SOLOPOS.COM - Ilustrasi ISIS (Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Pemuda 18 tahun yang ditembak mati polisi Australia setelah menyerang 2 petugas, Selasa (23/9/2014) malam di Sydney, bukan satu-satunya pendukung ISIS di negara itu. Satu di antaranya adalah Mohamed Elomar, 29, yang sudah tak pernah berhubungan dengan ayahnya selama bertahun-tahun.

Sebelum meninggalkan Sydney menuju Suriah, Mohamed tak lagi berbicara dengan Mamdouh Elomar, ayahnya, selama dua tahun. Di Suriah, Mohamed menampilkan dirinya di Facebook bersama para pemimpin militan ISIS.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Dia tampan, pemuda yang baik,” kata Mamdouh tentang anaknya itu. Namun suatu hari semuanya berubah. “Dia mengatakan tidak ingin lagi bekerja dengan saya, itu saja. Dua tahun kami tidak pernah saling berbicara karena perbedaan kami,” katanya.

Padahal, Mohamed Elomar memiliki kehidupan yang lumayan di Australia meski cukup keras. Dia memilih meninggalkan dunia tinju, seorang istri dan anak, untuk bergabung dengan militan ISIS. Jika ditanya alasannya, Mamdouh hanya geleng kepala. “Saya tidak tahu di mana dia diambil [ISIS], saya pikir itu dari pergaulannya,” kata Mamdouh.

Adanya pendukung militan ISIS di Australia kini telah menjadi kekhawatiran dalam beberapa pekan ini. Padahal Australia berada 11.000 km jauhnya dari Suriah yang menjadi pusat konflik yang melibatkan ISIS. Selasa lalu, polisi telah menembak mati pemuda 18 tahun yang telah menusuk dua orang petugas di Melbourne. Sebelumnya pemuda itu diinterogasi karena mengibarkan bendera ISIS di sebuah pusat perbelanjaan.

Hal ini juga berdampak langsung bagi masa depan muslim di Australia. Padahal jumlah populasi muslim di negara itu semakin bertambah seiring imigran dari Timur Tengah yang meningkat 69% dalam 10 tahun terakhir.

Analisis yang berkembang menyebutkan faktor ekonomilah yang mendorong para pemuda keturunan Timur Tengah ini mudah diajak masuk ISIS. Mereka kebanyakan tinggal di pinggiran kota besar dan hanya mendapatkan sedikit kesempatan bekerja. Kondisi ini membuat mereka rawan termakan propaganda ISIS.

“Jika Anda bicara penyebab radikalisasi, lihatlah jumlah pengangguran, tak ada yang menyuarakan hak para pemuda yang merasa termarjinalkan dari komunitasnya,” kata mantan penasihat keamanan di Universitas Nasional Australia di Canberra, Clarke Jones, dikutip Bloomberg.

Menurut Jones, kasus seperti inilah yang terjadi di Indonesia, Filipina (selatan), dan Australia. Pada akhirnya, mereka seolah diberi kesempatan untuk meraih sesuatu untuk membuktikan diri, termasuk ikut dalam kelompok militan.

Di Australia, jumlah penduduk muslim meningkat dari 281.600 pada 2001 menjadi 476.300 pada 2011 atau 2,2% dari total penduduk. Beberapa kompleks keluarga muslim terdapat di luar batas kota-kota besar seperti Sydney, Melbourne, dan Brisbane. Mereka tinggal di lingkungan kelas pekerja namun kesempatan kerja untuk mereka semakin menipis.

Menipisnya peluang kerja untuk warga muslim juga diperburuk oleh prasangka terhadap mereka. Para pekerja muslim sering diperlakukan berbeda oleh para pemilik perusahaan, oleh rekan kerja mereka, bahkan oleh para pelanggan. Diskriminasi ini pernah terekam dalam penelitian University of Newcastle pada 2011 lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya