SOLOPOS.COM - Ilustrasi pengeroyokan (Google image)

Taruna Akademi Kepolisian (Akpol) yang tewas di tangah seniornya membuat prihatin banyak kalangan, termasuk pengamat pendidikan dan psikolog.

Semarangpos.com, JAKARTA — Tewasnya Brigdatar Muhammad Adam, taruna tingkat II Akademi Kepolisian (Akpol) di tangah seniornya membuat prihatin banyak kalangan, termasuk pengamat pendidikan dan psikolog. Muncullah desakan agar tradisi yang berpotensi melahirkan kekerasan di Akpol perlu segera dihapuskan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Tradisi-tradisi yang berpotensi melahirkan kekerasan, seperti apel malam, dan lain-lain, perlu dihapus,”? kata pengamat pendidikan Doni Koesoema kepada laman aneka berita Okezone, Minggu (21/5/2017).

Ekspedisi Mudik 2024

Doni menambahkan, pemerintah dan Polri mesti mengevaluasi sistem pendidikan di sekolah perwira itu, terutama yang berkaitan dengan penggunaan kekerasan fisik. “Calon polisi memang harus sehat. Tapi sehat jiwa dan raga, bukan sehat raga tapi punya mental pembunuh dan balas dendam karena kekerasan,” ujar Doni.

Taruna Akpol Brigdatar Adam meregang nyawa setelah menjalani apel pembinaan oleh para seniornya di sekolah perwira polisi itu. Sebelum meninggal, Adam yang menjadi korban pengeroyokan dan penganiayaan belasan seniornya di Akpol itu sempat diboyong ke RS Bhayangkara Semarang. Berdasarkan visum, terungkap adanya luka lebam di bagian dada yang memicu Adam gagal napas dan meninggal dunia.

Terpisah, psikolog Rumah Sakit (RS) St Elisabeth Semarang Probowatie Tjondronegoro yang diwawancarai Kantor Berita Antara menegaskan mata rantai kekerasan yang berpotensi terjadi di sekolah berasrama seperti Akpol. “Kekerasan cenderung berpotensi terjadi di sekolah berasrama. Di mana pun sekolahnya. Sebab, ada unsur senioritas-junioritas, ada semangat jiwa korsa, dan sebagainya,” katanya di Semarang, Jawa Tengah, Sabtu.

Menurut Probowatie, nuansa senioritas-junioritas yang kental di sekolah berasrama harus diawasi karena pada banyak kasus junior yang menjadi korban penganiayaan oleh kakak kelas atau seniornya. “Pasien saya banyak yang seperti ini. Namun, korban ini tidak bakal mengaku sudah diapain saja oleh seniornya. Apa kamu dipukul? di-bully? Jawabannya, pasti ‘Siap, tidak!” ungkapnya.

Siswa-siswa sekolah model asrama ini, kata dia, terikat dan sangat mematuhi aturan main yang berlaku di sekolahnya, seperti mereka dihukum karena bersalah, dan sebagainya. Persoalannya, kata Probowatie, jika kemudian model hukuman disalah-artikan dengan kekerasan maka akan salah dipahami oleh mereka yang berlangsung secara terus menerus lintas generasi.

“Ini diperkuat dengan semangat jiwa korsa. Saya nilai jiwa korsa itu baik. Namun, akan sangat fatal jika disalah-artikan. Sebab, ‘punishment’ cenderung diberikan secara kolektif,” katanya.

Ia mengingatkan kekerasan terjadi jika ada keinginan, kesempatan, dan tempat yang berpotensi besar terjadi di sekolah berasrama jika pihak sekolah lengah dalam melakukan pengawasan. “Ini sudah jadi mata rantai. Saran saya, tata ulang sistem pendidikan di sekolah berasrama. Jangan berikan kesempatan sifat-sifat kekerasan ini muncul di anak-anak didik,” katanya.

Selain itu, kata dia, pengawasan terhadap aktivitas siswa secara lebih ketat harus diberikan sekolah berasrama, terutama dalam kegiatan-kegiatan di luar kegiatan resmi sekolah. “Kalau [pengawasan] lengah, pasti akan terjadi lagi. Makanya, jangan sampai. Mata rantai kekerasan ini harus diputus, tidak bisa dilakukan secara parsial,” pungkas Probowatie.

KLIK dan LIKE di sini untuk lebih banyak berita Semarang Raya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya