SOLOPOS.COM - Tembok bolong di sisi timur Keraton Solo kawasan Baluwarti yang juga dikenal dengan sebutan lawang buthulan. (Instagram/@visitsurakarta)

Solopos.com, SOLO — Jika melewati jalan di sisi barat Keraton Solo, tepatnya di kawasan Baluwarti terlihat ada sebuah lubang pada tembok atau benteng tersebut. Tembok bolong di Baluwarti itu menyerupai pintu. Ternyata ada kisah tragis dibalik lubang yang dibuat pada 1966 itu.

Diceritakan oleh Direktur Utama Perum Jasa Tirta 1, Raymond Valiant Ruritan, lubang pada benteng keraton itu ternyata berkaitan dengan tragedi banjir yang terjadi di Solo pada 1966. Hal itu dia sampaikan dalam acara Webinar Virtual Hari Air Sedunia 2022 dengan tema Air untuk Ekonomi Berkelanjutan, yang disiarkan di Youtube Espos Live, Kamis (31/3/2022) malam.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Raymond mengawali ceritanya dengan menunjukkan foto Benteng Vastenburg yang berada di Gladag, Solo. Namun foto yang dibagikan adalah foto 2014, ketika benteng itu baru dikosongkan dari fungsinya yang semula sebagai asrama militer. Benteng peninggalan Belanda yang berada di pusat Kota Solo itu dibangun 1745 atas perintah Gubernur Jenderal Baron Van Imhoff.

Baca juga: Misteri 3 Makam Keramat di Gunung Tidar Magelang

Banjir Bandang 1861

Dia mengatakan pada salah satu sisi gerbang benteng itu terdapat plakat yang menjadi saksi bisu banjir Solo di masa lampau. Menurutnya plakat tersebut terdapat tulisan berbahasa Belanda yang menunjukkan tinggi banjir pada 24 Februari 1861.

“Kalau diamati mungkin ketinggian air itu sekitar dua meter. Bayangkan di tengah Kota Solo pernah terjadi banjir dengan ketinggian dua meter. Ini terekam di Benteng Vastenburg,” kata dia.

Air setinggi dua meter yang terjadi 1861 tersebut disebut lebih tinggi dari banjir yang terjadi di pertengahan Maret 1966. Berdasarkan catatannya, banjir yang sangat mencengangkan sempat terjadi di Solo pada 1861 dan 1966. Meskipun menurutnya hal itu bukan hal aneh kalau dilihat dari kacamata ilmu keairan.

“Banjir dan kekeringan adalah persoalan pembagian air. Air itu ikut dalam pola ruang dan waktu, dan ada unsur ketidakpastian di dalam pembagian air terhadap ruang dan waktu itu,” kata dia.

Banjir bandang itu disebut sebagai bagian dari kisah ketidakpastian lantaran manusia belum bisa dengan tepat meramalkan hujan maupun bencana alam. Meski pada banjir 1861 tidak diketahui seberapa besar debit dan hujan yang terjadi, namun jika diperkirakan antara 1861 sampai 1966 ada jarak kurang lebih 100 tahun.

“Maka kita bisa mengatakan hujan atau debit yang terjadi di Bengawan Solo pada saat itu adalah hujan dengan kala ulang 100 tahun,” jelas dia.

Baca juga: Masjid Agung Keraton Solo Siapkan 3 Kali Kuliah Per Hari Selama Ramadan

Banjir Bandang Solo 1966

Dia mengatakan pada tanggal 13-14 Maret 1966, curah hujan yang jatuh di atas Wonogiri yang merupakan hulu Bengawan Solo tercatat cukup besar, yakni sekitar 145 milimeter dalam sehari. Di Baturetno hampir 317 milimeter dalam sehari. Di Batuwarno sekitar 308 milimeter dalam satu hari dan di Tirtomoyo sekitar 106 milimeter dalam satu hari.

Hujan itu muncul diduga adanya pengaruh satu siklon tropis, namun tidak diketahui seberapa besar siklon tersebut. Tapi yang pasti, kondisi tersebut membuat debit di Bengawan Solo meningkat.

banjir bandang solo
Direktur Utama Perum Jasa Tirta 1, Raymond Valiant Ruritan, menyampaikan materi dalam Webinar Virtual Hari Air Sedunia 2022 dengan tema Air untuk Ekonomi Berkelanjutan, yang disiarkan di Youtube Espos Live, Kamis (31/3/2022) malam.

“Kemudian pada pada 16 Maret 1966 di tanggul di Kusumodilagan, Semanggi, Demangan, juga Cengklik runtuh. Elevasi muka air Bengawan Solo naik sekitar dua meter, dari 5,8 meter menjadi 7,6 meter. Saat itu sungai tidak lagi mengalir ke arah timur seperti biasanya lewat Jurug, namun justru meluap ke arah barat. Hal itu menjadikan genangan di sejumlah wilayah di Solo,” jelas dia.

Bahkan berdasarkan data yang ada hampir separuh wilayah Solo saat itu terendam akibat banjir bandang 1966. Luas genangan hampir 9 kilometer persegi dengan ketinggian rata-rata 1 meter-2 meter.

Rusaknya beberapa tanggul yang membentengi Solo tersebut menimbulkan dampak luar biasa. Hal yang tidak terduga adalah bahwa pusat pemerintahan dan pusat perekonomian di Solo yang semula digambarkan tidak akan terendam, ternyata juga tergenang.

Baca juga: Sasana Pustaka Keraton Solo untuk Internal Tuai Kritik dari Legislator

Tembok Bolong di Baluwarti

Bagian tembok istana atau keraton, di wilayah Baluwarti juga runtuh karena fondasi melemah setelah tergenang air hampir dua meter. Hal itu menyebabkan air masuk ke keraton dan menggenangi keraton.

“Hal yang menarik, untuk menyelamatkan penghuni di istana [keraton], dibuat sebuah lubang di tembok besar pada sisi timur istana. Ini adalah lubang yang dibuat pada 1966 untuk mengevakuasi orang yang terendam di dalam istana. Uniknya lubang itu persis berada di bawah sebuah bekas sungai yang namanya Sungai Larangan,” jelas dia.

Menurut Raymond, dulu Keraton Solo memiliki sungai yang tepat mengalir di tengah-tengah keraton. Tapi mulai abad 18 ditutup secara perlahan, sehingga menjadi cekungan rendah dimana dulu di bawahnya ada sungai.

“Banjir 1966 menurut saya merupakan tragedi. Hampir 600 orang diperkirakan meninggal di wilayah Keresidenan Surakarta,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya