Kolom Jogja
Senin, 12 Juli 2010 - 08:34 WIB

Tindak tegas organisasi brutal

Redaksi Solopos.com  /  Budi Cahyono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Kali ini kita akan mem bahas mengenai aksi kebrutalan yang dilakukan organisasi yang lekat dengan kekerasan, Front Pembela Islam (FPI). Kita akan mencermati juga sikap negara terhadap aksi kebrutalan ini. Untuk mengupas persoalan ini kami mewawancarai Managing Director Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) Donny Ardyanto.

Menurut Donny, kalau ada sebuah organisasi yang jelas-jelas melakukan kekerasan terhadap warga negara lainnya, maka harus dibekukan atau dibubarkan. Pembubaran ini tidak serta merta dilakukan sepihak oleh negara, tapi melalui prosedur hukum di pengadilan. Berikut wawancara dengan Donny Ardyanto.

Advertisement

Seperti kita ketahui insiden penyerangan dan pembubaran yang dilakukan FPI atas kegiatan kemanusiaan di Banyuwangi, Jawa Timur beberapa waktu lalu terus mendapatkan kecaman dan juga kritikan. Bagaimana sikap P2D mengenai hal tersebut?
Kita sudah berkali-kali menuntut satu tindakan tegas dari aparat hukum terhadap mereka, baik yang berseragam FPI atau bukan, pokoknya yang melakukan kekerasan terhadap warga negara lain. Namun di sisi lain kita melihat selama ini sangat minim peran negara. Di sini Presiden berkali-kali menyampaikan soal ide pluralisme, dan pidato dia di Harvard University membangga-bangakan Indonesia bisa mempertahankan pluralisme.

Di tingkat praktek membiarkan saja. FPI sering mengatakan, tindakan itu dilakukan karena mungkin ada semacam ketidakpercayaan terhadap institusi penegak hukum. Bagaimana tanggapan Anda?
Hampir semua orang memang dalam kondisi yang distrust (tidak percaya) terhadap lembaga hukum, tapi mengapa tidak semua orang kemudian main hakim sendiri. Artinya, ada yang salah dengan yang dilakukan FPI. Saya mengambil perbandingan dengan gerakan-gerakan antinarkoba. Misalnya, Gerakan Nasional Anti Narkotika (GRANAT) tidak melakukan aksi sepihak untuk memberantas narkoba seperti menggebuki para pengguna narkoba.

Lembaga Anda, P2D, menggelar konferensi pers meminta FPI ditindak secara tegas. Bagaimana persisnya dan seperti apa tindakannya?
Ada dua opsi yang kita sampaikan di situ yaitu pembekuan atau pembubaran. Cuma memang tidak serta-merta secara sepihak dilakukan pemerintah karena itu juga ada pelanggaran HAM di dalamnya. Namun terkadang ada mekanisme legal di situ. FPI tetap harus diberi kesempatan membela diri apakah itu memang kerja organisasinya, atau itu memang seperti banyak dikatakan orang bukan FPI atau hanya oknum di FPI. Sekali lagi, itu hanya bisa dibuktikan lewat mekanisme hukum di pengadilan. FPI percaya hukum yang mereka gunakan berada di atas hukum positif negara, sehingga nilai-nilai privat ingin mereka desakkan pada penataan ruang publik.

Advertisement

Bagaimana seharusnya kita meletakkan urusan privat ini dalam konteks Indonesia yang plural?
Kita memang sedang mencoba memahami apa itu Hak Asasi Manusia (HAM) dan turunan-turunannya. Salah satunya adalah bagaimana membedakan privat dan publik. Dalam situasi seperti ini sebenarnya negara telah meratifikasi hak asasi pemilihan politik. Di situ sudah jelas mana yang privat dan publik. Itu saja yang dipakai negara.

Pemerintah seperti pasif menyikapi kebrutalan seperti ini, bukankah kita bisa melihat ini merupakan kejahatan ke manusiaan, katakanlah violence by omis sion?
Perdebatan soal HAM selama ini bukan pada apa yang dilakukan FPI, tapi lebih kepada ketika negara tidak melakukan apapun terhadap apa yang dilakukan FPI, maupun bentuk tindakan lain yang melanggar hakhak individu warga negara lainnya. Misalnya, kita bisa mengatakan polisi Banyuwangi juga melakukan pelanggaran HAM karena membiarkan apa yang terjadi kemarin.

Lembaga Anda secara tegas mendesak pemerintah membubarkan FPI, apakah tidak takut dianggap anti demokrasi dan melanggar HAM, padahal P2D ber kecimpung dalam pendidikan demokrasi?
Kalau ada sebuah organisasi yang jelasjelas melakukan tindak kriminal tapi kemudian tidak boleh dibubarkan, menurut saya ada yang salah di situ. Pembubaran tidak serta merta dilakukan secara sepihak oleh negara. Ada beberapa prosedur hukum yang harus dilakukan, tapi tentunya murni harus dimulai dari inisiatif negara, di samping tuntutan kita untuk melakukan tuntutan hukum terhadap orang-orangnya.

Advertisement

Bagaimana seharusnya publik menyikapi ini?
Saya rasa publik sudah cukup cerdas secara reaksioner tidak mendukung. Yang harus dilakukan publik adalah belajar, walaupun kita memiliki negara yang masih belum selesai proses reformasinya. Dalam konteks ini kita belum memiliki aparat hukum yang berjalan dengan baik. Kita juga belum sampai pada tahap berdemokrasi dengan baik dan benar.

Apa yang ingin Anda desakkan pada pemerintah, sehingga ke depan etika kehidupan bernegara bisa lebih ditegakkan?
Saya rasa yang akan panjang dan dapat dilakukan adalah masih dalam proses mempertegas bahwa kita ini negara hukum, kita negara demokrasi, mana wilayah privat, mana wilayah publik. Di situ peran negara bukan soal mengadopsi aturan atau perangkat hukumnya, tapi juga ditunjukkan dalam praktek inilah wilayah publik, inilah wilayah privat. Jadi masyarakat bisa cepat belajar bagaimana berdemokrasi, menghargai orang lain, hidup dalam satu komunitas yang memang secara faktual adalah plural.

Advertisement
Kata Kunci :
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif