SOLOPOS.COM - Warga Desa Karanggeneng, Boyolali, memilih membubarkan diri saat musyawarah pembahasan nilai ganti rugi jalan tol, Kamis (26/11/2015). (Hijriyah Al Wakhidah/JIBI/Solopos)

Tol Semarang-Boyolali, musyawarah pembebasan tanah di Desa Karanggeneng diwarnai aksi WO warga.

Solopos.com, BOYOLALI–Musyawarah pembebasan tanah untuk jalan tol Semarang-Solo di Desa Karanggeneng, Kecamatan Boyolali, Kamis (26/11/2015), berlangsung tegang.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sekitar 20 warga yang kesal dengan appraisal dan tim dari Panitia Pembebasan Tanah (P2T) memilih membubarkan diri dan menolak melanjutkan musyawarah. Warga membubarkan diri karena tidak puas dengan jawaban dari tim P2T dan appraisal saat warga memprotes masalah nilai ganti rugi tanah. Selain itu, beberapa warga juga mengancam menggugat tim appraisal, bisa menggugat pidana atau perdata ke pengadilan. Ancaman gugatan ini dilayangkan karena warga menganggap tim appraisal dan P2T tidak profesional dalam menentukan nilai ganti rugi.

Seorang warga yang tidak puas dengan penentuan nilai ganti rugi, Agus Sunarto, bahkan langsung menyobek-nyobek kertas berisi daftar nilai ganti rugi di depan tim appraisal dan P2T. Agus protes karena nilai ganti rugi tanah yang dia terima justru menurun. Pada 2014, tanah miliknya ditaksir seharga Rp275.000/meter persegi. Setelah dihitung ulang oleh tim appraisal yang berbeda, harga tanah sekarang hanya ditawar Rp220.000/meter persegi.

Ekspedisi Mudik 2024

“Kami hanya minta harga tanah ditinggikan. Hargai tanah kami dengan nilai yang wajar,” kata Agus, di sela-sela musyawarah.

Dia merujuk penentuan nilai ganti rugi tanah di Desa Metuk, Kecamatan Mojosongo. Di Metuk, yang juga terkena proyek tol Semarang-Solo, pada 2014 ditaksir nilai ganti rugi Rp380.000/meter persegi. Tahun ini, harga pembebasan tanah mencapai Rp896.000/meter persegi.

“Di Metuk saja bisa naik setinggi itu kenapa untuk Karanggeneng yang masuk wilayah perkotaan justru harganya turun,” papar Agus.

Warga Kebonbimo yang punya tanah di Karanggeneng, Suryono, menilai tim appraisal dan panitia pembebasan tidak profesional dalam menentukan nilai ganti rugi. “Kalau terus-terusan seperti ini kami bisa saja gugat mereka [tim appraisal]. Di UU kan diatur,” kata Suryono.

Warga sudah merasa mengikuti prosedur pembebasan, misalnya dengan mengajukan keberatan ke pengadilan tetapi justru permohonan keberatan itu ditolak oleh Pengadilan Negeri (PN) Boyolali.

“Itu artinya panitia tidak siap. Semuanya belum siap. Kami warga sudah jemu dengan rapat-rapat jalan tol seperti ini.”

Menyikapi reaksi warga, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Boyolali, Wartomo, akan tetap mengupayakan jalur musyawarah. “Nanti akan coba musyawarahkan lagi. Kalau memang tidak ada titik temu, aturannya kan sudah jelas, kami siap memfasilitasi hak-hak warga lewat pengadilan,” kata Wartomo.

Wartomo mengaku besaran nilai ganti rugi adalah kewenangan tim appraisal. Saat disinggung apakah masih ada kemungkinan nilai ganti rugi itu dievaluasi, Wartomo tidak bisa memastikan. “Coba tanya saja ke appraisal. Mereka yang bikin harganya.”

Anggota tim appraisal dari Kantor Jasa Penilai Publik Asmawi Jakarta, Wahyudi, tidak bersedia memberikan tanggapannya terkait protes warga soal nilai ganti rugi. “Biar besok tim dari kantor kami yang menjelaskan kepada warga.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya