SOLOPOS.COM - Menko Polhukam, Mahfud MD. (infopublik.id)

Solopos.com, JAKARTA -- Menko Polhukam, Mahfud Md, meminta polemik soal Revisi KUHP (RKUHP) disudahi karena sudah berlangsung lama. Masyarakat yang tak puas dengan RKUHP, bisa mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi setelah disahkan sebagai UU.

Hal tersebut disampaikan Mahfud menanggapi perdebatan soal RUHP yang berlangsung lebih dari 50 tahun yang menurutnya berlebihan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

"Masih ada MK, ada legislatif review. Apalagi ada hukum digital yang tidak bisa dikejar oleh antisipasi hukum. Kita cari yang terbaik karena ini menyangkut yang sangat fundamental," ujar Mahfud Md dalam diskusi publik RKUHP di Hotel JS Luwansa, Senin (14/6/2021).

"Kalau pelan-pelan tapi lebih dari 50 tahun, itu berlebihan. Mari kita bikin resultante baru," kata dia.

Baca Juga: Terkait RKUHP, Menkumham: Pasal Penghinaan Presiden Sangat Dibutuhkan, Tapi Harus Melapor Sendiri

Ia menjeaskan RUU KUHP sudah digagas sejak tahun 1963. Hal itu terlontar dalam Seminar Hukum Nasional I di Semarang salah satunya membahas RKUHP. Sejak saat itu, diskusi dan gagasan memperbaharui RKUHP menemui jalan buntu. Perdebatan itu mengerucut asas universitalitas versus partikularitas. Antara hukum yang bersifat umum universal dengan hukum yang bersifat lokalistis.

"Nah perdebatan itu tidak bisa dihindari karena terkait HAM. Kemajemukan Indonesia berbeda-beda. Ada 19 lingkungan hukum adat," ujar Mahfud.

Karena sudah berjalan sangat lama, Mahfud Md meminta perdebatan itu harus segera diakhiri. Pemerintah meminta publik untuk berjalan ke depan.

Kepastian Hukum

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dalam sambutan tertulis yang dibacakan Wamenkum HAM, Eddy Hiariej, menyatakan KUHP yang berlaku saat ini juga tidak ada kepastian. Sebab tidak ada terjemahan resmi KUHP dari Bahasa Belanda ke Bahasa Indonesia. Sehingga hanya mendasarkan pada terjemahan para ahli hukum.

Baca Juga: Draf Terbaru RKUHP, Kasus Penghinaan Presiden dan Wapres Kini Delik Aduan

Salah satu contohnya terjemahan KUHP oleh Moeljatno dengan terjemahan R Soesilo. Keduanya berbeda pendapat soal menerjemahkan "perbuatan melawan hukum" dengan "perbuatan melawan hak" dari Bahasa Belanda ke Bahasa Indonesia.

"Di sini ada ketidakpastian hukum dan menghukum orang dengan hukum yang tidak pasti [dengan KUHP]," ujar Eddy.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya