SOLOPOS.COM - Sidang putusan terdakwa Eddy Hermanto dan Syarifuddin kasus tindak pidana korupsi dana hibah pembangunan Masjid Raya Sriwijaya Palembang, Jumat (19/11/2021). (Antara)

Solopos.com, PALEMBANG — Pengadilan Negeri (PN) Palembang memvonis terdakwa kasus tindak pidana korupsi hibah pembangunan Masjid Raya Sriwijaya, Eddy Hermanto dan Syarifuddin M. F., 12 tahun penjara.

Eddy Hermanto menjabat Ketua Umum Panitia Pembangunan Masjid Raya Sriwijaya sedangkan Syarifuddin M. F. selaku Ketua Divisi Lelang Pembangunan Masjid Raya Sriwijaya pada kasus tersebut.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Mengadili, menyatakan terdakwa Eddy Hermanto dan Syarifuddin M. F. terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi bersama dan berlanjut. Menjatuhkan pidana penjara selama 12 tahun dan denda masing-masing Rp500 juta dengan ketentuan bila tidak dibayar diganti pidana kurungan masing-masing empat bulan,” kata Ketua Majelis Hakim, Syahlan Effendi, membacakan amar putusan di Palembang, seperti dilansir Antara, Jumat (19/11/2021).

Baca Juga : Ditolak, Tim Pembebasan Tol Solo-Jogja Hindari Lahan 37 Meter Persegi

PN Palembang juga memutuskan terdakwa wajib membayar denda pengganti atas kasus tersebut. Denda pengganti untuk Eddy Hermanto Rp218 juta subsider dua tahun penjara sedangkan Syarifuddin Rp1 miliar subsider dua tahun delapan bulan penjara.

Jaksa akan menyita dan melelang harta benda terdakwa apabila denda tidak dibayar dalam jangka waktu satu bulan setelah putusan berstatus inkracht atau berkekuatan hukum. Uang hasil pelelangan tersebut diserahkan kepada negara.

“Kalau nilainya masih tidak mencukupi maka dikenakan pidana penjara dua tahun [untuk Eddy Hermanto] dan dua tahun delapan bulan [untuk Syarifuddin M. F.],” ujarnya.

Baca Juga : Pengin Lihat Gerhana Bulan Sebagian? Catat Jamnya

Hakim berpandangan hukuman tersebut sudah memenuhi asas keadilan dan setimpal dengan perbuatan terdakwa. Dua terdakwa tidak mendukung program pemberantasan korupsi dan tidak menyesali perbuatan.

Bukti Terdakwa Korupsi

Hakim menilai beberapa hal membuktikan terdakwa bersalah melakukan korupsi, yakni pemeriksaan alat bukti, keterangan saksi, dan pendapat ahli di persidangan. Perbuatan yang dimaksud, terdakwa menandatangani perjanjian kontrak kerja dengan pihak terkait. Padahal itu di luar kewenangan.

Selain itu, terdakwa tidak melibatkan anggota saat lelang pembangunan, menerima honor di luar kewenangan, fasilitas perjalanan mengandung unsur kerugian negara Rp64 miliar. Terdakwa berstatus aparatur sipil negara (ASN) tidak membuat laporan pertanggungjawaban penggunaan dana hibah dari APBD kepada Badan Pengelola Keuangan Aset Daerah (BPKAD).

Baca Juga : 2 Hari Hilang, Bakul Bakso Ini Ngaku Diceramahi Kurang Sedekah

Bukti lain menyatakan terdakwa secara sengaja tidak melapor kepada Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) terhitung 30 hari setelah menerima gratifikasi. Mereka juga terbukti menerima dan menelan dana untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain.

“Unsur selaku ASN yang sudah menerima gratifikasi sudah terpenuhi. Perbuatan itu bertentangan dengan jabatannya yang merupakan penyelenggara negara dan bertanggung jawab atas korupsi kolusi dan nepotisme [KKN],” jelas dia.

Terdakwa dikenakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No.20/2001 tentang Perubahan Atas UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP sebagai pasal primer.

Baca Juga : Pembalap asal Jogja Ini Bidik Finis 10 Besar di WSBK Sirkuit Mandalika

Terdakwa melanggar Pasal 12 b ayat (1) UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Gratifikasi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20/2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP sebagai pasal sekunder.

Sementara itu, kedua terdakwa mengatakan sepakat mengajukan banding atas putusan hakim tersebut. Mereka mengikuti sidang secara daring dari rumah tahanan klas 1 Palembang. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi (Kejakti) Sumatera Selatan memutuskan pikir-pikir selama tujuh hari.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya