SOLOPOS.COM - Objek wisata Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah. (Jatengprov.go.id)

Solopos.com, MAGELANG — Wacana pemberlakuan tiket naik ke Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, yang dipatok seharga Rp750.000 bagi turis lokal menuai kontroversi. Pengamat sejarah Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Tjahjono Raharjo, merespons keras kenaikan harga tiket naik ke kawasan wisata Candi Borobudur.

Dia menganggap peraturan tersebut konyol dan tidak masuk akal mengingat ada umat Buddha yang berkepentingan untuk melaksanakan ibadah di kawasan candi. Menurutnya, jika harga tiket itu dipukul rata kepada semua kalangan, maka hal itu dirasa tidak adil bagi umat Buddha yang hendak beribadah.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Meski begitu, Tjahjono Raharjo setuju dengan rencana pembatasan pengunjung Candi Borobudur. Pasalnya candi ini merupakan bangunan cagar budaya sekaligus situs warisan dunia yang harus diperlakukan dengan hati-hati.

“Kriterianya adalah bayar Rp750.000 menurut saya itu kriteria konyol. Jadi asal punya duit. Sementara sekarang misalnya orang Buddhis masak mau naik ke Borobudur untuk melakukan ritual keagamaan apakah harus membayar Rp750.000,“ujarnya saat dihubungi Solopos.com, Selasa (7/6/2022).

Bagi dia, pembatasan pengunjung sangat diperlukan mengingat usia Candi Borobudur lebih dari 1.000 tahun. Maka dari itu, perlakuannya benar-benar hati-hati serta mengingat bagi umat Buddha, yang mempercayai Candi Borobudur sebagai tempat sakral sehingga tidak boleh diperlakukan sembarangan.

Baca juga: Harga Tiket Naik, Biksu: Sampai Mati Umat Tak Bisa Ibadah di Borobudur

Miskomunikasi

Tjahjono menilai kenaikan tiket seharga Rp750.000 ini memperlihatkan ada masalah dalam komunikasi antar pembuat kebijakan. Oleh sebab itu, narasi yang muncul di masyarakat adalah tarif masuk Borobudur sebesar Rp750.000 bagi wisatawan lokal.

“Problemnya sebenarnya melestarikan dengan membatasi, perkara caranya bagaimana. Terus terang kalau bagi saya, tidak terlalu pas kalau dengan memberi harga Rp750.000 yang menjadi sorotan orang itu,“ ucapnya.

Iia meminta peraturan tersebut agar diterapkan secara jelas, tegas, dan ditegakkan benar. “Siapa saja yang boleh naik ke atas candi Borobudur itu ada kriterianya dengan jelas, “tegasnya.

Lebih jauh, Tjahjono menerangkan permasalahan soal tambahan ongkos tidak hanya di Candi Borobudur. Melainkan, tempat lain seperti Taj Mahal pun menerapkan. Bedanya, kata dia, tempat ini tidak mematok besaran nominal yang terlalu fantastis.

“Misalnya di Taj Mahal kalau kita mau masuk ada ongkos tambahan, tapi ongkosnya tidak fantastis seperti itu, “jelasnya.

Baca juga: Mitos Pegang Patung di Candi Borobudur Dapat Berkah, Ternyata Bohongan!

Tjahjono Raharjo mengungkapkan jika kriterianya yang boleh naik hanya perkara duit itu tidak masuk akal. Pasalnya, jika ada seorang arkeolog hendak penelitian apa perlu mengeluarkan duit 750 ribu.

“Bagi saya arkeolog, ahli arsitektur klasik Indonesia mau mengadakan penelitian apakah harus mengeluarkan duit Rp750.000. Sementara orang-orang mungkin karena kelebihan uang kepengin selfie, di situ bayar Rp750.000. Selfie-selfie aja dia bisa aja berlaku seenaknya toh saya sudah bayar kan bisa gitu,“ katanya.

Baca juga: Heboh Tarif Candi Borobudur Rp750.000, Sandiaga Uno Buka Suara

Ia juga mencotohkan kembali tempat-tempat yang berbayar, namun tetap ada pembatasan pengunjung.

“Banyak sekali. Saya contohkan tempat yang pernah saya kunjungi saja. Misalnya di Brumos Istanbul itu masjidnya masih dipakai jadi masih tetap tempat ibadah, turis boleh mengunjungi tapi ada batas. Kalau itu jelas, enggak ada kalau saya bayar saya bisa masuk, kalau dilarang ya dilarang, Brumos Istanbul, “imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya