SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO — Orang tua di era digital dianggap punya beban tekanan finansial lebih besar ketimbang generasi sebelumnya. Paparan referensi yang bertebaran di media sosial dan situs berbagi foto video membuat anak zaman sekarang rentan terpapar konsumerisme.

Hal itu disampaikan pengajar marketing senior di Sheffield Hallam University Emily Moorlock. “Kini banyak anak-anak sampai remaja ingin barang bermerek dibawa ke sekolah; mulai dari sepatu, tas, ponsel, sampai bekal makan siang,” katanya seperti dilansir Theconversation.com, belum lama ini.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Menurut dia, konsumerisme sejatinya bagian intrinsik dari diri manusia. Namun bagi anak-anak, terutama remaja, memiliki beberapa barang menjadi simbol identitas mereka. Bagi kalangan anak sekolahan tersebut, merek merupakan preferensi sebayanya dalam memberikan penilaian.

Dalam sebuah riset, ungkap Emily Moorlock, konsumerisme jamak menimbulkan rasa cemas dan merasa tidak aman. Terlebih bagi anak baru gede di mana terjadi perubahan signifikan fisik dan emosional.

“Merek digunakan untuk menempa transisi identitas di masa penuh gejolak,” terangnya.

Anak-anak kerap merasa bahagia ketika mengonsumsi barang bermerek yang dianggap benar berdasarkan persetujuan sebayanya. Padahal konsumerisme berkorelasi negatif dengan kepuasan hidup.

Penelitiannya menyebut ada kelompok anak merasa terintimidasi di sekolah ketika mereka tidak menggunakan merek yang sama dengan sebayanya. Termasuk menggunakan barang dengan harga yang dianggap lebih murah ketimbang yang dipakai anak kebanyakan.

“Persetujuan sebaya yang terus-menerus ini memengaruhi harga diri anak. Situasi yang berkembang sekarang anak jadi perhatian pada materi dan status sosial ketimbang pertumbuhan kepribadian dan relasi sosial. Ini yang kemudian membuat anak zaman sekarang, terutama perempuan, gampang cemas,” tambah dia.

Emily Moorlock menyebut media sosial dan situs berbagi foto dan video belakangan memperburuk kondisi konsumtif di atas. Internet memungkinkan influencer daring secara terus-menerus memperkenalkan produk baru lewat ulasannya. Media sosial juga konsisten membuat perbandingan sosial.

Di lokasi risetnya di Inggris, terdapat lebih dari empat juta anak hidup dalam kemiskinan. Penelitiannya menunjukkan korban konsumerisme pada anak lebih besar kalangan keluarga berpenghasilan rendah.

“Anak baru gede bisa lebih rentan terhadap pengaruh teman sebaya. Mereka menggunakan merek untuk meniru citra teman lebih kaya, agar terhindar kelihatan miskin. Ini membantu mereka mencapai dan mempertahankan penerimaan sosial, sambil mengurangi perasaan ketidakmampuan dan kecemasan pribadi,” beber dia.

Kidshealth.org menyebut tekanan sebaya sebenarnya bisa dihindari. Kendati tidak mudah bagi anak-anak untuk berkata “tidak” ketika sebaya di sekelilingnya melakoni hal serupa. Namun anak-anak bisa punya sikap sesuai kata hatinya ketika mereka dibekali pemahaman dan kepercayaan diri cukup dari rumah.

Selain meminimalkan paparan referensi konsumerisme berlebihan dari video, foto, atau media sosial; kontrol positif anak juga terletak pada pemilihan teman yang bijak. Ketika lingkungan sekitarnya positif, anak cenderung berlaku positif. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya