SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Tamu Perspektif Baru kali ini seorang yang sangat positif dan cerah. Namanya Marina. Dia seorang penyuka perjalanan (traveller) yang telah menulis buku dan kini sudah diluncurkan. Bukunya mengenai sebuah perjalanan mencari makna hidup.

Marina telah pergi ke puluhan kota di dunia untuk bertualang dan mencari pengalaman spiritual. Dia ber pan dangan semua orang memiliki spiritual outlook. Menurut Marina perjalanan mencari pengalaman spiritual bukan berarti berguru atau meditasi, tapi lebih kepada berbicara dengan orang-orang. Dengan sopir taksi, sesama traveller untuk berbicara soal kebijaksanaan hidup.

Promosi Isra Mikraj, Mukjizat Nabi yang Tak Dipercayai Kaum Empiris Sekuler

Jadi makna sebetulnya adalah tidak usah jalan ke mana-mana untuk mencari surga di bumi karena sebetulnya makna ada di kita sendiri. Berikut wawancara WimarWitoelar dengan Marina S. Kusumawardhani.

Apa nama buku yang Anda tulis dan mengenai apa?
Judul bukunya “Jingga”, mengenai “Perjalanan ke India dan Thailand Mencari Surga di Bumi”. Sebenarnya dari judulnya dapat ditebak buku tersebut mengenai perjalanan, tapi mungkin genre-nya lebih ke perjalanan spiritual karena memang tujuannya ke India dan Thailand. Jadi lebih ke perjalanan mencari makna atau jati diri. Sepertinya berbeda-beda. Misalnya untuk ke India dan Thailand, jika kita bertemu dengan turis atau backpacker (adalah seseorang yang melakukan perjalanan ke suatu tempat hanya membawa tas punggung berisi pakaian dan perlengkapan lain secukupnya) dari Barat yang pergi ke India sebenarnya kebanyakan dari mereka sudah atau memang ingin mencari makna dari awalnya. Seperti kita sudah ketahui di novel Eat Pray Love oleh Elizabeth Gilbert, mereka pergi ke negeri-negeri di Timur memang untuk mencari makna. Tapi, kalau kasus saya pergi ke India lebih untuk ingin tahu saja di sana ada apa dan waktu itu saya berumur 19 tahun, sedangkan sekarang 26 tahun.

Ekspedisi Mudik 2024

Apakah saat Anda travel atas prakarsa dan biaya sendiri, yaitu ke India dan Thailand sudah dengan suatu tujuan untuk mencari pengalaman spiritual, jadi sewaktu di rumah sudah punya spiritual outlook?
Saya pikir semua orang punya itu. Contohnya mengenai keindahan. Semua orang tertarik pada keindahan, dan ketertarikan kepada keindahan sebetulnya menunjukkan semua orang juga memiliki spiritual in a sense.

Kalau begitu sebetulnya tidak usah ke India, ke Ciwidey juga bisa?
Betul. Kenapa India? Di sana lebih kuat mengekspresikannya. Di buku saya, saya terinspirasi oleh band “Khula Shaker” yang terkenal dengan Govinda Jaya-Jaya. Mereka seperti band Inggris dulu, The Beatles.

Apakah perjalanan spiritual itu artinya di sana berguru atau meditasi?
Lebih berbicara dengan orang-orang yang ditemui di sana. Berbicara dengan sopir taksi, sesama traveller. Kita berbicara soal kebijaksanaan hidup. Saya dengar dari teman saya yang ke India. Dia datang ke satu tempat bersama beratus orang lainnya. Di sana ada orang berjenggot memberikan ceramah, hipnotis, dan lain-lain.

Apakah yang Anda lakukan tidak seperti itu?
Oh tidak, tidak. Saya sempat bertemu dengan His Holiness Dalai Lama dalam konteks bukan untuk berguru, tapi hanya untuk mengobrol dan berfoto saja. Saya adalah seorang mahasiswi teknik industri, dan sewaktu buku itu ditulis saya berusia 19 tahun. Saya nobody untuk hal spiritualitas.

Apakah Anda pernah berdakwah di Bandung?
Tidak pernah. Seperti tadi saya katakan, pertanyaan mendasar adalah seperti apa sebetulnya makna ada di sini. Dalam hal ini saya yakin bukan hanya masuk ke industri saja untuk bisa menghasilkan uang, dan sebagainya. Itu juga soal perpisahan, konflik antar golongan, agama, ras. Jadi itu alasan yang mendasari saya dalam buku ini.

Kalau Anda punya bantuan untuk travel dua minggu untuk kemana saja, apakah memilih pergi ke Thailand, India atau negara lain?
Back to India. Tertarik sih melihat negara lain, tapi India is the best untuk backpacking.

Apa yang memudahkan backpacking?
Sebetulnya kalau saya pergi ke India merasa seperti ke negara lain, beda sekali. Sebelum buku ini saya pernah ke Eropa selama enam bulan hanya dengan US$1.000. Saya ke Eropa dengan backpacking juga. Dari ke-45 kota di Eropa, bagi saya tetap India is the best untuk backpacking. Di India saya tinggal selama tujuh minggu dan Thailand tujuh minggu, tidak ada handphone, blackberry, dan lain-lain hanya Internet saja.

Bagaimana dengan kesehatan, apa yang harus diwaspadai kalau mau travel sendirian?
Tergantung negaranya. Kalau mau ke India, banyak sekali orang yang ke sana dan mengalami diare. Terjadi juga pada saya. Saya diare hanya karena minum air putih dari restoran. Di India harus higienis, jangan minum air di restoran. Kalau di Eropa minum air dari kran saja aman.

Berapa Anda membawa uang ke India?
Sewaktu ke India saya hanya membawa uang US$300, dan hanya menghabiskan US$200-an untuk seluruh perjalanan. Itu karena biaya hidup di sana murah. Jumlah biaya tersebut sudah termasuk tinggal di hotel dan makan juga. Contohnya, sewaktu naik bis dari Kashmir ke Ladakh hanya menghabiskan Rp60.000 kalau nilai uangnya kita konversikan. Memang surga di bumi di sana. Jadi itulah backpacker, the power of kepepet.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya