SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Sabtu (25/5/2019). Esai ini karya Lardianto Budhi, guru tidak tetap mata pelajaran Pendidikan Seni dan Budaya di SMAN 1 Sologohimo, Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah. Alamat e-mail penulis adalah s.p.pandamdriyo@gmail.com.

Solopos.com, SOLO — Orang bicara dan bersikap berbeda pada situasi dan posisi yang berbeda itu biasa. Saat menjadi oposisi selalu melancarkan kritik pedas kepada penguasa. Setelah akhirnya mendapat posisi dan menjadi bagian dari kekuasaan, ia cenderung mengambil sikap yang lain, tensi kritik melemah dan lama-lama bahkan sama sekali mandul.

Promosi Kanker Bukan (Selalu) Lonceng Kematian

Saya masih ingat seorang teman kuliah yang dulu selama bertahun-tahun biasa makan di warung hik. ”Apa sih makanan itu? Kan sekadar agar perut tidak kosong,” kata dia. Begitulah cara kami bertahan sebagai ”mahasiswa darurat ekonomi” untuk bertarung melawan keterbatasan dan kemiskinan.

Setelah kami sama-sama lulus dan beberapa tahun kemudian bertemu, ia tampak berbeda. Cara berpakaian, gestur, hingga pilihan kata dalam mengartikulasikan pendapat telah berubah. Iseng-iseng saya menawarkan kepada dia beromantisme dengan masa lalu dengan makan lesehan di warung hik di belakang kampus.

Respons dia di luar dugaan saya,”Masak di tempat seperti itu terus. Sesekali ke tempat yang lebih beradab gitulah,” begitu ujar dia. Saya berpikir wajarlah, hidup memang harus fleksibel, harus luwes. Nut jaman kelakone.

Setiap orang harus peka terhadap perkembangan yang terjadi terhadap keadaan di sekelilingnya, termasuk pada apa yang dialami. Manusia dituntut bisa mewawas diri dan melihat diri dengan saksama agar dengan begitu ia akan mengambil sikap secara tepat terhadap segala sesuatu.

Posisi, Reaksi, dan Solusi

Posisi menentukan reaksi. Situasi menentukan solusi. Bila Anda seorang demonstran, jangan berharap polisi akan membiarkan Anda berulah sesuka hati meskipun tuntuntan Anda mengatasnamakan sekelompok masyarakat tertentu.

Apakah ini artinya polisi anti terhadap keadilan dan tidak berpihak kepada rakyat? Bukan seperti itu maknanya. Tugas sebagai aparat keamanan menempatkan polisi untuk tidak berada bersama-sama dengan barisan para demonstran yang menuntut sesuatu kepada pemerintah.

Polisi adalah aparat negara. Tugas polisi memastikan keamanan dan ketertiban. Kalau Anda suatu hari ikut demonstrasi, jangan mencaci maki dan membenci polisi ketika Anda menganggap mereka tidak mendukung apa yang Anda inginkan.

Percayalah, jika pada keadaan yang sama seperti itu Anda menjadi polisi, pasti Anda tidak akan bertindak sebagaimana Anda berlaku sebagai seorang demonstran. Setiap orang lazimnya akan bertindak, mengambil keputusan dan sikap untuk menomorsatukan keamanan diri sendiri dan syukur jika menguntungkan.

Baru-baru ini berembus kabar menggembirakan di kalangan pegawai negeri sipil (PNS) menyangkut bakal dicairkannya tunjangan hari raya (THR) bersamaan dengan gaji ke-13 pada 24 Mei. Berita seperti ini menjadi berita yang sangat ditunggu-tunggu para PNS di seluruh pelosok negeri ini.

Seolah-olah menjadi tradisi masyarakat kita bahwa memasuki Ramadan hingga hari raya Idulfitri, tingkat konsumsi masyarakat kita biasanya meningkat pesat. Banyak seremonial di tengah masyarakat yang butuh biaya lebih, misalnya baju baru, persediaan makanan, kebiasaan member uang saku, biaya transportasi selama halalbihalal, dan lain sebagainya.

Kontroversi tentang Muatan Politis

Oleh karena itu, kabar pemberian gaji ke-13 dan THR untuk para PNS seperti oase di padang pasir, terasa sejuk dan menyegarkan. Terlepas dari kontroversi yang mengemuka dari beberapa pihak yang menengarai ada muatan politis dalam kebijakan ini, bagi para PNS berita ini adalah angin segar.

Para PNS merasa berhak mendapat perhatian lebih dari pemerintah atas kinerja dan darma bakti selama setahun bekerja di berbagai instansi tempat mereka bekerja. Meskipun pemerintah telah memberikan tunjangan penghasilan lain, misalnya tunjangan sertifikasi untuk para guru, THR dan gaji ke-13 tetap menjadi harapan para PNS untuk melewati hari Lebaran dengan keamanan finansial yang memadai.

Guru berstatus PNS boleh bernapas lega dengan kabar tersebut, namun tidak demikian dengan guru non-PNS atau guru honorer atau guru tidak tetap. Menurut kabar yang beredar, pemberian tunjangan atau gaji ke-13 dan THR itu hanya diberikan untuk PNS nonstruktural pusat dan daerah, anggota TNI, anggota Polri, dan pensiunan.

Guru non-PNS tidak termasuk meskipun bekerja pada instansi sekolah pemerintah. Walaupun para guru honorer dan guru tidak tetap itu telah bekerja puluhan tahun, tetap saja itu tidak menjadi pertimbangan dikeluarkannya aturan atau kebijakan tertentu untuk pemberian THR.

Tidak bisa dimungkiri hal ini sering menimbulkan rasa ”tidak enak” di antara guru berstatus PNS dan non-PNS mengingat tanggung jawab dan kewajiban antara guru PNS dan guru non-PNS boleh dibilang tidak jauh berbeda, kalau tidak mau dibilang sama dan sepadan.

Bukan hal yang aneh bila menjelang hari raya ada pemandangan yang kontradiktif antara guru PNS dan non-PNS, yakni di satu pihak terlihat berbinar ceria, sementara di pihak lain tampak kikuk dan bermuka masam.

Guru Non-PNS Berada di Posisi Lemah

Ini masalah klasik sebenarnya karena selalu berulang dan berulang dari tahun ke tahun. Guru non-PNS berada pada posisi yang lemah (atau dilemahkan?) untuk–misalnya–menuntut THR. Di samping terlihat lucu dan ”saru”, sepertinya keberadaan guru non-PNS sejak dahulu tidak memiliki daya tawar yang memadai pada persoalan penghasilan.

Guru non-PNS di beberapa sekolahan negeri biasanya mendapat belas kasihan dari guru PNS berupa beberapa rupiah sebagai semacam tali asih atau bukti solidaritas sosial sesama guru. Hal seperti ini barangkali bisa diapresiasi sebagai suatu hal yang mulia meskipun dalam skala dan takaran tertentu bisa juga justru malah menimbulkan perasaan subordinatif.

Mungkin tidak semua guru PNS memberi dengan rasa ikhlas. Para guru PNS bisa saja bersikap masa bodoh dengan para guru non-PNS karena toh pemberian gaji ke-13 dan THR itu merupakan sebuah kepantasan untuk mereka tanpa harus merasa berkewajiban untuk tepa selira terhadap guru non-PNS rekan sejawat di tempat kerja.



Sebaliknya, guru non-PNS tidak boleh merasa iri dengan rezeki guru PNS karena memang secara formal pemberian THR dan gaji ke-13 itu jelas tersurat hanya untuk para PNS. Guru non-PNS tidak punya kekuatan untuk protes kepada pemerintah atas kebijakan itu.

Guru non-PNS hanya punya sedikit pilihan, yakni terus bekerja dengan selalu mempertebal rasa pengabdian dan keikhlasan atau keluar dari pekerjaan karena toh masih banyak orang yang mengantre untuk mengenakan seragam pegawai pemerintah.

Memang begitulah sewajarnya, setiap pihak akan mengambil sikap berbeda pada situasi dan keadaan yang berbeda, kecuali masih ada empati dan penghayatan terhadap rasa kemanusiaan yang adil dan beradab.   

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya