SOLOPOS.COM - Foto Tradisi Boyong JIBI/Harian Jogja/Khusnul Isti Qomah

Foto Tradisi Boyong
JIBI/Harian Jogja/Khusnul Isti Qomah

Warga Padukuhan Namberan, Desa Karangasem, Kecamatan Paliyan, Gunungkidul memiliki tradisi menarik saat pindah rumah. Berikut laporan wartawan Harian Jogja, Kusnul Isti Qomah.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Sejumlah warga berkumpul di kediaman Tugirin dan Lasmi, Jumat (17/5). Mereka mengelilingi sebuah keranjang berisi peralatan rumah tangga, nasi yang dikepal (mong) dalam empat jenis, sapu lidi dan sejumlah benda lainnya.

Uba rampe dan berkumpulkan warga itu sebagai bagian dari prosesi boyong brayat atau pindah jogan atau pindah rumah.

Prosesi dipimpin rohaniawan Islam (rohis) Padukuhan Namberan, Suratman. Setelah selesai persiapan di rumah lama yang terletak di RT 01, Suratman memimpin rombongan berjalan kaki menuju rumah baru di RT 03.

Sampai di rumah baru, rombongan disambut Ketua RT setempat yang menanyakan maksud dan tujuan, sebagai proses wajib boyong brayat.
Usai dipersilakan masuk, rombongan laki-laki duduk bersila di ruang tamu, sedangkan wanita termasuk Lasmi dan Tugirin masuk ke ruangan lain.

Tak lama kemudian. seorang sesepuh Padukuhan memimpin doa seusai memasukkan kembang setaman ke baskom. Tugirin dan para wanita duduk setengah melingkar di sekitar sesepuh itu.

Prosesi pun berlanjut ke kenduri yang diikuti semua warga yang hadir. Mereka semua mengamini setiap doa yang dipanjatkan. Setelah usai kenduri pun dibagi.

Suratman menjelaskan, prosesi serta benda yang digunakan memiliki arti tersendiri bagi keluarga yang melakukan boyong brayat.

Dalam prosesi boyong brayat empat unsur manusia pun harus terwakili. Nafsu manusia digambarkan dengan api yang selalu mengarah ke atas dan disimbolkan dengan lampu minyak. Air pun wajjib dibawa untuk mewakili simbol air mani dari laki-laki dan perempuan. Unsur ketiga yakni tanah yang mewakili kakang kawah adi ari-ari (air ketuban dan plasenta ketika bayi), agar kakang dan adi tersebut selalu mengikuti si empunya dan menjaganya.
Unsur keempat yakni angin pun dilengkapi dengan pembacaan jopo oleh sesepuh untuk memasrahkan di tempat baru sehingga semakin makmur.

Sejumlah simbol disajikan dalam boyong brayat itu, kloso (tikar) dan bantal memiliki arti kemakmuran dan kepasrahan kepada Tuhan. Sapu lidi menjadi simbol untuk membersihkan hati manusia dan dari sesuatu hal yang tidak diinginkan. Nasi kepal atau mong pun dibuat dalam beberapa bentuk dengan arti masing-masing.

Mong yang dibentuk mengerucut seperti tumpeng menggambarkan hanya Tuhan yang memiliki kekuasaan tertinggi. Nasi yang dikepal datar (sego liwet) yang atasnya diberi parutan kelapa merupakan simbol manusia di dunia ini memiliki kelebihan masing-masing dan kemampuan yang berbeda sehingga harus pandai mensyukuri apa yang dipunyai.

Nasi yang dikepal kecil dengan jumlah lima, tujuh atau 14. Jumlah lima mewakili empat unsur manusia ditambah rumah yang ditempati sehingga akan tenang kemanapun arah yang dituju. Tujuh merupakan perlambang susunan manusia yang terdiri dari bulu, kulit, daging, darah, tulang, sumsum dan nafsu. Sedangkan 14 merupakan tujuh unsur dari laki-laki dan perempuan (golong atau memule).

Selain mong, kenduri juga harus dilengkapi dengan ambeng yang berisi kluwih. Ambeng merupakan sarana untuk mengiringi doa kepada leluhur yang sudah meninggal. Sego barokah (nasi barokah) atau sego bathok pun tak lepas dari prosesi itu. Bathok merupakan lambang dari tempat ari-ari (plasenta) yang dikubur di kanan (laki-laki) atau kiri (perempuan) pintu masuk agar tak ada aral apapun.

Kenduri pun tak kan lengkap tanpa nasi uduk atau nasi gurih dan ayam ingkung yang harus ditempatkan di pengaron (kuwali dari tanah).

Nasi gurih menjadi lambang permohonan agar termasuk dalam umat Nabi Muhammad SAW sedangkan ayam ingkung sebagai simbol Nabi Muhammad SAW sebagai seorang pemimpin. Pisang raja pun harus disiapkan sebagai sanggan. Jumlahnya pun harus sesuai dengan hitungan pasaran.

Tradisi inilah yang coba untuk terus dipertahankan di Padukuhan Namberan. “Tradisi ini ingin kami pertahankan karena merupakan warisan budaya. Saya trenyuh melihat tradisi yang kian hari kian terkikis,” ucap Suratman.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya