SOLOPOS.COM - Pengungsi Rohingya meninggalkan tempat penampungan darurat di Cox's Bazar Bangladesh yang dilanda banjir saat hujan lebat, Selasa (19/9/2017). (JIBI/Solopos/Reuters/Mohammad Ponir Hossain)

Warga Myanmar enggan membahas isu Rohingya yang dianggap sangat sensitif.

Solopos.com, RAKHINE – Krisis kemanusiaan yang dialami warga Rohingya tak kunjung berakhir. Lebih dari 500.000 muslim Rohingya melarikan diri dari kampung halaman mereka di Rakhine, Myanmar, sejak 25 Agustus 2017 lalu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Warga Rohingya terpaksa mengungsi ke beberapa negara, khususnya Bangladesh, lantaran terusir dari Myanmar. Mereka memilih pergi lantaran tentara Myanmar terus melancarkan operasi militer besar-bersan di Rakhine. (baca: Pengungsi Rohingya Membeludak, Bangladesh Buka Lahan Baru)

Krisis kemanusiaan yang sangat memprihatinkan itu menjadi sorotan dunia. Beberapa negara telah meminta pemerintah Myanmar mengatasi konflik berkepanjangan itu. Pemerintah Myanmar juga dituntut memberi akses penuh agar bantuan dari badan internasional bisa masuk ke kawasan yang dilanda konflik itu.

Dilansir BBC, Senin (9/10/2017), kondisi di Rakhine berbanding terbalik dengan Yangon, yang merupakan pusat perdagangan. Suasana kota itu sangat tenang dan teratur. Semua penduduk kota itu melakukan aktivitas seperti biasa tanpa beban apa pun.

Maklum saja, selama ini etnis Rohingya memang tidak dianggap sebagai penduduk Myanmar. Kebanyakan penduduk Myanmar menyebut mereka [etnis Rohingya] sebagai imigran gelap dari Bangladesh. Itulah sebabnya, penduduk Myanmar seolah tak peduli dengan nasib buruk yang dialami warga Rohingya.

“Masalahnya ada motif politik di balik istilah Rohingya. Saya dulu punya banyak teman dari bangsa Bengali. Mereka tidak pernah mengakui Rohingya, karena termasuk kaum minoritas di negara ini,” ungkap Wakil Ketua Dewan Pers Myanmar, U Aung Hla Tun. (baca pula: Unggah Video Rohingya, gelar Ratu Kecantikan Myanmar Dicabut)

Itulah sebabnya penduduk Myanmar terkesan tidak terlalu peduli dengan nasib etnis Rohingya. Ketika krisis Rohingya menjadi sorotan dunia, Myanmar malah nyaris tak pernah memberitakannya. Media massa Myanmar justru lebih fokus melaporkan temuan kuburan massal umat Hindu yang dibunuh militan Tentara Pembebasan Arakan Rohingya (ARSA).

Sementara itu, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menganggap kekerasan yang dialami warga Rohingya sebagai pembersihan etnis. Tuduhan itu pun langsung dibantah oleh Pemerintah Myanmar. Mereka berdalih etnis Rohingya yang menyebabkan kekacauan dengan menyerang tentara.

Pengungsian besar-besaran seperti itu bukan kali pertama terjadi di Myanmar. Pada era 1960-an, pemerintah Myanmar memerintahkan puluhan ribu warga India angkat kaki. Padahal, warga India telah tinggal di Myanmar dalam waktu yang lama.

Lebih lanjut, seorang mantan tahanan politik yang enggan disebutkan namanya mengatakan, isu Rohingya sangat sensitif. Itulah sebabnya tidak ada yang berani mengulik. Kebanyakan orang memilih bungkam, seolah tidak terjadi konflik apa pun.

“Semua orang ketakutan dan enggan menyentuh masalah ini [Rohingya]. Ada masalah keamanan di Rakhine. Jadi, sebagian besar laporan hanya diperoleh dari keterangan resmi pemerintah,” kata sumber tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya