SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Sila kelima Pancasila,”Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” tentu bukan sekadar pemanis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Suatu yang dipikirkan, direnungkan dan kemudian direfl eksikan sebagai kehendak bersama bangsa ini…

Bung Karno, sebagai founding father, tentu mempunyai harapan bahwa sila itu mampu diwujudkan dalam realitas kehidupan bangsa besar ini, Bangsa Indonesia. Soekarno memang bermimpi—suatu wujud harapan setelah sekian lama tertindas dan terjajah oleh bangsa asing.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Keadilan adalah harapan yang berasal lubuk hati paling dalam, hingga para Bapak Bangsa mengukuhkan menjadi landasan konstitusional itu sebagai pijakan melangkah dari zaman ke zaman… Apa sih keadilan? Sering mudah mengucapkan, tapi orang kadang tak tahu maknanya. Mereka hanya merasakan ada yang tak sesuai harapan para pendiri bangsa.

Keadilan distributif, seperti dipikirkan fi lsuf Yunani Aristoteles, adalah rasa keadilan yang bisa dinikmati semua orang, tanpa batas suku, ras, agama, dan antargolongan… Semua manusia ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa, mesti mendapatkannya tanpa kecuali.

Ada pula keadilan asosiatif—yaitu rasa keadilan yang hanya dinikmati orang-orang khusus karena posisinya, jabatannya, status sosial-ekonominya. Rasa keadilan karena prestasinya, atau juga yang karena mendapat mandat rakyat.

Dikaburkan…
Zaman selalu punya persoalan tersendiri, dan keadilan selalu menjadi warna dari zaman itu sendiri. Keadilan, seperti sering Iwan Fals muda meneriakannya: “Untuk siapa?” Dan jika
pun Iwan masih mau melontarkannya di depan OI, organisasi penggemar penyanyi ini, pasti akan dijawab serentak:”Ya, untuk siapa?”

Pertanyaan yang perlu dijawab bersama pula. Keadilan bukan semata urusan beragama, ekonomi, politik, hak, tanggung jawab, melainkan juga keadilan akan peluang…, termasuk peluang berusaha! Saat ini dalam tataran operasional, masih dalam batasan mimpi, sama seperti saat Soekarno mencanangkannya 1 Juni 1945.

Masih menjadi titik-titik maya, karena aktor utama negeri ini, politisi, pelaksana negara dan orang-orang utama negeri ini justru mengaburkannya. Keadilan, pada praktiknya, hanya diperoleh setelah mendapatkan kekuasaan—dan semua akan tergantung pada mereka yang berkuasa.

Suatu kegetiran yang terus diterima terutama bagi kalangan yang dimarginalkan…

Bukan imajinasi
Silakan tengok bagaimana wakil rakyat, anggota legislatif—yang sudah mendapatkan segala yang spesial dari uang pajak, tetap saja bermain kuasa: Untuk mengambil uang rakyat dengan privilege dan sikap nakalnya. Coba lihat tayangan TV dan berita di media—tentu itu bukan sebuah karangan atau hasil imajinasi.

Di Jabodetabek dan barangkali di tengah kita, dugaan anggota legislatif nakal, sering digunjingkan oleh kalangan LSM, tapi tanpa muara yang jelas. Di Jabodetabek, kalangan politisi ikut main proyek Pemda sudah bukan barang baru…, permainan yang gilirannya justru merugikan khalayak.

Bahkan di Depok, Jawa Barat, proyek jalan dimenangkan perusahaan dekat politisi tertentu lewat tender main-main, akhirnya pelaksanaannya pun tak sesuai bestek—karena banyak uang lari untuk orang yang semestinya sudah mendapatkan keadilan asosiatif…

Terakhir terdengar, pimpro dan perusahaan penggarap jalan diadili, untuk mempertanggungjawabkan kenakalan itu. Kemudian, kasus buku ajar Sleman, Solo, Salatiga atau di tempat lainnya, adalah akibat permainan kekuasaan dan ketamakan karena merasa kekuasaan politik sangat absolut, yang bikin hak rakyat tercabut…

Jerat karet…
Nakalnya sejumlah wakil kita, di mana pun, seperti bau kentut di tengah kerumunan orang banyak. Ada baunya, dan sering bisa tahu asalnya, tapi tak ada yang berani menelisiknya lagi, apalagi menegurnya. Apalagi, siapa pun yang berusaha menduganya, bahwa ada kentut itu, ”Bakal dijerat pasal mencemarkan nama baik, bukan?”

Suatu jerat karet, yang merupakan warisan zaman Belanda, yang dirancang untuk menakut-nakuti kaum yang dulu disebut mereka inlander, bangsa kita. Kini, untuk menakut-nakuti wong cilik, atau memang untuk memperdaya yang menduga-duganya, sehingga sejumlah kalangan yang sudah punya bukti awal yang dimiliki ragu mengungkapkan…

Tukang becak, pengelola angkringan, pedagang Malioboro, aktivis mahasiswa dan LSM sampai kalangan intelektual di Jogja, masih berhak bertanya: Siapa saja sih di negeri ini yang masih layak menyandang nama baik?” Agar predikat itu benar-benar pada tempatnya. Apakah jejak rekam mereka justru realitas sebaliknya.

Keberanian mimpi Soekarno dulu adalah harapan luar biasa. Mimpi berani menyelisik dugaan apa yang sebenarnya terjadi, tanpa rasa takut perlu dihidupkan, hingga jangan sampai rakyat dikhianati. Pun diharapkan jangan malah konspirasi jahat yang dicoba ditutup-tutupi.

Jangan-jangan di sana bukan hanya bau kentut, melainkan sudah kotoran? Rakyat yang taat membayar pajak, layak mempertanyakan: “Apa yang sebetulnya telah terjadi?” Adakah realitas ketidakadilan untuk rakyat yang ditutupi?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya