (Munastek) di Istora Senayan Jakarta, 30 September 1965, Soekarno memulai pidatonya dengan menyanyikan Mari Bersuka Ria.

Lirik berpantun itu ia ubah sesuai tema acara. Ia berdendang: Siapa bilang saya suka opor bebek/ kan bebek sama saja dengan itik. Siapa bilang saya tidak senang kepada Munstek/ (hanya) karena saya seorang orang teknik.

Para hadirin ikut menyanyi bersama dengan mengulang bagian refrain: Mari kita bergembira sukaria bersama hilangkan sedih dan duka/ mari nyanyi bersama lenyapkan duka lara/ bergembira semua la…la...la...la mari bersuka ria.

Mari Bersuka Ria pada malam itu menjadi dendang lagu terakhir yang dinyanyikan Soekarno dengan penuh suka cita. Setelah itu terjadi tragedi besar bernama Gerakan 30 September 1965. Tragedi ini mengubah arah dan peta kekuasaan yang tentu saja mengandung konsekuensi bagi nasib Mari Bersuka Ria.

Sehari sebelum peristiwa itu,  29 September 1965, di acara Kongres Gerakan Mahasiswa Indonesia di Jakarta, Soekarno dengan merdu menggunakan Mari Bersuka Ria sebelum memulai pidato. Mari Bersuka Ria menjadi lagu yang lentur dalam penggarapan liriknya.

Soekarno memberi contoh bahwa siapa pun dapat mengubah sesuai keinginan hati dan perasaan. Tema Mari Bersuka Ria bebas, tak melulu berkisah tentang keIndonesiaan. Lagu itu segera tenggelam setelah Orde Baru berkuasa.

Dalam album tersebut terdapat lagu berjudul Gendjer-gendjer yang diidentikkan sebagai bagian erat dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Mari Bersuka Ria mengalami kebangkrutan eksistensi dan sayup-sayup mati.

Tidak ada seorang pun yang berani mendengarkan dan mendendangkan Mari Bersuka Ria. Lagu itu menjadi keramat dan ditakuti. Mari Bersuka Ria menjadi satu-satunya peninggalan Soekarno dalam musik. Bulan ini kita mengenang tragedi Gerakan 30 September 1965 dan kita patut mengingat tidak saja dalam konteks perang, darah, dan air mata, tetapi juga musik.

Tidak ada salahnya bila kita mengingat dengan mendengarkan lagi Mari Bersuka Ria tanpa beban serta tanpa rasa ketakutan berlebih. Bebaskan musik dari belenggu-belenggu politik. Saat mendengarkan Mari Bersuka Ria, jangan lupa dibarengi dengan lenggak-lenggok tarian atau goyangan. Mari!

                       

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya