SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

JOGJA—Tiga Dusun di Glagaharjo, Cangkringan, Sleman yang menolak relokasi dari daerah rawan bencana mengaku didiskriminasikan oleh pemerintah. Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X pun mengusulkan jalan tengah untuk masalah tersebut.

Sekretaris Lurah Glagaharjo, Agralno, usai menemui HB X di Kepatihan, Kamis (26/1) mengatakan, lantaran UU mengenai kebencanaan dan Tata Ruang melarang daerah rawan bencana ditinggali, kini warga tiga dusun yakni Srunen, Kali tengah Lor dan Kali Tengah Kidul yang menolak direlokasi mendapat perlakuan diskriminatif dari pemerintah.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Ia mencontohkan, sekolah di Dusun Srunen yang telah dibangun warga karena rusak akibat erupsi kini tetap tak dapat digunakan karena Pemda Sleman tak mau mengirim guru ke sana. Akibatnya anak-anak sekolah harus belajar di sekolah di shelter atau hunian sementara yang jaraknya mencapai tujuh kilo meter dari dusun.

“Ada yang enggak sekolah karena semuanya memikirkan biaya antar jemput. Tiap hari saja kalau antar jemput sudah empat kali sehari, memikirkan uang bensinnya berapa,” terangnya.

Diskriminasi lainnya adalah tak difasilitasinya pembangunan fisik dan infrasturktur di tiga dusun tersebut oleh pemerintah dibanding warga lain korban erupsi. Sejauh ini pembangunan di tiga dusun dengan warga sebanyak 500 KK tersebut dilakukan secara swadaya. Misalnya kebutuhan penerangan dan air. Warga menurut Agralno belum mau direlokasi karena saat ini kehidupan ekonomi sudah membaik.

“Ekonomi sudah pulih karena berkat swadaya masyarakat. Tapi kami ini mohon juga diperlakukan sama dengan warga lain. Fasilitas diberikan, itu semua untuk membangun rumah swadaya sendiri. Tapi kalau sudah UU mengatur demikian kami dengan rasa yang sangat perih mau bagaimana lagi,” tutur Agralno.

Terpisah, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, dilema tersebut tak hanya menjadi masalah Desa Glagaharjo namun juga Pemda, Pemprov dan pemerintah pusat. Sesuai UU Tata Ruang, daerah yang dikosongkan atau kawasan bencana tak boleh ditinggali. Bila pemerintah memberi fasilitas akan dipidanakan. Padahal menurutnya, bagaimanapun warga tiga dusun tersebut adalah warga DIY. Karenanya hingga saat ini pun pemerintah pusat belum dapat menjalankan ketentuan tersebut.

“Saya juga enggak bisa membiarkan, masak karena nggak difasilitasi nanti yang disitu bodoh semua enggak sekolah, kan juga warga saya,” ungkap Sultan.

Sebagai jalan tengah menurutnya saat ini diusulkan konsep living harmony yang mendudukan dengan jelas di mana posisi pemerintah dan masyarakat dalam kondisi tersebut. Konsep tersebut ujar Sultan misalnya, ada kesepakan antar warga setempat kalau misalnya ada bencana sewaktu-waktu dapat dipindah atau mengungsi. Namun karena juga bagian dari warga maka pemerintah tetap mendapat fasilitas. Seperti jalur evakuasi, sekolah dan infrastruktur lainnya.
Dalam waktu dekat ini lanjut Sultan instansi terkait seperti Badan Lingkungan hidup, Kementerian Pekerjaan Umum, Bappeda bakal merumuskan konsep tersebut dan mensosialisasikannya ke warga. Bila masyarakat setuju bakal Pemprov DIY usulkan ke pemerintah pusat. Hanya saja harus diwujudkan lewat keputusan presiden agar di kemudian hari tak ada yang terkena sanksi pidana. “Itu kan juga harus ada keputusan, nanti kalau enggak beberapa tahun ke depan saya dipidanakan karena memberi fasilitas,” terangnya.(Harian Jogja/Bhekti Suryani)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya