SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Semenjak rencana ASEAN-China Free Trade Agreement (AC-FTA) berlaku di tahun 2010, banyak pengusaha lokal menjerit karena kelabakan menghadapi serbuan barang murah made in China. Banyak pengusaha yang khawatir akan bangkrut karena kalah bersaing. Banyak pihak yang menginginkan bahwa kesepakatan itu sebaiknya diundur lagi dalam beberapa periode ke depan, terutama agar semua pemain lokal dan pemerintah siap mengadapinya.

Bahkan tidak sedikit pengusaha yang bergerak di bidang elektronik mengusulkan kepada pemerintah untuk membatalkan perjanjian AC-FTA, jika ingin melindungi industri dalam negeri (domestik). Apa benar begitu? Padahal, seingat penulis, sejak 2002 lalu, persoalan ini sudah digembar-gemborkan banyak pihak. Namun, kita nampaknya tetap terlena dengan kondisi nyaman yang tengah berlangsung. Semua pihak tidak pernah beranjak untuk benar-benar siap menghadapi tantangan yang ada di depan mata.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pemerintah, para pelaku sektor riil, dan para pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya seolah tidak pernah mempersiapkan diri, padahal keadaan seperti ini sudah didengar jauh hari. Kita semua seolah tidak pernah mengantisipasinya. Apa benar demikian kondisinya? Apakah kita harus terus melakukan praktik proteksionis dengan menerapkan segala macam hambatan dan rintangan, demi melindungi produk dalam negeri? Kalau itu dilakukan, jangan-jangan China juga membalas dengan lebih memproteksi barang Indonesia. Kalau demikian jadinya, kondisi neraca perdagangan kita (dengan China) bisa kacau balau.

Liberalisasi & globalisasi
Liberalisasi pasar adalah sebuah keniscayaan sebagai dampak dari globalisasi perdagangan. Produk sebuah negara, kini tidak hanya menjadi milik negara yang bersangkutan, namun sudah menjadi milik dunia. Produk China misalnya, jauh hari sebelum berlakunya AC-FTA 2010 ini, sudah membanjiri seantero pasar domestik. Tidak semua produk China berhasil dalam menembus barikade produk dunia. Sebut saja keberadaan motor China yang murah meriah, ternyata kandas di tengah jalan. Keberadaannya kalah bersaing dengan motor produk Jepang seperti Honda, Yamaha, Suzuki dan Kawasaki.

Kendati dijual dengan harga sangat miring alias murah  meriah, dengan model yang mirip (menyontek) produk yang sudah ada, namun produk motor China ternyata sama sekali dinafikan dan dianggap sepi oleh masyarakat Indonesia. Pusat-pusat penjualan motor China kini sangat sepi, dan banyak dealer yang bangkrut.

Fenomena ini memang tidak bisa disalahkan 100% kepada produk itu sendiri, namun karena banyak para dealer yang tidak memiliki mental seorang industriawan, namun hanya kelas pedagang, sehingga tidak pernah memikirkan layanan purna jualnya. Padahal, produk motor sangat sarat dengan layanan purna jual dalam bentuk layanan jasa service dan suku cadang (spare part).

Produk China lain yang sangat beragam jenisnya, juga sudah juga membanjiri pasar domestik bahkan pasar tradisional jauh sebelum era pemberlakuan ACFTA ini. Berbagai peralatan penunjang komputer dan produk elektronika, mainan anak-anak dari yang sederhana hingga yang canggih, produk rumah tangga dan barang kebutuhan lainnya, sudah banyak membanjiri pasar domestik.

Oleh sebab itu, perang AC-FTA sebenarnya sudah dimulai jauh tahun (bukan sekadar jauh hari) sebelum 2010. Itu artinya, kita semua sebenarnya sudah dikondisikan untuk siap bersaing dengan produk dari China itu.

Nah, kalau kemudian dalam memasuki 2010, yang sudah dicanangkan sebagai tahun pemberlakuan AC-FTA, para pengusaha domestik berteriak lantang meminta agar pemerintah menunda pemberlakukan AC-FTA, kondisinya sangatlah tragis. Para pelaku sektor riil, seolah ingin dianakemaskan terus menerus. Kalau itu yang terjadi, maka kita akan selamanya menjadi jago kandang, tidak pernah berani berkompetisi face to face dengan kompetitor lainnya. Jelas, kondisi semacam ini tidak menyehatkan sama sekali. Sampai kapanpun kita tidak akan pernah siap mengadapi pasar bebas yang namanya pasar bebas.

Basmi habis
Oleh sebab itu, langkah yang paling tepat adalah dengan mempersiapkan diri dengan baik untuk memasuki era perdagangan bebas ASEAN-China dengan legowo. Untuk itu, semua pihak yang berkepentingan harus mampu bersinergi melawan membanjirnya produk China di pasar domestik. Produk dari pemain lokal sebenarnya tidak kalah jauh dibandingkan dengan produk dari China tersebut. Hanya saja pada unsur harga harus mendapatkan perhatian dengan seksama, sebagai hasil akhir sinergi dari berbagai biaya produksi, biaya operasional, biaya lainnya serta marjin keuntungan yang akan diambil.

Oleh sebab itu, untuk menekan berbagai biaya yang timbul, dan memenangkan persaingan, adalah dengan menghapuskan ekonomi biaya tinggi dari sebuah proses produksi. Bukan zamannya lagi mengandalkan buruh murah di alam pasar bebas. Biaya produksi hampir di semua negara nyaris sama. Harga baja, besi, semen, kapas, bensin, tarif listrik di China dan Indonesia, hanya terpaut tipis. Namun, mengapa produk China bisa murah, sementara produk kita tidak? Hal itu terjadi karena disana praktik pungli sangat minim, infrastruktur jalan sangat mendukung, sehingga transportasi dan distribusi barang menjadi lancar.

Ironis dengan kondisi di Indonesia. Selama Pungli masih tebal, kita semua akan terpontal-pontal menghadapi era pasar bebas. Itu berarti semua pihak yang berkepentingan harus bisa menahan dan mereformasi diri. Hilangkah segala Pungli dan ekonomi biaya tinggi adalah kata kuncinya. Bagaimana misalnya, para supir angkutan barang mengeluhkan begitu banyaknya pos-pos Pungli di sepanjang jalur Pantura, yang mengakibatkan biaya transportasi dan distribusi barang menjadi sangat mahal. Padahal, komponen ini harus dibebankan kepada konsumen dalam bentuk harga barang (komoditas) yang dibelinya.

Sudah saatnya program 100 hari yang baru saja diakui tingkat keberhasilannya mencapai 90% lebih (menurut penilaian sendiri), diejawantahkan dalam bentuk penghapusan ekonomi rente biaya tinggi. Berbagai bentuk pungli di jalan-jalan, harus diberangus habis. Mafia yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi dalam banyak hal, harus dibabat habis. Momentum berlakunya AC-FTA ini hendaknya bisa dijadikan turning point (titik balik) pertobatan nasional dari kebiasaan buruk ”memalak” orang lain untuk memperkaya diri dan kelompoknya. Kalau itu bisa terjadi, maka produk kita akan siap bersaing dengan produk darimanapun juga, termasuk produk dari China sekalipun.

Oleh Susidarto

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya