SOLOPOS.COM - Foto Ilustrasi Toko Modern JIBI/Harian Jogja/Bisnis Indonesia/Alby Albahi

Foto Ilustrasi Toko Modern
JIBI/Harian Jogja/Bisnis Indonesia/Alby Albahi

JOGJA—Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) DIY menolak upaya menambah toko-toko modern di Kota Jogja. Penolakan itu untuk menanggapi hasil Kajian Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik (PSEKP) Universitas Gadjah Mada (UGM), yang menyebut jumlah toko modern di Kota Jogja memungkinkan ditambah hingga 60 outlet.

Promosi Bukan Mission Impossible, Garuda!

Sekretaris Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) DIY Bambang Subandang tidak setuju  adanya penambahan toko modern di Jogja. “Tidak bertambah saja toko-toko tradisional sudah kalah bersaing, apalagi kalau ditambah. Boleh bertambah asal harus memenuhi prinsip-prinsip ekonomi kerakyatan di mana ada pemerataan ekonomi bagi masyarakat,” jelas Bambang kepada Harian Jogja, Rabu (10/4).

Menurutnya, keberadaan toko-toko modern berbeda dengan kedatangan investor. “Kalau investor itu bisa memberi dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat. Tetapi, toko-toko modern itu bukanlah investor. Yang mereka lakukan memonipoli pasar dan tidak memberi dampak kesejahteraan bagi rakyat,” tegasnya.

Menurut Peneliti PSEKP UGM Amirullah S. Hardi, angka 60 outlet yang diusulkan dari hasil penelitian lembaganya itu didasarkan pada asumsi di mana Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO). Asosiasi menyebut satu outlet toko modern melayani 6.500 penduduk. “Apa betul segitu? Itu memang masih perlu didalami. Jadi, angka tersebut bukan harga mati karena masih diperlukan kajian mendalam,” jelas Amirullah menjawab pertanyaan Harian Jogja.

Dia menyadari, masalah jumlah toko modern sangat sensitif. Satu sisi, bisa menguntungkan para pengusaha dan di sisi lain merugikan toko-toko non modern. Yang harus disadari, sambung Amir, adalah kesiapan masyarakat dan pemerintah untuk menghadapi perkembangan saat ini. “Hasil kajian itu bukan berarti membuka peluang agar toko-toko modern ditambah. Tetapi lebih pada kesiapan semua pihak,” tegas Amri.

Terkait keberadaan pasar tradisional dan toko-toko non modern, Amri berpendapat hal itu tergantung dari sikap dan upaya pemerintah memberikan proteksi dan karakter di masing-masing pasar. Sebab, konsumen cenderung memilih kenyamanan dan keamanan saat bertransaksi.

Sebagaimana diketahui, PSEKP memaparkan hasil kajiannya di depan Komisi B DPRD Jogja. PSRKP menyebut terdapat 19 supemarket dan 33 minimarket yang beroperasi di Jogja. Meski menilai ada kemungkinan menambah outlet toko modern baru, PSEKP berharap lokasi penambahan tetap memerhatikan kondisi spasial di wilayah, zonasi, dan jarak dengan pasar tradisional sesuai Perwal No.79/2010.

Beberapa kecamatan yang tidak direkomendasikan ditambah jumlah toko modern adalah Gondomanan, Gondokusuman, Gedongtengen, Danurejan, dan Mergangsan. Di kecamatan itu, terdapat beberapa pasar tradisional yang berdekatan dengan pasar tradisional lain sehingga penambahan toko modern di  akan menggangu eksistensi pasar tradisional yang ada.

Kepala Disperindagkoptan Jogja Heru Pria Warjaka menegaskan, hasil kajian tidak bisa menjadi peluang membuka kran pembatasan toko jejaring di wilayah Jogja.  “Jangan khawatir, itu bukan upaya  menaikan atau membuka izin toko modern baru. Saya tegaskan lagi, jumlah toko modern berjejaring tetap dibatasi,” katanya. (hamied@harianjogja.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya