Anda bisa mencari berdasar kategori
atau judul berita
Masukan kata kunci

Tokoh-Tokoh Penting dalam Sarekat Islam tetapi Tak Dikenal

Tokoh-Tokoh Penting dalam Sarekat Islam tetapi Tak Dikenal
user
Rabu, 17 November 2021 - 12:37 WIB
share
SOLOPOS.COM - Diskusi buku tentang Sarekat Islam karya Adityawan Suharto.

Solopos.com, SOLO–Jika menyebut pergerakan Sarekat Islam (SI), ada dua tokoh yang tak boleh tidak disebut yaitu Haji Samanhudi yang merupakan pendiri dan H.O.S. Tjokroaminoto, pemimpin Central Sarekat Islam (CSI). Namun, sebenarnya banyak tokoh-tokoh lain SI yang lahir di Solo pada awal abad XX itu. Nama mereka tak masuk dalam buku sejarah yang dibaca anak-anak sekolah. Namun, nama mereka disebut dalam buku sejarah babon yang ditulis oleh sejarawan. Sayang, nama-nama itu ditulis sekilas. Padahal mereka adalah orang yang mendukung pergerakan SI.
Orang-orang itu tinggal di sejumlah kampung yang masih ekses hingga kini. Sebut saja Kaprabon, Kauman, hingga Laweyan. Tiga kampung itu itu tergolong basis muslim sejak dulu. Sebagian adalah pengusaha, namun banyak yang berprofesi sebagai wartawan. Yang pasti, mereka adalah aktivis pergerakan pada awal abad XX.
Buku Sarekat Islam Surakarta 1912-1923 karya Adityawan Suharto memunculkan tokoh-tokoh tak terkenal dalam sejarah SI. Menurut penulis, ada banyak tokoh penting di sekitar Samanhudi dalam mengembangkan SI di Solo.
Menurutnya, jejak tokoh-tokoh tersebut penting untuk dimunculkan untuk memberikan informasi yang lebih gamblang mengenai SI Solo. “Buku saya khusus mengulas Sarikat Islam di Surakarta. Kemudian saya hanya mengambil sisa-sisa yang belum dimunculkan di kebanyakan buku sejarah. Sebenarnya itu kan cerita-cerita yang terpotong dan bisa menjadi misleading. Ini saya menambal sulam, yang kemudian ini menjadi tesis saya,” kata Adityawan seusai bedah bukunya di Omah Parang Kesit, Sondakan, Laweyan, Solo, Sabtu (16/10/2021).
Dia menyebutkan beberapa hal yang dia soroti di bukunya adalah tokoh-tokoh di sekitar Samanhudi. “Contohnya ada Haji Bakri. Kalau di internet nama itu tidak keluar. Tapi ternyata beliau ini adalah orang yang membersamai [Samanhudi],” jelas dia.
Tokoh-tokoh yang disebutkan, meski belum banyak diulas di buku sejarah sebelumnya, ternyata juga memiliki peran penting dalam SI bersama Samanhudi. Haji Bakri disebut sebagai tokoh penting, namun tidak banyak diulas. “Padahal Haji Bakri ini wakil presidennya Samanhudi. Dulu dalam jabatan SI [Sarekat Islam] itu presidennya Samanhudi, kemudian wakilnya Haji Bakri. Tapi Haji Bakri kurang dikenal secara konteks luas,” kata dia.

Budi Utomo

Pada penelitiannya, Adityawan memanfaatkan surat kabar Darmo Kondo yang saat itu dimiliki Budi Utomo. “Darmo Kondo itu kan miliknya Budi Utomo, percetakannya sebenarnya juga di Sondakan. Para wartawannya adalah orang yang berada di lingkaran Samanhudi. Kemudian orang-orang ini yang mendukung Samanhudi. Ini juga yang tidak banyak disebut di buku-buku yang sudah ada,” lanjut dia.
Tokoh lain yang diulas adalah Martodharsono dan Joyo Margoso. Kedua tokoh ini muncul di tengah konflik Rekso Roemekso. Rekso Roemekso adalah embrio SI.
Awalnya di Solo, lebih dulu ada perkumpulan ronda tolong menolong bernama Kong Sing. Anggotanya kebanyakan orang Tionghoa, walau ada juga pribumi.
Lalu, persaingan antara warga pribumi dan Tionghoa meruncing. Haji Samanhudi dan pedagang batik Solo lainnya mendirikan Rekso Roemekso pada 1911 yang bersaing dengan Kong Sing.
Rekso Roemekso muncul sebagai perkumpulan keamanan masyarakat lokal saat itu. Hanya, Rekso Roemekso tidak disenangi penguasa kolonial pada saat itu karena dinilai sebagai perusuh, kemudian akan dibubarkan.
Saat akan dibubarkan, muncullah tokoh-tokoh dari Kasunanan. “Pertama adalah Raden Martodharsono dan Joyo Margoso. Martodharsono mengakali Rekso Roemekso yang sudah menyatukan orang-orang Laweyan sampai Gading dan sekitarnya, menggunakan status hukum SDI [Serikat Dagang Islam] sehingga bisa bertahan. Singkatnya kalau versi surat kabar seperti itu,” lanjut dia.
Mereka mengakali dengan menyebut Rekso Roemekso adalah cabang dari SDI yang ada di Bogor. Pendirian SDI Cabang Solo berlangsung pada 1912.
Dari situ, kemudian orang-orang menggagas badan hukum tersendiri untuk SI. Kongres pertama SI berlangsung pada 1913 di Surabaya. Samanhudi sebagai ketua dan H.O.S. Tjokroaminoto sebagai wakil ketua.
Adityawan mengaku mulai menulis buku tersebut 2019 lalu. Niat awalnya buku itu disusun untuk kebutuhan akademik. Kemudian dibukukan dan diharapkan bisa menjadi bacaan alternatif mengenai ulasan-ulasan Sarekat Islam yang sudah ada sebelumnya.
Nama-nama lain yang ada di lingkaran Samanhudi di Solo, menurut Adityawan, di antaranya Sosro Kurnio (Sekretaris SI dan Redaktur Sarotomo), Parto Wihardjo (Bendahara SI), Hisjamzaini (Penasihat SI), Sontohartono, Harso Lumakso, Mochtar Buchori, dan Kusen.
Selain sebagai aktivis pergerakan, sebagian besar dari nama-nama-nama itu adalah wartawan dan pengusaha.
Pada masa itu, Solo juga dikenal sebagai kota pergerakan. Sarekat Islam lahir di Solo. Tokoh-tokoh nasional juga berasal dari Solo. Bahkan di Solo juga terbit banyak media massa atau koran baik pada abad XIX hingga abad XX.
Solo menjadi salah satu daerah yang memiliki peran penting dalam sejarah pers nasional. Kota Solo disebut sebagai kota pertama yang memunculkan koran lokal modern.
Adityawan mengatakan sekitar 1849, sudah muncul surat kabar Bromartani. Ada yang menyebutkan surat kabar berbahasa dan beraksara Jawa tersebut terbit pertama kali di Solo pada 1855. “Tapi masih ada campur tangan Belanda. Kemudian di Batavia ada Bintang Timoer, Bintang Barat. Kemudian mulai tumbuh subur sejak kemunculan Djawi Kando sekitar 1895. Pertama milik orang Belanda tapi sudah mulai berbahasa Melayu. Kalau koran pribumi asli, ya semenjak Sarekat Islam itu, yang pertama adalah [surat kabar] Sarotomo milik SI yang kantornya di Purwosari,” kata dia, Sabtu (16/10/2021).
Dia mengatakan untuk menunjukkan eksistensi SI saat itu, muncullah koran Sarotomo. “Itu adalah koran pertama kali SI sekitar April 1912, sayangnya saya tidak menemukan bukti [terbitan] perdana yang asli dari Sarotomo. Saya hanya menemukan di 1914,” lanjut dia.
Baru setelah itu muncul surat kabar lain seperti Doenia Bergerak, Islam Bergerak, dan sebagainya. Bukan hanya itu, menurut Adityawan, Solo menjadi kota yang memunculkan koran Islam modern, yakni Medan Moeslimin.

Solopos Stories
Rekomendasi
Berita Lainnya

Koran Solopos


Berita Populer

Dapatkan akses tak terbatas
Part of Solopos.com
ISSN BRIN