SOLOPOS.COM - Suratimin tengah siaran di Radio Penghijauan (JIBI/Harian Jogja/Tri Wahyu Utami)

Suratimin (JIBI/Harian Jogja/Tri Wahyu Utami)

Bagi Suratimin, 46, warga Salak, Semoyo, Patuk, Gunungkidul, pohon adalah aset besar kehidupan. Di matanya, hanya kepada pohon, manusia “menggantungkan” napas.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

 

Dengan susah payah, Suratimin lantas menggagas program konservasi hutan di Semoyo. Ia juga menggerakkan radio komunitas untuk penghijauan.

Sekitar 1999, pekan-pekan pertama sepulang dari merantau dari Papua, hampir setiap hari Suratimin bermain badminton bersama tetangga. Setelah bermain mereka banyak membincangkan tentang kerusakan alam.

Dari percakapan itu, lantas tercetus ide membuat konservasi hutan rakyat. Ide ini juga mempertimbangkan mulai menipisnya pohon di tebing-tebing kawasan Semoyo.

Saat berbincang dengan Harian Jogja pekan lalu, Suratimin menuturkan kebetulan saat itu ada pendampingan dari LSM dan  program padat karya beras. “[Lalu] Kami isukan konservasi. Diadakan kelas pengorganisasian juga. Kami juga studi banding ke kawasan konservasi lain. Konservasi ini selain untuk menyelamatkan lingkungan, masyarakat bisa bergerak dalam proses pembelajaran, agar mampu mengelola potensi lokalnya untuk meningkatkan ekonominya,” terang Suratimin. Semoyo kemudian diresmikan sebagai desa kawasan konservasi 2007.

Suratimin juga mengisahkan masyarakat setempat tak acuh terhadap kesuburan tanah. Hutan-hutan rakyat gundul. Tak salah jika Gunungkidul dikenal sebagai kawasan gersang. Sebab, tanahnya tandus dan ‘sakit’.

Menurut bapak dua putra ini, seluruh fenomena yang dihadapi saat ini termasuk merebaknya bermacam virus yang kian resisten adalah buah dari perbuatan merusak dan menghancurkan alam serta memotong mata rantai kehidupan.

“Kerusakan tanah, seperti tanah bantat tidak lain disebabkan oleh bahan-bahan kimia seperti pupuk. Maklum, masyarakat ingin praktis. Kalau pakai pupuk kompos, prosesnya lama dan ribet,” ujarnya.

Suratimin mengatakan, tanah sebagai ibu pertiwi harus dihormati. Jika alam terus dirawat dan dijaga, alam sebaliknya akan menjaga penghuninya. Menanam pohon dan tumbuhan lain adalah cara yang tepat menjaga ibu bumi, selain beternak hewan yang kotorannya sebagai makanan bumi.

Lagipula, selama ini tidak sulit menanam pohon di Gunungkidul. Kawasan pegunungan ini sangat berpotensi menghasilkan kayu. Tercatat 80.000 meter kubik per tahun. Oleh pemerintah kabupaten, baru bisa dimanfaatkan 20%-nya. Selebihnya masih dijual gelondongan.

“Selain menyayangi alam, sebenarnya pohon merupakan potensi besar, meningkatkan kapasitas ekonomi masyarakat. Tapi belum bisa. Artinya itu harus ada kebijakan berpihak bagaimana agar masyarakat mampu memanfaatkan kayu secara maksimal,” katanya lagi.

Suratimin tengah siaran di Radio Penghijauan (JIBI/Harian Jogja/Tri Wahyu Utami)

Radio Penghijauan

Berhenti dari kegiatan seputar konservasi dan hanya diskusi, warga Semoyo yang terdiri dari 816 kepala keluarga (KK) lantas mendirikan radio komunitas. “Biayanya patungan, sisanya pinjaman,” terang Suratimin.

Pada 2008, Radio Desa Kawasan Konservasi (Radekka) FM untuk melayani kebutuhan informasi di desa Semoyo pun mulai mengudara. Warga diberi radio cuma-cuma hasil bantuan berbagai pihak agar bisa mendengarkan siaran saat berkebun.

Suratimin dan warga pun jadi tidak repot-repot harus selalu berkumpul membahas sesuatu karena radio sudah mewakilinya.  Di Radekka FM ini tidak mengenal istilah “bayaran”. Sekitar 15 orang yang aktif tidak diberi upah sepeserpun meski siaran berjam-jam.

“Jam 6 pagi sampai jam 9 malam mengudara. Kalau ada tamu begini, sudah saya susun lagu dan informasi-informasi jadi bisa ditinggal-tinggal,” kata Suratimin sambil memperlihatkan studio kecil yang dulu dipakai sebagai tempat ibadah keluarga.

Lewat radio, Suratimin menyiarkan berbagai hal tentang penghijauan, pertanian, teknik beternak, hingga proses penghitungan karbon yang akhir-akhir ini menjadi konsentrasi Semoyo.

Penyuluhan ini bahkan bisa didengarkan di seluruh dunia karena Radekka FM streaming lewat alamat web desakawasankonservasi.blogspot.com.

Bagi Suratimin, konservasi tak sekadar menanam pohon. Tapi bagaimana merawatnya, melindunginya dan memanfaatkannya. “Ada hak memanfaatkan, ada kewajiban melestarikan,” tegasnya.

Di Semoyo, lanjutnya, hingga kini masih ada warga belum menyadari akan arti penting keberadaan pohon. Mereka mengganggap pohon sebatas tabungan. Parahnya, seringkali pohon dijual dengan sistem ijon.

“Sayang di Indonesia, bank tidak mau dikasih jaminan kayu, menurut saya bank itu bodoh. Motor saja mau kok kayu enggak mau. Dulu bank dunia berkunjung ke sini, mereka bilang, aset masyarakat luar biasa dan ini adalah sebuah kebanggaan. Bank dunia saja mengakui, bank kecil kita enggak,” kata Ketua Serikat Petani Pembaharu di Gunungkidul ini.

Alasan itulah, kini Suratimin bersama komunitasnya sedang merintis bank rakyat yang bisa menerima jaminan kayu. Bank itu dipastikan tidak ada embel-embel bunga.

“Kalau butuh Rp10 juta per orang, misalnya agunannya 20 pohon. Berarti satu orang menyerap uang jutaan rupiah. Kami memang belum mampu, minimal sudah melakukan usaha,” katanya.

Menanamkan pemahaman tentang konservasi hutan tak hanya diterapkan pada orang tua. Justru generasi penerus adalah tonggak masa depan. Oleh karena itu, Suratimin mendirikan sekolah anak tani secara gratis bagi puluhan anak di desa Semoyo.

Seminggu sekali mereka belajar bersama. Mulai dari mengerjakan PR sekolah, latihan soal ujian, membuat pupuk kompos, bikin pakan ternak fermentasi, sampai siaran radio.

Atas semua pengalaman ini, Suratimin memaknai hidupnya dengan sederhana; ingin bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga dan orang lain. Itulah sebabnya ia rela berbagi pikiran, ruang dan waktunya tanpa berharap balasan. Semua aktivitas radio, peternakan dan sekolah anak tani dilakukan di rumahnya. Baginya, hidup harus berbagi, beraksi dan berproses. 

Menyumbang Rumput

Penghijauan yang dirintis Suratimin tak hanya bermanfaat bagi warga sekitar saja. Alam hijau tak sekadar menjadi kantong udara segar tapi juga penyumbang rumput segar.

Pascaerupsi Gunung Merapi meletus, ribuan orang datang memberikan bantuan kemanusiaan. Suratimin, justru datang membawa rumput untuk makanan ternak. Ketika itu evakuasi korban bencana Merapi masih berlangsung.

Ditemani beberapa tetangganya, ia mengangkut rumput dari Salak, Semoyo, Patuk, Gunungkidul. Tujuannya hanya satu, memberikan harapan hidup ternak yang masih bisa diselamatkan.



Selain meluluhlantakan tempat tinggal, ladang dan sawah, bencana Merapi pada Oktober 2010 juga menewaskan banyak orang dan ribuan ternak seperti sapi, kambing dan unggas. “Yang kami punya rumput, ya kami bawakan rumput untuk ternak. Karena pada saat bencana begitu, yang diperhatikan khususnya hanyalah manusia,” kata Suratimin. Di kawasan Semoyo seluas 576,2 hektare, 493,2 hektare diantaranya adalah hutan rakyat. Dan tidak ada sebidang tanah pun yang dibiarkan kosong tanpa penghijauan. 

BIODATA

Nama                   : Suratimin

Lahir           : Gunungkidul, 1 Mei 1966

Istri             : Sutarmi

Anak           : Puput Ratnasari (19) dan Candra Aldi Pamungkas (11)

Pendidikan  : SMEA Budi Dharma Piyungan (1983)

Alamat        : Dusun Salak, Desa Semoyo, Patuk, Gunungkidul

Pengalaman:



– Aktivis lingkungan hidup

– Penyuluh kehutanan swadaya masyarakat di DIY dan sekitarnya

– Perintis dan pengelola desa kawasan konservasi Semoyo (2007-sekarang)

– Pendiri dan pengelola Radio Komunitas Radekka FM (2008-sekarang)

– Pendiri dan guru di Sekolah Anak Tani (2008-sekarang)

– Ketua Serikat Petani Pembaharu Gunungkidul (2004-sekarang)

– Desa Semoyo saat ini (2012) menjadi nominasi katagori perintis lingkungan hidup tingkat Provinsi DIY





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya