SOLOPOS.COM - Foto ilustrasi (Paulus Tandi Bone/JIBI/Bisnis Indonesia)

Institusi tidak bisa serta-merta melarang ketika cadar dinilai untuk menjalankan kewajiban agama bagi pemakainya

Harianjogja.com, SLEMAN-Direktur Eksekutif Human Right Working Group (HRWG) Muhammad Hafidz menyatakan, kampus diminta berhati-hati dalam menentukan kebijakan terkait pembinaan mahasiswi bercadar yang berpotensi melarang mereka menggunakan cadar.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pelarangan itu bisa berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) jika seseorang menggunakan cadar merupakan suatu keyakinan dalam menjalankan perintah agama. Oleh karena itu kampus tidak bisa serta-merta melarang siapapun untuk mengenakan cadar ketika tujuan utama institusi tersebut adalah untuk menghilangkan atau mengalihkan suatu kepercayaan.

“Harus hati-hati dibuat dengan ukuran yang jelas. Kalau sudah diajak dialog dan pemakai itu tetap berkeyakinan bahwa itu menurutnya mutlak menjalankan keyakinannya atau sebagai kewajiban [agama], ya tidak bisa dilarang,” terangnya kepada Harianjogja.com, Senin (5/3/2018).

Hafidz memastikan, institusi tidak bisa serta-merta melarang ketika cadar dinilai untuk menjalankan kewajiban agama bagi pemakainya. Akan tetapi, institusi bisa menggunakan dialog untul mempengaruhi karena keyakinan seseorang bisa berubah.

Bisa jadi saat ini menyampaikan cadar sebagai suatu kewajiban namun ketika dihadapkan pada situasi pandangan yang berbeda. Sehingga kewajiban kampus menyampaikan alternatif pandangan dengan berbagai argumen yang kuat.

“Bukan melarang, jadi berdiskusi dengan menyampaikan argumentasi keagamaan yang serupa, tentang bagaimana hukum cadar dalam Islam. Tetapi ketika [setelah diskusi] merasa tetap lebih nyaman bercadar, tetapi kampus juga tidak punya kepentingan yang absah untuk melarang atau melihat semua muka orang, kampus harus legowo,” tegasnya.

Baca juga : Bercadar Tak Selalu Eksklusif dan Radikal

Jika arahnya kampus ingin mendidik atau memberikan penyadaran tentang memeluk Islam terhadap para mahasiswa yang mengenakam cadar, lanjutnya, maka prosesnya yang harus ditekankan. Proses diskusi atau konseling harus diperbanyak, bukan langsung melakukan pelarangan atau memberikan perintah agar tidak memakainya.

Namun, secara bertahap harus diarahkan, terutama menentukan siapa pihak yang akan mendampingi, mendiskusikan dengan mahasiswa pemakai cadar. Kemudian kampus harus jelas menunjuk pihak yang harus melacak sekaligus memberikan pemahaman dari awalnya bersikukuh tetap memakai hingga mahasiswi itu nyaman tidak menggunakan cadar.

Akan tetapi, kampus bisa melakukan pelarangan jika untuk alasan keamanan bukan untuk mempengaruhi kepercayaan. Alasan keamanan seperti saat ujian wanita bercadar harus membuka wajahnya, hal itu masih diperbolehkan. Namun wajah tersebut boleh dibuka di hadapan penguji atau pengawas dengan jenis kelamin perempuan.

“Kalau itu [untuk alasan keamanan boleh], sekalipun pemakainya itu menganggap cadar sebagai suatu keyakinan pribadi yang terdalam bukan sebagai kenyamanan. Cuma yang melihat adalah dosen atau pengawas perempuan. Kalau dalam kondisi itu pemakai tetap tidak mau [menunjukkan wajahnya], kampus bisa ambil sikap tegas,” jelasnya.

Hafidz mengakui, keputusan kontroversial terkait cadar belum pernah ia temukan sebelumnya dan baru ia dapatkan di UIN Sunan Kalijaga. Isu pelarangan yang selama ini terjadi fenomena pada secara tidak langsung memaksa untuk menggunakan jilbab di sekolah. “Kalau tidak ada alasan tiba-tiba dilarang, itu diskriminatif, kebijakan muncul kan banyak pertimbangane,” tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya