SOLOPOS.COM - Ilustrasi (Istimewa)

Tips parenting kali ini tentang tubuh gemuk anak balita. Bisa saja kegemukan itu justru pertanda obesitas.

Solopos.com, JOGJA — Dinas Kesehatan (Dinkes) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengimbau agar orang tua jangan senang apabila melihat balita mereka gemuk. Kondisi tubuh gemuk pada anak balita justru perlu diwaspadai sebagai bentuk kasus gizi lebih, bahkan obesitas.

Promosi BRI Group Buka Pendaftaran Mudik Asyik Bersama BUMN 2024 untuk 6.441 Orang

Kabid Kesehatan Masyarakat Dinkes DIY, Inni Hikmatin mengungkapkan, bahwa kasus obesitas pada anak di DIY tergolong tinggi. “Itu bukti bahwa kita belum pandai memilih makanan yang sehat,” ujarnya kepada Harian Jogja, Jumat (20/3/2015).

Sedangkan Kasi Gizi Bidang Kesehatan Masyarakat Dinkes DIY Endang Pamungkasiwi di kantornya menyatakan bahwa hal tersebut menjadi keperihatinan tersendiri. Karena obesitas dapat berefek pada kecerdasan, daya tahan tubuh.

Ekspedisi Mudik 2024

“Tak hanya itu, bisa berpengaruh pula pada kepercayaan diri anak. Kan anak obesitas kerap menjadi bahan ejekan kawannya,” tutur Endang, di kesempatan yang sama.

Endang menyebutkan jumlah anak obesitas dengan jumlah anak yang diukur di DIY sejak 2010 mengalami tren peningkatan. Pada 2010 ada 2,99 % kasus. 2011 ada 2,55%. 2012 ada 2,83%. 2013 ada 2,9% dan pada 2014 juga ada 2,9% kasus.

Namun, kemudian karena pihaknya menemukan bahwa penyebab obesitas belum ditemukan secara spesifik, maka Dinkes DIY melakukan klarifikasi. Sehingga ditemukan ada 6,44% balita obesitas di DIY pada 2013. Dan 5,84% balita obesitas pada 2014.

Dalam hitungan angka, pada 2013 ada 10.192 balita obesitas di DIY, pada 2014 ada 9.066 balita. Pada 2013 kasus tertinggi balita obesitas ada di Kota Jogja 9,42% dengan jumlah anak 1.370 anak. Gunungkidul 8,11% atau 1.846 anak. Bantul 6,27% atau 2.624 anak. Sedangkan di Sleman 5,69% atau 3.359 anak. Terakhir Kulonprogo 4,95% atau 9,93%.

Pada 2014, Kota Jogja masih menempati urutan tertinggi dengan kasus 8,98% dengan 939 anak obesitas. Di Gunungkidul ada 6,92% atau 1.378 anak. Sleman 5,82% dengan 3.261 anak obesitas. Sedangkan di Bantul ada 5,30% kasus dengan jumlah kasus 2.554 anak. Dan Kulonprogo 4,54% dengan kasus 934 anak.

Urutan kasus dilihat bukan dari jumlah anak yang obesitas di tiap kabupaten atau kota. Melainkan persentase kasus dibanding anak diukur. Alasannya, jumlah anak yang diukur di masing-masing daerah berbeda.

“Gunungkidul memiliki jumlah tinggi pada kasus anak obesitas karena kasus balita pendek di sana cukup tinggi juga, proporsi tinggi badan dengan berat badan tidak proporsional. Gizi masa lalu mereka tidak terlayani dengan optimal,” jelasnya.

Ketika ditanya penyebab obesitas pada anak, Endang menerangkan bahwa ada sejumlah faktor. Beberapa di antaranya pola asuh yang salah, dan kurang tepatnya pemberian Air Susu Ibu (ASI).

Balita yang pada saat bayi diberikan ASI eksklusif, bahkan dimulai sejak inisiasi ASI akan memiliki daya tahan tubuh yang baik ketimbang anak yang diberikan susu formula. Selain itu yang terpenting, kebutuhan gizi mereka akan lebih seimbang.

Karena ASI, secara alamiah dapat menyesuaikan kebutuhan masing-masing dalam tubuh anak. Sementara susu formula, meski sudah diukur takaran vitamin, mineral dan zat lainnya, tidak dapat menyesuaikan dengan kebutuhan masing-masing anak.

Pola asuh lainnya, memberikan anak jenis makanan junk food sebagai bentuk penghargaan kepada anak yang telah melakukan sesuatu, misalnya mengajak anak ke restoran makanan cepat saji sejenis ayam goreng tepung atau burger. Setelah seorang anak bersikap sopan dan patuh.

Padahal bentuk penghargaan dengan langkah tersebut belum tentu benar. Karena kebanyakan menu restoran cepat saji, meski memiliki kandungan protein, namun kandungan lemaknya teramat tinggi, serta tidak memiliki kandungan gizi yang seimbang.

Dalam satu gram ayam goreng tepung, terdapat sembilan kilo kalori, karbohidrat dengan empat kilo kalori dan lima kilo kalori protein. Karena itu, jenis makanan junk food hanya menambah timbunan jaringan lemak pada tubuh anak.
Disebutkan Endang, obesitas sendiri sebenarnya ialah suatu keadaan klinis yang ditandai penimbunan jaringan lemak tubuh, sehingga berat badan anak berada jauh di atas berat badan normal.

Andindya, warga Sleman, mengungkapkan cukup sulit mengurus anak yang masuk kategori obesitas. Putranya yang berusia enam tahun satu bulan, kini memiliki tinggi badan 135 senti meter dengan berat badan 33 kilogram. Padahal beberapa tahun lalu, anaknya sempat memiliki berat badan hingga 70 kilogram.

Butuh waktu sekitar dua tahun untuk menurunkan berat badan buah hatinya yang tergolong amat menyukai ayam goreng tepung [menyebut merk Kentucky Fried Chicken/KFC]. “Dia semangat makan kalau lauknya daging ayam, apalagi kalau ayamnya agak pedas. Kalau Reyhan sedang susah makan, sering dia merengek diajak ke KFC,” kisah Anin.

Ia menambahkan, ketika masih memiliki tubuh gemuk dan padat, Reyhan kadang terlihat kesulitan bernafas. Anin sering mendapat masukan dari ibu-ibu sekitar tempat tinggalnya, kemudian perlahan ia mengurangi konsumsi ayam KFC bagi Reyhan.

“Saya juga coba baca buku, bagaimana cara membuat anak suka sayur. Reyhan kan kurang sayur soalnya, ayam lebih sering kami ganti ikan, awalnya dia menangis, tapi kalau enggak begitu, bahaya kalau terus gendut seperti itu,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya