SOLOPOS.COM - Ilustrasi pajak. (freepik)

Solopos.com, JAKARTA — Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen akan berdampak pada masyarakat miskin sehingga berisiko menambah angka kemiskinan di Indonesia.

Bank Dunia menilai kebijakan itu diperkirakan menyebabkan tingkat kemiskinan naik sebesar 0,27 persentase poin atau sekitar 700.000 orang.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan bahwa proyeksi Bank Dunia tersebut sejalan dengan kekhawatiran pengamat dan ekonomi selama ini.

Yusuf menjelaskan, kebijakan kenaikan tarif PPN memang berpotensi mempengaruhi beragam kelas, termasuk di dalamnya kelas menengah ke bawah, dikarenakan sifat pengawasan yang sulit.

“Kenaikan yang dinilai pemerintah rendah hanya berada di kisaran 1 persen, namun pada kenyataannya ternyata menyumbang peningkatan kemiskinan sebesar 0,27 poin persentase,” kata Yusuf kepada Bisnis, Selasa (28/6/2022).

Baca Juga: Tarif PPN Naik, Penerimaan Pajak Bertambah Rp4,2 Triliun Per Bulan

Menurutnya, kondisi ini juga tidak terlepas dari penarikan beragam bantuan sosial oleh pemerintah sehingga bantalan daya beli kelas menengah ke bawah menjadi semakin terbatas.

Di sisi lain, Bank Dunia juga menyoroti faktor lain yang juga turut mempengaruhi daya beli masyarakat, yaitu risiko peningkatan inflasi di dalam negeri.

Kenaikan harga yang tinggi sebagai dampak dari kenaikan harga komoditas global dinilai dapat memperlambat pemulihan dan merugikan rumah tangga miskin dan rentan.

Oleh karena itu, dukungan fiskal dinilai perlu dirancang untuk memberikan dukungan yang ditargetkan langsung kepada masyarakat rentan. Di sisi lain, transmisi inflasi tetap perlu menjadi perhatian agar kenaikan harga global ke harga domestik terjadi secara bertahap.

Baca Juga: Tarif PPN Jadi 11 Persen Mulai 1 April, Begini Nasib Emiten

Sementara itu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, pihaknya tetap menggunakan kebijakan yang dilakukan saat ini, setelah Bank Dunia menyebut bahwa kebijakan subsidi energi dalam APBN-P dan kenaikan tarif PPN berpotensi menambah angka kemiskinan.

“Kita tetap menggunakan policy sesuai dengan yang saya sampaikan menjaga daya beli masyarakat, menjaga pemulihan ekonomi, dan menjaga kesehatan fiskal,” kata Sri Mulyani kepada awak media usai menghadiri Rapat Kerja Banggar DPR dengan Pemerintah dan Bank Indonesia, Senin (27/6/2022).

Sebagaimana diketahui, Bank Dunia (World Bank) menilai kebijakan fiskal yang disusun pemerintah menciptakan ketimpangan kesejahteraan masyarakat.

Bank Dunia dalam Indonesia Economic Prospect mencatat, terdapat dua kebijakan pemerintah pada 2022 yang berpotensi menambah angka kemiskinan.

Baca Juga: Bukan Hanya Soal Kebijakan, Ini Alasan Pajak Karbon Ditunda Lagi

Pertama, subsidi energi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) yang sebagian besar menguntungkan rumah tangga kelas menengah menengah dan atas dengan tingkat konsumsi 42 hingga 73 persen solar dan 29 persen LPG bersubsidi.

Bank Dunia menyarankan untuk menghilangkan subsidi tersebut sehingga akan menghemat 1 persen dari PDB. Kedua, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang akan berdampak pada masyarakat miskin secara tak proporsional.

Selain itu, kenaikan tarif PPN dinilai dapat menyebabkan peningkatan kemiskinan sebesar 0,27 persentase poin. Sri Mulyani mengatakan, tingkat kemiskinan di Indonesia memang sempat naik, namun mengalami penurunan tahun ini.

Oleh karena itu, bendahara negara tersebut menegaskan pihaknya tetap akan menjaga momentum penurunan kemiskinan tersebut dengan segala tools yang dimiliki. “Tools kita nggak cuman satu yaitu pajak,” ujar Sri Mulyani.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya