SOLOPOS.COM - Adhyasa Fabrian Gusma menunjukkan piagam penghargaan hasil karyanya (JIBI/Harian Jagja/Andreas Tri Pamungkas)

Adhyasa Fabrian Gusma menunjukkan piagam penghargaan hasil karyanya (JIBI/Harian Jagja/Andreas Tri Pamungkas)

“Dulu itu ngomongnya bakal direalisasikan dan bla-bla, tapi……,” begitulah secercah harapan Adhyasa Fabrian Gusma, pemenang perlombaan desain ruang terbuka non hijau Alun-Alun Selatan (Alkid) yang diselenggarakan Direktorat Jendral Penetaan Ruang Kementrian Pekerjaan Umum (DPU) September 2011 silam.

Promosi Pemilu 1955 Dianggap Paling Demokratis, Tentara dan Polisi Punya Partai Politik

Gusma begitu nama akrabnya, gusar ketika berulangkali membaca pemberitaan yang menayangkan kesemrawutan Alkid sulit teratasi. Bahkan Pemerintah Kota Jogja seakan tak punya solusi karena terpatok terbatasnya lahan untuk penyediaan kantong parkir.

Padahal melalui perlombaan yang diikutinya bersama dua rekannya, Rendy Bayu Aditya dan Halanda Desy Prawitasari, konsep desain yang ditawarkan adalah paling baik dari 100 peserta yang tercatat mengikuti lomba tersebut atau dengan kata lain konsep desain Gusma adalah yang paling memungkinkan direalisasikan.

Di rumahnya di Jalan Semeru K-10,Perumahan Griya Arga Permai, Jalan Godean, lulusan Jurusan Arsitek Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogja ini menceritakan mengenai desain penataan Alkid tersebut. Secara filosofi, mereka mendasari konsepnya dari adanya pergesaran fungsi alun-alun sebagai ruang publik yang memiliki nilai budaya.

Karenanya, banyak orang yang mengadakan kegiatan ekonomi skala kecil di Alun-Alun, namun di sisi lain kegiatan-kegiatan itu menimbulkan kerusakan pada situs-situs sejarah atau lingkungan. “Untuk itu, pengembangan desain ini mengintegrasikan antara nilai sejarah-budaya, ekonomi, sosial dan ekologis,” tandasnya, akhir pekan lalu.

Sementara dari konsep perencanaannya, ia menamakan konsep land and time sharing, yakni sebuah konsep mengedepankan pembagian lahan atau ruang dengan pemanfaatan yang berbeda pada siang dan malam hari. Sehingga penggunaannya bisa multifungsi disesuaikan dengan kebutuhan di waktu tertentu. Hal ini mengingat adanya keterbatasan lahan dan juga adanya perbedaan jumlah pemanfaatan lahan pada malam dan siang hari.

Bila konsep ini terealisasi, dapat dibayangkan bersama bagaimana bentuk yang diinginkan oleh Gusma dan kawan-kawannya tersebut. Taruhlah, menelusuri dengan berjalan dari arah selatan atau Jalan Gading, lalu masuk Alkid yang jalannya adalah searah.

Pada lahan pertama di kiri jalan, Gusma menjadikannya sebagai pusat parkir sepeda tandom genjot, lalu secara berurutan adalah area rekreasi, hingga pada ujung pengkolan pertama ia membuat ruang ekologis.

Lalu, di blok Gajahan, Gusma tak mengubahnya. Area ini tetap menjadi kawasan pedagang kaki lima. Hanya, dia memberikan peneduh berupa canopy agar pedagang tidak kehujanan. Dan jika siang hari, peneduh itu dapat dijadikan tempat untuk aktivitas lainnya.

Di area berikutnya, setelah gang jalan menuju Pasar Ngasem, Gusma menjadikannya sebagai lahan parkir motor. Sementara memasuki kompleks Rumah GBPH Prabukusumo, ia mengkhususkan sebagai area edukasi. Di tempat itu, dipasang papan-papan mengenai informasi sejarah Alkid dan Sasana Hinggil. Jauh ke timur, juga disediakan tempat parkir alternatif.

Kemudian pada blok berikutnya setelah gang jalan tembusan ke Jalan Wijilan, area tersebut tetap menjadi area PKL yang dibangun sama dengan area PKL di Gajahan. Lalu di blok terakhir, setelah gang Jalan Langenarjan, ditempatkanlah Tempat Pembuangan Akhir Sementara, yang kemudian hingga sampai pengkolan menuju Jalan Gading, adalah parkir khusus mobil.

Tak cukup disitu, Gusma masih menambahkan jalan khusus difabel dan ibu-ibu dengan membawa anak yang dibuat berdekatan dengan tembok cagar. Dari jalan itu, dapat menyusuri alun-alun dan dapat mencari informasi yang disediakan di setiap sudut. “Maksud saya ini untuk menghidupkan kawasan yang selama ini mati dan kemudian dijadikan tempat oleh muda-mudi mojok dan berbuat amoral,” terangnya.

Namun apakah dengan konsepnya ini, Gusma yakin Alkid tak bakal semrawut? Setidaknya menurut dia, desainnya itu dapat meminimalisir karena perkembangan bisnis mobil genjot semakin hari semakin bertambah. Sebelumnya, Gusti Prabu juga telah menyarankan agar ada pembatasan.”Seenggak-enggaknya ada aksen, agar tak keduluan,” ujarnya. Tapi, untuk hari tertentu, tambahnya, perlu ada sebuah program car free day.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya