SOLOPOS.COM - Rohmah Ermawati (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Hampir sepekan setelah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) ditetapkan pemerintah, Sabtu (3/9/2022), Citra baru merasakan imbasnya secara langsung. Pada Jumat (9/9/2022), ibu dua anak itu mengeluarkan Rp33.000 untuk mengisi penuh tangki sepeda motornya dengan Pertalite.

Sebelumnya, paling banter ia membayar Rp27.000 untuk mengisi Pertalite full tank dari posisi indikator tangki BBM yang sudah berkedip-kedip. Dalam sepekan, rata-rata ia dua kali mampir stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) demi memenuhi kebutuhan BBM sepeda motor keluaran 2007 yang ia gunakan untuk wira-wiri.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Beberapa hari terakhir, media massa di Indonesia, baik online maupun offline, marak memberitakan dampak kenaikan harga BBM. Keluhan muncul dari berbagai kalangan, mulai penyedia jasa transportasi umum, buruh, pelaku usaha, hingga ibu rumah tangga. Mereka terimbas kenaikan harga BBM.

Para sopir angkutan umum perkotaan dan perdesaan di Kabupaten Sragen dan Kabupaten Karanganyar menjerit karena biaya operasional naik, sedangkan mereka tak bisa semena-mena menaikkan tarif penumpang.

Jumlah penumpang sehari-hari tak terlalu banyak, mayoritas para bakul pasar. Kondisi serupa terjadi di kalangan para buruh yang upah mereka belum tentu naik, tapi harus menanggung kenaikan harga aneka bahan kebutuhan akibat kenaikan harga BBM.

Para buruh juga dibayangi ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK), apalagi ketika perusahaan tempat mereka bekerja terdampak kenaikan harga BBM. Dampak kenaikan harga BBM bersifat universal, dirasakan semua sektor dan skala usaha.

Meskipun tidak berpengaruh secara langsung pada komponen biaya transportasi, hampir semua pelaku usaha akan terkena dampak dari sisi penyesuaian atau penurunan daya beli masyarakat. Pengumuman kenaikan harga BBM pada Sabtu (3/9/2022) lalu terbilang mendadak.

Pengumuman disampaikan pada pukul 13.30 WIB dan berlaku satu jam kemudian. Harga Pertalite naik dari Rp7.650 menjadi Rp10.000 per liter, harga Pertamax naik dari Rp12.500 menjadi Rp14.500 per liter, dan harga solar bersubsidi naik dari Rp5.150 menjadi Rp6.800 per liter.

Pakar kebijakan publik Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, berpandepat dari berbagai dampak yang muncul, kenaikan harga pangan akan menjadi beban besar masyarakat. Saat ini masyarakat yang mulai terlepas dari dampak pandemi Covid-19 tidak siap dengan berbagai kenaikan harga tersebut.

Berhemat Ketat

Achmad mengibaratkan masyarakat Indonesia sudah jatuh lalu tertimpa tangga. Kenaikan harga BBM itu problematis. Dalam beberapa waktu terakhir harga minyak global turun. Pemerintah malah menggunakan APBN untuk proyek mercusuar seperti ibu kota baru negara dan kereta cepat.

Dampak kenaikan harga BBM memicu aksi unjuk rasa menolak kenaikan harga BBM, termasuk di Soloraya, pekan ini. Para mahasiswa dan elemen masyarakat bergerak menyuarakan aspirasi agar pemerintah mengevaluasi kenaikan harga BBM. Sejauh ini belum ada respons dari pemerintah atas tuntutan itu.

Kenaikan harga pangan serta kebutuhan pokok lainnya menjadikan ibu rumah tangga paling terbebani. Sehari-hari para ibu, khususnya yang masuk kalangan menengah ke bawah, harus memutar otak untuk mengirit pengeluaran karena perekonomian baru bangkit sejak pandemi Covid-19.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beberapa waktu lalu mengatakan pemerintah akan memberikan tiga bantalan sosial sebagai bentuk pengalihan subsidi BBM senilai Rp24,17 triliun. Kebijakan itu untuk menjaga daya beli masyarakat yang terdampak lonjakan harga yang terjadi secara global.

Bantalan sosial tambahan ini akan diberikan kepada 20,65 juta keluarga penerima manfaat dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT) pengalihan subsidi BBM senilai Rp12,4 triliun. Presiden Jokowi juga menginstruksikan membantu 16 juta pekerja yang memiliki gaji maksimum Rp3,5 juta per bulan melalui bantuan subsidi upah Rp600.000 dengan total anggaran Rp9,6 triliun.

Tentu tak semua masyarakat menerima bantuan itu. Bagi ibu rumah tangga seperti Citra, yang bukan termasuk penerima bantuan langsung tunai, tak ada pilihan selain menyiasati pengeluaran agar rumah tangganya tak terlalu terdampak kenaikan harga BBM.

Mengirit dan mengurangi pemenuhan kebutuhan yang tak mendesak dia lakoni demi menjaga perekonomian keluarganya agar tak oleng. Alih-alih turut serta dalam aksi unjuk rasa, Citra berupaya mengurangi pengeluaran konsumtif dengan melatih diri membiasakan berhemat.

Mengurangi jajan di luar rumah dan membiasakan memasak sendiri bisa menghemat uang dengan nilai lumayan. Upaya lainnya dengan memaksimalkan jumlah penumpang dalam satu kendaraan.

Menggunakan moda transportasi non-BBM, misalnya sewaktu-waktu bersepeda atau berjalan kaki, juga bisa diterapkan untuk mengurangi pengeluaran. Selain hemat, tubuh juga menjadi lebih sehat. Rakyat memang harus kaya siasat.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 10 September 2022. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya