SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

<blockquote><p><em>Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Jumat (29/6/2018). Esai ini karya Rumi Iqbal Doewes, dosen di Program Studi Pendidikan Kepelatihan Olahraga Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret. Alamat e-mail penulis adalah king.doewes@staff.uns.ac.id.&nbsp;</em><strong> <br /></strong></p></blockquote><p><strong>Solopos.com, SOLO–</strong>Zaman teknologi di dunia sepak bola telah dimulai berkat teknologi&nbsp;<em>video assistant referee</em> (VAR) yang diperkenalkan pada Juni 2016. Dua turnamen akbar, Piala Dunia Antarklub 2016 dan Piala Konfederasi 2017, telah menerapkan teknologi VAR.</p><p>Dalam pertandingan sepak bola wasit kerap menjadi kambing hitam apabila membuat keputusan kontroversial.&nbsp;Guna mengurangi kontroversi, International Football Association Board (IFAB) sebagai organisasi yang bertanggung jawab mengatur <em>laws of the game</em> melakukan berbagai inovasi.</p><p>Awalnya penggunaan asisten wasit di belakang gawang dianggap sebagai solusi. Beberapa keputusan kontroversial masih terjadi, seperti gol Sulley Muntari yang dianulir saat menghadapi Juventus pada laga Serie A, 25 Februari 2012.</p><p>Teknologi VAR di Piala Dunia 2018 digunakan di 64 pertandingan dan bisa mengakses 33 kamera siaran televisi, delapan di antaranya kamera <em>super</em> <em>slow motion</em>, empat kamera <em>ultra slow motion</em>, dan empat kamera <em>slow motion</em>.</p><p>Pada babak gugur akan ditambahkan dua kamera di belakang gawang. Tim VAR berada di ruangan pusat operasi video di Moskow. Tim VAR &nbsp;bisa mengakses semua kamera televisi dan dua kamera khusus <em>off-side. </em>TeknologiVAR tidak mengambil keputusan apa pun.</p><p>Teknologi ini hanya membantu wasit dalam proses pengambilan keputusan dan keputusan akhir ada di tangan wasi. Suporter akan diberi informasi mengenai proses <em>review</em> melalui televisi, komentator, dan siaran lainnya.</p><p>Tim VAR membantu wasit dalam mengambil keputusan dalam empat situasi. <em>Pertama</em>, gol dan pelanggaran yang berujung gol. <em>Kedua</em>, tendangan penalti dan pelanggaran yang berujung penalti. <em>Ketiga</em>, insiden kartu merah langsung. <em>Keempat</em>, kesalahan identitas pemain.</p><p>Wasit membutuhkan waktu dalam mengambil keputusan karena akan ada konsultasi atau diberi tanda untuk menerima informasi dan mengambil tindakan dengan tepat atau memutuskan untuk meninjau rekaman video di samping lapangan sebelum mengambil keputusan dibantu dengan VAR dan tiga asisten VAR menganalisis pertandingan.</p><p>Butuh waktu sekitar tujuh tahun hingga teknologi tersebut siap diuji. VAR atau video tayangan ulang adalah teknologi yang dimaksudkan untuk membantu tugas wasit dalam mengambil keputusan mengenai sebuah gol, penalti, kartu merah, dan kesalahan identifikasi. Teknologi itu diharapkan membantu wasit untuk mengurangi keputusan kontroversial.</p><p>Partai persahabatan antara Italia menghadapi Prancis pada 1 September 2016 menjadi pertandingan internasional pertama yang menggunakan teknologi VAR. Laga tersebut berakhir dengan skor 3-1 untuk kemenangan Prancis.</p><p><strong>Rekaman Video</strong></p><p>Setelah itu, FIFA mulai mengadopsi VAR saat Real Madrid menang 4-2 atas Kashima Antlers pada laga final Piala Dunia Antarklub 2016. Pada dua pertandingan tersebut, VAR membantu wasit menghindari berbagai kontroversi. FIFA memutuskan menggunakan VAR pada Piala Konfederasi 2017.</p><p>Ide VAR muncul pada 2009 di pertandingan Piala Konfederasi saat Mesir tumbang dengan skor 3-4 di tangan Brasil. Howard Webb menjadi pemicunya setelah wasit asal inggris itu mengubah keputusan dari tendangan sudut menjadi eksekusi penalti.</p><p>Ini terjadi setelah Ahmad Al-Muhammadi menghalau bola dengan tangan persis di garis gawang Mesir. Asisten pelatih Mesir, Gharib Chawki, menuduh Webb mengubah keputusan setelah mendapatkan bisikan dari wasit keempat Matthew Breeze yang lebih dulu melihat rekaman video.</p><p>Kala itu badan sepak bola tertinggi dunia FIFA tidak membenarkan rekaman video menjadi dasar keputusan wasit. FIFA kemudian membantah tuduhan Chawki, tetapi kontroversi rekaman video kembali mengemuka. Al-Muhammadi kemudian juga diganjar kartu merah.</p><p>Mirip dengan Zinedine Zidane yang menanduk dada Marco Materazzi pada final Piala Dunia 2006. Kala itu wasit Horacio Marcelo Elizondo tidak melihat insiden tersebut. Setelah mendapatkan informasi dari asisten wasit, barulah Elizondo memberikan kartu merah kepada Zidane.</p><p>Pada insiden ini FIFA membantah asisten wasit menggunakan rekaman video sebagai alat bukti. Dalam satu dekade terakhir, wacana penggunaan rekaman video untuk membantu wasit sepak bola bergulir kencang. Kebanyakan wacana yang timbul tenggelam ini dicuatkan oleh tim yang merasa dirugikan.</p><p>FIFA dan juga Asosiasi Sepak Bola Eropa (UEFA) menentang keras meski pada beberapa cabang olahraga, seperti kriket dan rugbi, rekaman video menjadi alat standar. FIFA beranggapan penggunaan rekaman video akan membuat sepak bola menjadi terlalu banyak jeda.</p><p>Jika satu kejadian harus dianalisis selama satu menit akan banyak sekali waktu terbuang. Di kompetisi sepak bola Eropa rata-rata bola dimainkan (<em>ball in&nbsp; play</em>) atau bola hidup hanya sekitar 60%. Selebihnya adalah situasi bola mati, misalnya saat ada pelanggaran atau pemain cedera.</p><p>Alasan FIFA memang kuat. Sepak bola adalah permainan yang banyak sekali melibatkan kontak fisik. Jika rekaman video digunakan, pertandingan akan dipenuhi tendangan bebas atau tendangan penalti. Contoh paling mudah adalah situasi tendangan sudut.</p><p>Saat bola dilambungkan, di kotak penalti selalu terjadi saling sikut, saling tarik, dan saling dorong antara pemain tim yang menyerang dan yang bertahan. Ini semua merupakan pelanggaran yang berdampak pada hukuman penalti.</p><p>Hal lain adalah <em>off side</em>. Dalam satu pertandingan rata-rata satu tim bisa melakukan pelanggaran ini hingga 10 kali. Jika setengah dari keputusan <em>off side</em> dianggap meragukan dan dibuktikan dengan rekaman video berarti waktu yang terbuang dalam satu pertandingan lebih banyak lagi</p><p>Soal lain adalah kamera sudut mana yang dianggap sebagai yang paling sahih? Jika dalam satu laga digunakan 16 kamera televisi, dari sudut (<em>angle</em>) mana wasit harus membuat keputusan? Kasus pemain Napoli, Marcelo Zalayeta, di Liga Serie A Italia tahun 2007 bisa menjadi referensi.</p><p>Dalam laga melawan Juventus, Zalayeta tampak dijatuhkan oleh kiper Gianluigi Buffon. Napoli kemudian mendapatkan hadiah penalti. Dalam rekaman video terlihat Buffon sama sekali tidak menjatuhkan Zalayeta. Pendukung Juventus marah dan Zalayeta terancam hukuman dua kali tidak boleh tampil karena <em>diving</em>.</p><p>Zalayeta kemudian selamat karena dari sudut kamera yang lain terlihat ia disenggol bek Juventus, Nicola Legrottaglie, sebelum terjatuh di dekat Buffon. FIFA membuat keputusan yang benar ketika menolak penggunaan rekaman video.</p><p>FIFA memberikan kepercayaan penuh kepada wasit untuk menentukan keputusan dibantu dua asisten wasit. Pada situasi kemelut di kotak penalti&nbsp; korps wasit seperti punya kesepakatan tidak tertulis untuk memberikan &rdquo;keuntungan&rdquo; kepada tim bertahan.</p><p>Pada beberapa kejadian jika ragu-ragu pada penglihatan, seperti bola <em>out</em> dan lemparan ke dalam (<em>trow in</em>), wasit biasanya juga memberikan keuntungan kepada tim lawan. Ini seperti pemikiran FIFA dan UEFA yang menolak wacana melengkapi bola dengan <em>chip</em> dan sensor untuk menentukan bola melewati garis atau tidak.</p><p>Permainan sepak bola akan mati jika terlalu banyak diintervensi oleh teknologi. Sepak bola tetap permainan yang paling menggairahkan di muka bumi karena selalu memberikan ruang kepada para pelakunya, manusia, untuk berbuat salah.</p><p>Penggunaan VAR justru bisa memberikan keuntungan secara tidak langsung kepada salah satu tim. Situasi tersebut justru menimbulkan kondisi pertandingan yang tidak ideal. Di sisi lain, penggunaan VAR dapat mengurangi kontroversi dalam pertandingan sepak bola. Hal tersebut dapat membantu wasit mengurangi keputusan kontroversial yang terkait gol, penalti, kartu merah, dan kesalahan identifikasi.</p><p><strong>Kematian </strong></p><p>Ketika Piala Dunia 2018 di Rusia memasuki laga ke-15, beberapa hari lalu, &nbsp;ada 11 penalti yang diputuskan dengan bantuan oleh teknologi VAR. Ini menjadi Piala Dunia dengan hadiah pinalti terbanyak. Spanyol kala itu menang tipis 1-0 atas Iran di pertandingan Grup B Piala Dunia 2018.</p><p>Iran sebenarnya bisa menyamakan kedudukan, namun wasit membatalkan gol setelah mengevaluasi berdasarkan VAR. Teknologi VAR kembali jadi primadona wasit ketika Brasil berhasil meraih kemenangan dramatis atas Kosta Rika di babak penyisihan Grup E, namun ada hal yang menarik perhatian di pertandingan itu, yaitu saat Neymar gagal mendapatkan hadiah penalti.</p><p>Dengan skor yang masih imbang dan waktu normal tersisa 10 menit, Neymar menggiring bola ke dalam kotak penalti sebelum menarik bola ke arah berlawanan untuk melepaskan tembakan. Saat berbalik, pemain Kosta Rika, Giancarlo Gonzalez, sempat menempatkan tangannya di badan Neymar dan bintang Paris Saint-Germain itu terjatuh.</p><p>Wasit asal Belanda, Bjorn Kuipers, awalnya memberikan penalti atas kejadian itu, tetapi ia lantas memutuskan memeriksa tayangan ulang di VAR. Setelah meninjau insiden dari layar di tepi lapangan, ia membatalkan keputusan itu dan memutuskan ada pelanggaran karena Neymar <em>diving</em> meski tidak mengeluarkan kartu kuning.</p><p>Tidak ada lagi gairah, kontroversi, dan drama di Piala Dunia karena teknologi masuk ke dalam sepak bola. Warga Inggris tidak akan pernah melupakan pertandingan perempat final Piala Dunia 1986 di Meksiko pada 22 Juni 1986. Tim kesayangan mereka harus mengubur ambisi jadi juara setelah diredam oleh aksi seorang pemain Argentina bernomor punggung 10 bernama Diego Armando Maradona.</p><p>Dalam pertendingan tersebut Inggris takluk 1-2. Dua gol kemenangan La Abiceleste diborong Maradona dengan proses yang memukau. Salah satunya adalah gol &rdquo;tangan Tuhan&rdquo; yang dihasilkan dengan tangan dan terus dikenang sampai dengan sekarang.</p><p>Teknologi VAR mengakibatkan tidak ada lagi cerita tentang Inggris&nbsp; &rdquo;menangis&rdquo;. Jerman mengalahkan pasukan Inggris dengan skor 4-1 di babak 16 besar saat itu dengan gol-gol yang diciptakan Miroslav Klose, Lukas Podolski, dan Thomas Muller (dua gol) di Bloemfontein.</p><p>Hasil pertandingan bisa saja berbeda andai gol Frank Lampard mendekati turun minum tidak dianulir oleh wasit asal Uruguay, Jorge Larrionda. Saat itu skor pertandingan masih 2-1 untuk keunggulan Jerman. Bola jelas terlihat masuk garis gawang, tetapi wasit tidak mengetahui hal tersebut karena kecepatan bola dan pandangan wasit yang jauh dari garis gawang.</p><p>Tidak akan ada lagi cerita gol <em>off-side</em> Carlos tevez seperti di Piala Dunia 2010 ketika Argentina unggul 2-0 atas Meksiko. Sepak bola menolak dimatikan gairahnya oleh teknologi. Gairah itu yang bisa menggambarkan ketegangan dan drama.</p><p>Sepak bola tetap menjadi tontonan paling asyik karena bisa diperdebatkan, bahkan selama bertahun-tahun. Kasus gol &rdquo;tangan Tuhan&rdquo; Diego Maradona pada Piala Dunia 1986 tidak akan menjadi sesuatu yang fenomenal jika teknologi rekaman video diterapkan.</p><p>Inggris sangat dirugikan pada kasus itu, namun pada akhirnya negeri itu juga menunjukkan kebesaran jiwa dan sportivitas dengan mengakui keterbatasan wasit. Di sinilah inti kebesaran sepak bola.</p><p>Pada satu titik paling pahit sekali pun Inggris tetap mengakui sifat dasar manusia (wasit) yang rentan berbuat salah. Di Indonesia, kita mengenal ungkapan &rdquo;video mematikan bintang radio&rdquo;. Mari berharap video tidak mematikan sepak bola.</p>

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya