Solopos.com, BANYUMAS -- Berada jauh di ujung utara Kecamatan Cilongo, Kabupaten Banyumas atau tepatnya berada di Desa Gununglurah, Telaga Tumpe memiliki keasrian alam yang eksotis yang dikelilingi dengan perbukitan hijau dan suasana alam khas pedesan yang begitu terasa kuat menyegarkan mata dan kepenatan hati dari aktivitas keseharian.
Di telaga yang masih jernih dan alami ini terdapat perahu kecil yang tergenang di antara tanaman air yang menutupi sebagian permukaan telaga. Di telaga tersebut juga ditemui banyak ikan sehingga banyak dipakai orang untuk memancing.
Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda
Berdasarkan pantuan Solopos.com melalui kanal Youtube Julfan Java, Senin (7/6/2021), Kumpe merupakan tanaman yang tumbuh subur di tengah telaga pada saat itu. Kumpe sendiri merupakan singkatan dari kata Bahasa Jawa, “dikum dan dipe” yang artinya direndam dan dijemur.
Baca Juga : Mejajaran, Legenda Gaib Penunggu Hutan Jati Banyumas
Dikum karena sebagian akar tanaman tersebut berada di bawah air, sementara daunnya berada di atas air yang terkena panas matahari seolah dipe (dijemur). Kepada Dusun setempat mengatakan hingga sekarang tanaman itu masih disebut sebagai ‘Kumpe’ yang memiliki tangkai keras seperti pohon nanas dan juga menyerupai lidah buaya. Kepada Dusun itu belum bisa mendeteksi jenis tamanan itu.
Menurut Kepala Dusun yang bernama Warsito itu, konon tanaman tersebut menyatu bersama cerita mistisnya sejarah Telaga Kumpe. Dari cerita leluhur yang masih diingat, tanaman tersebut tidak ditemui di telaga manapun selain berada di Telaga Kumpe dan Telaga Ranjeng di wilayah Kaligua.
Tanaman Kumpe ini diyakini berjenis perempuan sedangkan yang di Telaga Ranjeng Kaligua, jenisnya laki-laki. Itu sebabnya, tanaman Kumpe cepat sekali berkembang biak. Warsito tidak tahu pasti bagaimana sejarah terbentuknya Telaga Kumpe, dia hanya tahu dari beberapa pitutur cerita yang masih diingatnya saja.
Baca Juga : Nopia, Kue Warisan Leluhur Banyumas yang Melegenda
Cerita legenda yang berkembang, telaga tersebut terbentuk dari kaki Bima atau Wekudara dalam cerita pewayangan Jawa. Saat itu, Bima hendak meletakkan Gunung Slamet sebagai paku tonggak Pulau Jawa. Saat membawa gunung itu, Bima menghadap ke arah timur laut dan posisi kanannya berada di Desa Gununglurah, Kecamatan Cilongok, sedangkan kai kirinya ada di Kaligua, Kecamatan Paguyangan, Kabupaten Brebes.
Karena merasa terlalu berat membuat kakinya menginjak terlau dalam hingga akhirnya membentuk telaga di kedua kakinya. Antara mitos atau fakta, bentuk di telaga ini menyerupai bentuk kaki dengan tumit berada di sebelah selatan dan jemari di sebelah utara. Karena tertutup oleh tanaman Kumpe, maka bentuk kaki ini tidak terlihat.
Telaga Kumpe ini juga memiliki aura kemistisan karena wilayah tersebut dikelilingi oleh sejumlah petilasan, seperti Bukit Krangenana yang merupakan tempat petilasan Mbah Sapu Jagad bernama petilasan Tabat Waru yang diyakini sebagai penjaga telaga. Kemudian ada petilasan Telaga Nangka, Rantansasi dan Watu Rajut yang merupakan makam kiai yang tidak diketahui namanya.
Warsito mengatakan sebagian besar petilasannya sudah hilang dan yang masih ada sekarang terkadang juga masih dikunjungi orang yang hendak berziarah.